Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kolaborasi
Elina langsung menemui pegawai magang di periode yang sama dengan Rida. Wanita itu hanya memfokuskan diri pada pemagang di divisi HRD. Dari lima pemagang, hanya dua orang saja yang diterima sebagai pegawai tetap. Lebih dulu Elina menemui pemagang yang tidak diterima bekerja. Saat ini dia tengah berbicara dengan Yudi, satu-satunya pemagang pria di divisi HRD.
“Apa anda mengenal Rida?” tanya Elina pada Yudi setelah acara perkenalannya.
“Iya. Kami sama-sama magang di PT. Alam Persada. Aku dengar dia tidak diterima. Sayang sekali, padahal kinerjanya sangat baik. Dia banyak membantuku saat magang.”
“Selama magang, apa anda melihat sesuatu yang tidak biasa?”
“Tidak ada, semuanya normal saja.”
“Bagaimana dengan Kiki? Apa hubungan Rida dan Kiki baik-baik saja?”
“Setahuku mereka memang kurang akrab. Kiki tidak menyukai Rida, entah karena alasan apa. Kamu tahu sendiri, perempuan kadang-kadang tidak menyukai seseorang tanpa alasan.”
Elina hanya tersenyum tipis. Pernyataan Yudi barusan seakan menyindir hubungannya dengan Gita. Sampai sekarang wanita itu masih belum tahu kenapa Gita tidak menyukainya.
“Apa Wakil Direktur sering mengunjungi ruangan kerja kalian?”
“Pak Yasa pernah datang sekitar tiga atau tempat kali. Dan sepertinya dia menyukai Rida,” suara Yudi mengecil ketika mengatakan itu.
“Kenapa anda berpikir seperti itu?”
“Dari cara Pak Yasa melihat Rida itu berbeda. Saya juga laki-laki, saya tahu ada maksud apa dari cara pandang seorang laki-laki pada perempuan. Pak Yasa menginginkan Rida.”
“Apa kamu yakin?”
“Tentu saja. Pak Yasa sering menunjukkannya. Selain sering memanggil Rida ke ruang kerjanya. Dia juga sering membelikan makanan atau minuman untuk Rida. Tentu saja Pak Yasa membelikan untuk semua karyawan di divisi HRD, tapi saya yakin kalau itu demi menarik hati Rida.”
“Apa anda pernah mendengar gossip tentang Rida dengan Yasa?”
“Tidak ada. Tapi saya cukup terkejut saat tahu Rida tidak diterima sebagai pegawai tetap, malah Kiki yang diterima. Padahal kemampuan Kiki jauh di bawah Rida.”
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya.”
“Saya harap Rida bisa mendapat keadilan.”
“Aamiin.”
Setelah mendapatkan informasi dari Yudi, Elina lanjut menemui pemagang berikutnya. Wanita itu berpindah tempat ke café yang lokasinya dengan kantor Ayu. Setelah sepuluh menit menunggu, Ayu sampai juga di café. Wanita itu langsung menuju meja yang ditempati Elina.
“Maaf saya terlambat.”
“Tidak apa.”
“Apa yang bisa saya bantu?”
Elina langsung memperkenalkan dirinya. Dia juga menyebutkan sekilas tentang kasus Rida. Wanita itu tengah menuntut keadilan, tanpa mengatakan kasus pelecehan yang terjadi pada Rida.
“Saya juga kaget waktu Rida tidak diterima sebagai pegawai tetap. Tapi kalau sampai dia kena red notice, kasihan juga.”
“Apa anda tahu kalau Rida pernah bermasalah dengan Wakil Direktur?”
“Pak Yasa? Saya tidak tahu juga. Setahu saya, Pak Yasa itu menyukai Rida. Malah saya sempat dibuat iri. Waktu saya dengar Rida tidak diterima sebagai pegawai tetap, saya terkejut tapi tidak mau ambil pusing dengan urusan itu. Saya hanya fokus ke diri sendiri, mencari pekerjaan lain.”
