Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 17
Selama perjalanan kesunyian masih begitu terasa dikarenakan diamnya kedua manusia yang berada dalam mobil tersebut. Tidak ada yang memulai percakapan semenjak keduanya memutuskan untuk berangkat bersama dari rumah. Adimas fokus menatap ke depan di kursi kemudi, sementara Jasmine fokus dengan ponselnya sesekali fokus dengan pemandangan luar di kursi penumpang - tepat di samping Adimas.
Perempuan itu sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Adimas. Biasanya Jasmine akan bertanya tentang apa saja, namun hari ini dia hanya diam. Tidak diam dalam arti yang sebenarnya, karena nyatanya Jasmine sesekali tertawa pelan menatap layar ponselnya. Tentu saja tawa itu mengganggu Adimas.
Lebih tepatnya membuat Adimas tidak suka karena Jasmine mengabaikannya. Pada dasarnya Adimas memang tidak suka diabaikan, walaupun ia membenci Jasmine setidaknya berdebat dengan Jasmine jauh lebih baik daripada saling diam.
"Nanti saya kabari kalau mau jemput untuk ke rumah Eyang." ucap Adimas kemudian. Ia sempat menoleh ke arah Jasmine.
"Iya," jawab Jasmine enteng. Perempuan itu kemudian diam kembali. Matanya bahkan tidak melihat Adimas sama sekali.
"Kamu mau dijemput dimana?" tanya Adimas lagi.
Entah bagaimana bisa kali ini, apalagi melihat wajah Jasmine setelah hampir dua jam kabur semalam membuat sudut hatinya merasa bersalah. Ia memang membenci Jasmine setelah apa yang pernah Jasmine lakukan pada Rindu di masa lalu, namun insiden semalam tentang tangan Jasmine yang terluka membuatnya merasa bersalah karena telah membentak Jasmine. Namun ia tidak bisa memungkiri, melihat Rindu yang terduduk di dekat Jasmine semalam membuat pikiran Adimas tertuju pada kejadian dulu.
Ia takut Jasmine menyakiti Rindu lagi.
"Terserah." Jasmine menjawab dengan singkat.
Adimas masih memasang wajah datar. Meskipun begitu, ia tidak suka cara Jasmine menjawabnya. Ya... walaupun nada bicara Jasmine sebenarnya tidak seketus yang biasa ia lakukan, namun jawaban singkat itu seolah mengisyaratkan bahwa Jasmine malas berbicara dengannya.
"Saya rasa kamu harus minta maaf pada Rindu soal semalam. Mereka bahkan tidak jadi makan malam karena kamu yang pergi tiba-tiba. Padahal mereka sudah rela menunda makan malam hanya untuk makan malam di rumah. Menikmati masakanmu yang sebenarnya tidak enak itu." Katakan saja Adimas sengaja membuat Jasmine marah.
Namun itu lebih baik daripada membiarkan Jasmine tetap dalam mode irit bicara seperti sekarang. Adimas hanya tahu, membawa Rindu dalam pembicaraan mereka akan membuat Jasmine marah dan ia hanya ingin Jasmine meladeninya bicara, minimal melihat ke arahnya saat sedang berbicara.
"Iya." Di luar dugaannya, ternyata Jasmine hanya menjawab dengan tiga kata tersebut.
Adimas seperti mati kutu ketika melihat tanggapan Jasmine sedingin itu. Ah, Adimas akan mengganti jenis pertanyaannya. Tentu saja ia tidak akan membiarkan Jasmine bersikap dingin seperti ini, apalagi malam ini mereka harus makan malam di rumah keluarganya.
Penyambutan anak emas keluarga Ibrahim. Itulah acara utamanya.
Adimas sebenarnya tidak membenci Adrian, bagaimana pun Adrian adalah adiknya dan selama ini Adrian adalah sosok adik yang sangat menghormati dan hangat padanya. Namun ketika teringat dengan bagaimana perbedaan keluarganya dalam memperlakukan mereka, membuat Adimas menjaga jarak dari Adrian.
