Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Pertama Kali Bertemu Si Rubah Bermuka Tampan
Dua hari kemudian, Mu Yao naik gerobak sapi menuju kota sambil membawa dua ekor kelinci hutan dan satu ayam hutan yang baru saja ditangkap, plus sebuah alat pemanggang. Kali ini dia tidak menunggang kuda karena sedang ada pasar dan keramaian, jadi lebih praktis membawa pemanggang di tangan daripada disimpan di kantong penyimpanan.
Beberapa orang di gerobak penasaran melihat alat panggang yang dibawanya, lalu bertanya itu buat apa. Mu Yao pun menjelaskan panjang lebar lagi. Dalam hati dia mengeluh, aku harus segera beli kereta sendiri, biar nggak repot jelasin ke orang setiap saat.
Sesampainya di restoran Zui Xian Lou, Mu Yao menyerahkan ayam dan kelinci buruannya. Begitu mau keluar setelah menerima bayaran, pelayan restoran melihat alat panggang di tangannya dan bertanya penasaran, “Nona Mu, itu buat apa sih?”
“Buat memanggang daging,” jawab Mu Yao santai.
Pelayan itu malah tambah bingung. “Memanggang daging? Itu makanan apa lagi?” Para tamu yang sedang makan juga ikut melirik penasaran. Cuma ada satu anak muda di balik meja kasir yang memperhatikan Mu Yao dengan pandangan lebih serius.
Setibanya di apotek Ji Shi Tang, pelayan sudah menunggu di depan. Begitu melihat Mu Yao datang, dia langsung mengantar ke dapur belakang. Di sana sudah ada dapur besar, dan di atas meja banyak daging segar—baik daging sapi maupun babi.
Sesuai instruksi Mu Yao, para juru masak mulai memotong dan menusuk daging ke tusukan bambu. Dia menyarankan agar pemanggangan dilakukan di luar saja supaya asapnya nggak mengganggu dalam ruangan. Tapi alasan sebenarnya, biar aroma daging panggang bisa tercium oleh orang-orang yang lewat!
Mu Yao sudah cukup ahli dalam mengatur bara api. Tak lama kemudian, bara menyala sempurna dan tusukan-tusukan daging mulai diletakkan di atas panggangan. Awalnya sih belum tercium aroma apa pun, dan orang-orang yang lewat sempat heran. Itu daging dibakar sampai gosong, emang masih bisa dimakan?
Manager Wan dan para pegawai juga ikut menonton dengan mata terbelalak. Tapi, makanan yang awalnya dikira bakal hangus itu, ternyata mulai mengeluarkan aroma gurih yang menggoda. Mu Yao terus membalik-balik tusuk sate sambil menaburkan bumbu di atasnya. Aromanya makin kuat dan menyebar ke segala penjuru.
Begitu tusukan-tusukan itu berubah jadi kecokelatan, renyah, dan berminyak, Mu Yao baru berhenti. Dia mengambil satu tusuk dan menyerahkannya kepada Manager Wan. Si manajer langsung menggigit tanpa basa-basi, bahkan nggak peduli sedang berada di tempat umum atau panasnya daging—dia terus mengunyah dengan lahap.
Orang-orang yang mencium aroma daging mulai mengerumuni apotek Ji Shi Tang, sampai-sampai tempat itu jadi penuh sesak. Beberapa sampai ngiler melihat tusuk-tusuk daging yang menggoda. Manager Wan semakin menggila—setelah tusukan pertama, dia ambil lagi, dan lagi, sampai dua tangan penuh tusukan. Dia makan sampai perutnya buncit dan nggak muat lagi.
Kerumunan pun heboh, semua mulai teriak, “Manager Wan! Saya juga mau satu!” Tapi si manajer terlalu fokus makan, nggak peduli dengan sekeliling. Setelah dia kenyang, barulah orang-orang mulai memohon pada Mu Yao.
“Nona, jual satu ke saya ya! Saya bayar!”
“Saya bayar lima wen!”
“Aku delapan wen!”
“Aku sepuluh wen!”
Teriakan makin ramai, dan harga pun naik dari lima jadi lima puluh wen! Astaga! Lima puluh wen untuk satu tusuk? Dunia ini gila apa gimana?!