“Baiklah, terima kasih atas waktunya.”
Tidak banyak informasi yang diberikan Ayu, hingga pembicaraan mereka tidak berlangsung lama. Sekarang Elina akan menemui pemagang terakhir, Firda. Untuk menemui Firda, Elina menunggu sampai jam kerja wanita itu usai, agar mereka lebih leluasa berbicara.
***
Di tempat lain, Gita juga tengah menemui para korban Yasa. Wanita itu mencoba membujuk para wanita itu agar mau menjadi saksi dan menuntut Yasa atas semua perbuatannya. Pertama-tama Gita menemui Mirna dan Lira. Sejak Yasa melecehkannya, hidup Lira hancur. Dia kehilangan semangat hidup dan hanya berdiam diri saja di rumah.
Mirna mengajak Lira bertemu dengan Gita. Saat Elina menemui mereka, Lira tetap mau menemui Elina, hanya saja wanita itu tidak mau mengatakan apa-apa. Dia hanya terus menangis, hingga Elina tidak tahu bagaimana membujuknya.
“Teman saya sudah datang ke sini bertemu dengan Ibu dan Lira, benar?” tanya Gita membuka pembicaraan.
“Iya,”
“Kalau boleh tahu, apa yang terjadi pada Lira?”
Mirna melihat dulu pada anaknya. Melihat Lira menganggukkan kepalanya, Mirna mulai menceritakan apa yang terjadi pada Lira. Wanita itu hanya menangis saja ketika mengingat momen kelam dalam hidupnya.
“Saya mengerti, sangat mengerti apa yang dialami oleh Lira. Mohon Ibu jangan salah paham, kedatangan saya ke sini bukan untuk meminta Lira menjadi saksi. Saya hanya ingin membantu Lira. Dia mengalami trauma mendalam karena peristiwa yang menimpanya. Kita harus mengobati traumanya dulu. Apa kamu mau bertemu psikolog?” tanya Gita pada Lira.
“Konseling dengan psikolog membutuhkan biaya. Kami tidak mampu,” jawab Mirna seraya mengusap airmatanya.
“Ibu tidak perlu mengeluarkan dana untuk konsultasi Lira. Yang penting Liranya siap menjalani konseling. Apa kamu bersedia?”
“Untuk apa, Kak? Hidup saya sudah hancur. Saya sudah hina,” akhirnya Lira membuka suaranya.
“Lira, saya sangat mengerti apa yang kamu alami. Saya pun pernah berada di titik terendah, sama sepertimu. Tapi kamu tidak boleh berputus asa seperti ini. Kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Jangan biarkan satu peristiwa menghancurkan hidupmu. Kamu tidak bersalah, kamu adalah korbannya. Tunjukkan pada pelaku kalau apa yang dilakukannya tidak menghancurkan hidupmu. Justru itu membuatmu menjadi sosok yang tangguh, kuat dan lebih baik lagi. Itu cara pembalasan yang baik untuk pelaku pelecehan mu. Aku akan membantu mu. Kita akan berjuang bersama, keluar dari keterpurukan ini. Kamu mau kan?”
Kepala Lira menganggu pelan. Kata-kata Gita berhasil menggugah perasaan Lira. Perlahan semangatnya mulai tumbuh untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Mirna tidak kuasa menahan airmatanya. Ini pertama kalinya Lira mau berinteraksi dengan orang lain.
“A.. apa dia masih melakukan itu pada orang lain?” Lira memberanikan diri menanyakan soal Yasa.
“Iya, masih ada korbannya yang lain. Tapi kamu tidak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada dirimu sendiri.”
“Bukankah Ibu menginginkan kesaksianku untuk melawan orang itu?”
“Tidak. Aku ke sini hanya ingin membantumu. Membantumu keluar dari keterpurukan. Untuk masalah Yasa, aku dan temanku akan memikirkan cara lain untuk menghadapinya. Fokus saja pada dirimu sendiri.”
“Apa yang terjadi pada korban orang itu?”
“Sama sepertimu. Apalagi usianya masih muda dibanding dirimu. Masih 17 tahun.”
Lira menutup mulutnya, terkejut mendengar jawaban Gita. Mirna sendiri tidak percaya. Orang yang dulu menjadi tempatnya mengais rejeki, ternyata adalah seorang predator yang tega merusak masa depan gadis-gadis muda.
“Apa orang itu bisa dihukum?”
“Tentu saja. Saya dan teman saya akan membongkar semua kelakuannya supaya tidak ada lagi yang menjadi korbannya.”
“Kalau aku mau bersaksi, apa bisa memenjarakannya?”
“Tentu saja bisa. Tapi sekali lagi saya bilang, fokus saja pada dirimu sendiri. Jalani konseling dan dapatkan kembali kehidupanmu.”
“Aku akan melakukannya. Tapi aku juga mau membantumu. Aku bersedia menjadi saksi.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
Tiba-tiba saja semangat Lira muncul. Mendengar korban Yasa masih gadis belia, ketakutannya berubah menjadi amarah. Lira yang semula tidak peduli dengan lingkungan sekitar, sekarang mulai terketuk hatinya. Ternyata bukan hanya dirinya yang dibuat menderita oleh Yasa. Masih ada korban lainnya. Dan Lira tidak mau hal yang sama padanya menimpa gadis lain.
“Terima kasih, Lira. Kamu perempuan kuat dan berani.”
Gita memeluk Lira, mencoba memberikan kekuatan pada wanita itu. Mirna begitu terharu sekaligus bahagia melihat perubahan pada anaknya. Tak henti wanita itu mengucap syukur.
***
Usai menemui Lira, Gita lanjut menuju panti asuhan di mana Dania dan Hera tinggal. Rita, pemilik sekaligus pengelola panti yang menyambutnya. Wanita itu mengajak Gita ke ruang kerjanya. Setelah sampai di sana, barulah Gita memperkenalkan diri.
“Kemarin juga ada yang ke sini. Kalau tidak salah namanya Elina.”
“Dia rekan saya, Bu. Kami mengerjakan kasus ini bersama. Kalau boleh, saya mau bertemu dengan Hera dan Dania.”
“Kalau saya pribadi tentu saja mengijinkan. Tapi mereka tidak mau ditemui. Kemarin juga mereka menolak bertemu dengan Elina.”
“Saya ke sini hanya ingin melihat dan berbincang dengan mereka. Tidak ada hubungannya dengan kasus yang kami kerjakan.”
“Baiklah, silakan ikut saya.”
Rita bangun dari duduknya lalu keluar dari ruangan. Wanita itu mengajak Gita naik ke lantai dua. Biasanya Hera dan Dania ada di ruang belajar yang ada di lantai dua. Semenjak peristiwa pelecehan seksual, butuh waktu bagi keduanya menjalani aktivitas seperti biasanya. Perlahan kondisi mereka mulai membaik, tapi keduanya jadi lebih menutup diri.
“Hera, Dania.. ini ada yang mau bertemu.”
Mendengar namanya dipanggil, keduanya refleks menolehkan kepalanya. Namun begitu, tidak ada tanggapan dari mereka. Keduanya kembali melanjutkan aktivitas, membereskan buku-buku yang akan dipakai belajar anak panti. Gita berinisiatif mendekati mereka lebih dulu.
“Hai.. kenalkan, namaku Gita.”
Gita mengulurkan tangannya. Sejenak keduanya masih terdiam, namun akhirnya mereka membalas uluran tangan wanita itu.
“Apa kalian sedang menyiapkan buku-buku untuk belajar?”
“Ya,” jawab Hera pelan.