Saat daging di atas panggangan makin habis, tiba-tiba seorang pria gemuk berpakaian mewah muncul, menjejalkan sebatang perak ke tangan Mu Yao yang bengong, lalu dengan gerakan secepat kilat mengambil satu tusuk dan langsung memasukkannya ke mulut. Sebelum tangannya sempat mengambil tusukan kedua, dua tangan lain muncul dari belakang Mu Yao dan... BRUK! Semua sisa tusukan daging langsung disambar dan dibawa masuk ke dalam Ji Shi Tang!
Mu Yao ternganga. Aku barusan... dirampok?!
Orang-orang yang melihat kejadian itu menatap tusukan terakhir di tangan si pria gemuk. Merasa dalam bahaya, dia buru-buru melahap semuanya dalam satu suapan, pipinya menggembung seperti hamster, lalu kabur sambil tetap mengunyah. Penonton hanya bisa melotot dan menggerutu. Soal kesopanan? Sudah dilempar jauh-jauh.
Seorang pemuda di antara kerumunan hanya bisa menghela napas kecewa sambil balik ke restoran Zui Xian Lou di seberang jalan.
Mu Yao akhirnya sadar, lalu menatap perak di tangannya dan panggangan yang sudah kosong melompong. Wajahnya langsung merah padam. Siapa yang berani nyolong dagangan gue? Muncul lu, biar gue hajar!
Dengan langkah cepat, dia masuk ke dalam apotek, diikuti oleh pelayan yang masih meneteskan air liur.
Melihat raut wajah Su Mo yang tampak bersalah, tiba-tiba rasa kesal di hati Mu Yao mulai surut. Ia menarik napas, menenangkan diri, lalu bergumam dalam hati: Sudahlah, anggap saja ini karma dari kehidupan lalu.
Ia pun melambai tangannya, “Lupakan saja, nggak usah beli daging lagi. Kalau aku sempat, nanti aku bakar lagi.”
Perkataan ini membuat mata si pelayan langsung bersinar, dan bahkan si tabib tua yang duduk di ruang utama juga menoleh ke arah dapur belakang dengan mata penuh harap. Sayangnya, mereka semua harus menahan diri, karena masih banyak pasien yang harus mereka tangani.
Setelah suasana sedikit tenang, Mu Yao pun membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa kantong kecil berisi bumbu, lalu memberikannya ke Wan Zhanggui. “Ini bumbu-bumbu buat dagingnya. Kalau nanti kalian mau bakar sendiri, tinggal campurin aja. Cara pakainya juga udah aku tulis di kertas ini.”
Wan Zhanggui menerima bumbu itu dengan ekspresi seperti menemukan harta karun. “Gadis Mu, kamu ini jenius! Kalau kamu buka warung, pasti bakal laris banget!”
Mu Yao cengengesan. “Lagi mikir ke arah situ, sih. Tapi pelan-pelan aja. Nggak buru-buru.”
Su Mo di sisi lain diam saja, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Mu Yao, lalu buru-buru menunduk begitu tatapan mereka bertemu. Sikapnya yang tadi angkuh kini berubah jadi canggung dan kikuk.
Mu Yao pura-pura nggak lihat. Ia masih kesal karena dagingnya dilahap semua, tapi juga sadar anak muda seperti Su Mo memang kadang suka semaunya. Yang penting, dia nggak keterlaluan, dan tadi juga udah minta maaf lewat tatapan.
Setelah menyerahkan bumbu dan berpesan sedikit ke Wan Zhanggui soal cara menyimpannya, Mu Yao pun pamit pergi.
Begitu keluar dari Ji Shi Tang, suasana pasar sudah mulai sepi. Mu Yao naik ke gerobak sapi yang sama saat ia datang tadi, duduk di pojokan sambil memeluk panggangan kosongnya.
Saat gerobak mulai berjalan pelan, ia menoleh sekilas ke arah Ji Shi Tang. Tiba-tiba saja sosok Su Mo terbayang lagi di kepalanya, dengan pipi gembul dan mulut belepotan minyak—tidak mirip sedikit pun dengan julukan "Rubah Berwajah Giok" yang katanya begitu terkenal.
“Rubah berwajah giok? Hah, lebih kayak rubah kelaparan!” gumam Mu Yao sambil mendengus geli.
Ia tidak tahu, kalau dari lantai dua Ji Shi Tang, seseorang sedang menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Su Mo berdiri di balik jendela, ekspresi di wajahnya tidak bisa dijelaskan—campuran penasaran, malu, dan sedikit... tertarik?
“Mu Yao…” ia pelan menyebut nama itu, seperti ingin mengukirnya dalam ingatan.