“Apa kalian yang mengajari adik-adik panti belajar?”
“Bukan kami, tapi ada guru yang khusus datang mengajar.”
“Lalu, apa yang kalian lakukan? Apa kalian ikut mengajar juga?”
“Kadang-kadang, kalau tenaga kami dibutuhkan.”
“Apa saja yang kalian lakukan?”
Pembicaraan ringan yang digagas Gita, membuat suasana di antara mereka cair. Hera dan Dania mulai menurunkan kewaspadaannya. Keduanya menerangkan apa saja yang biasa dilakukan untuk membantu proses belajar mengajar di panti. Rita yang memperhatikan interaksi mereka, hanya mengulum senyum saja. Ini pertama kalinya Hera dan Dania mau berbicara cukup lama dengan orang lain.
“Apa kalian ada keinginan untuk kuliah?”
Baik Hera dan Dania saling berpandangan ketika mendengar pertanyaan Gita selanjutnya. Sebenarnya mereka punya keinginan untuk kuliah. Prisa sebagai donatur tetap sudah menjanjikan siap mendanai jika mereka ingin kuliah. Wanita itu juga menjanjikan akan mencarikan pekerjaan setelah mereka selesai kuliah. Namun setelah apa yang menimpa mereka, keduanya berubah pikiran. Apalagi Yasa adalah suami dari Prisa. Pria yang sudah membawa malapetaka pada hidup mereka.
“Apa kalian ada keinginan kuliah?” tanya Gita lagi.
“Tidak.”
“Kenapa? Saya dengar salah satu donatur di sini siap membiayai kuliah kalian. Bahkan akan mencarikan pekerjaan untuk kalian setelah lulus nanti,” pancing Gita.
Untung saja Gita sudah membaca berkas yang berisikan informasi tentang panti ini. Informasi yang diberikan oleh Fathir sangat penting untuknya dalam membujuk kedua korban Yasa ini.
“Bu Prisa, orang yang berjanji akan membiayai kuliah kalian, kan?”
“Iya.”
“Saran saya, lebih baik ambil saja tawaran kuliah itu. Ini demi masa depan kalian.”
“Aku takut,” ceplos Hera.
“Takut? Takut kenapa?”
Tidak ada jawaban dari Hera. Wanita itu melihat pada Dania. Setali tiga uang, Dania juga menutup mulutnya. Gita meraih tangan Hera, mengusapnya dengan lembut.
“Kalau kamu tidak mau cerita, tidak apa-apa. Maaf kalau saya banyak bertanya.”
“Sa.. saya takut dengan Pak Yasa,” jawab Hera takut-takut.
“Pak Yasa? Siapa dia? Apa dia donatur di sini juga?”
“Pak Yasa suaminya Ibu Prisa.”
“Apa Pak Yasa pernah melakukan sesuatu yang menyakiti kalian?”
Kembali Hera dan Dania saling berpandangan. Keduanya lalu melihat pada Gita yang masih sabar menunggu jawaban mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Hera mau menceritakan apa yang terjadi padanya, begitu pula dengan Dania. Gita mendengarkan cerita keduanya tanpa menyela, membiarkan mereka menyelesaikan ceritanya.
“Kami tidak mau bertemu Pak Yasa lagi,” tutup Dania mengakhiri ceritanya.
“Saya mengerti apa yang kalian alami dan rasakan. Tapi menurut saya, apa yang dilakukan Pak Yasa harus dilaporkan. Dia sudah merusak masa depan kalian. Dengan kalian melaporkannya, bukan hanya menuntut keadilan untuk kalian, tapi juga mencegah adanya korban lain.”
“Kami takut. Pak Yasa itu orang berkuasa.”
“Kalau saya membantu kalian, apa kalian bersedia melaporkannya?”
***
Gita emang lebih lihai membujuk korban dibanding Elina😊
ini rupanya kelebihan gita...