Setidaknya ia tidak ingin terus menerus menjadi bayangan Adrian.
Kembali kepada Jasmine, perempuan di sampingnya itu masih terus diam. Kali ini ia tidak lagi sibuk dengan ponselnya, ia hanya duduk diam sambil menatap lurus ke depan. Persis seperti yang Adimas lakukan biasanya ketika bersama keluarganya.
Adimas tiba-tiba teringat dengan telapak tangan Jasmine yang terluka semalam. Jika pembicaraan mengenai Rindu nyatanya tidak membuat Jasmine berselera bicara, ia harus menemukan topik lain. "Tangan kamu bagaimana?" tanya Adimas akhirnya.
"Baik."
"Baik? Maksudnya?"
"Tanganku membaik." jawab Jasmine sekenanya.
"Hari ini ada acara?" tanya Adimas lagi.
Iya, dia memang aneh pagi ini. Dia ingin minta maaf pada Jasmine karena semalam membentak Jasmine di depan teman-temannya, namun ia bingung bagaimana harus bersikap. Lagipula ia terlalu gengsi melakukan itu. Ia tidak ingin Jasmine sampai besar kepala.
"Iya."
Adimas harus banyak bersabar karena mood Jasmine ternyata seburuk itu.
"Acara apa?" tanya Adimas.
"Masak-masak." jawab Jasmine dengan nada santai.
Adimas menoleh kemudian ke arah Jasmine. Penampilan perempuan itu berbeda dari biasanya. Adimas tahu bahwa Jasmine memang cantik. Namun biasanya ia tidak berpenampilan seperti ini. Pakaiannya sangat cerah hari ini. Ia bahkan memakai riasan simpel dan ditambah dengan lipstik yang sangat pas dengan penampilan Jasmine. Wangi parfumnya juga tercium di hidung Adimas.
Jasmine berbeda hari ini. Kalau hanya untuk masak-masak, kenapa harus berpenampilan seperti itu? Tiba-tiba Adimas menjadi penasaran.
Namun belum sempat Adimas bertanya lebih jauh, Jasmine kemudian bersuara.
"Berhenti di situ," tunjuk Jasmine menunjuk sebuah minimarket di depan mereka-tepatnya tidak jauh dari kafe milik Jasmine. Namun cukup jauh jika harus berjalan kaki.
Jasmine tidak mungkin melakukan itu hanya karena malu semobil dengannya kan?
Adimas mengernyitkan dahinya karena bingung. "Kenapa? Masih lumayan jauh dari kafe itu."
"Ada yang harus aku beli dulu." jawab Jasmine. "Turun di situ saja."
"Hmmh, baiklah." jawab Adimas.
Adimas kemudian menghentikan laju mobilnya saat sudah sampai di depan minimarket tersebut. Jasmine segera membawa barang-barangnya membuat Adimas bingung.
"Makasih ya, sudah anterin aku ke sini." ucap Jasmine kemudian. "Mas bisa langsung pergi aja. Nanti aku bisa jalan ke kafe." lanjutnya lalu segera keluar mobil.
Adimas pun langsung turun dari mobil. Ia tidak menyangkan Jasmine benar-benar keberatan diantar olehnya sampai ke kafe. Hal itu melukai harga dirinya.
Adimas berjalan cepat menghampiri Jasmine. Melihat bagaimana kondisi perempuan itu, Adimas pun akhirnya menawarkan diri untuk menemani Jasmine dan mengantarnya sampai benar-benar di depan kafe.
"Saya tunggu kamu. Biar saya antar sampai ke kafe." ucap Adimas datar.
Jasmine menggeleng. "Nggak usah. Aku akan lama. Khawatirnya kamu akan terlambat nanti. Lagipula kafe sudah dekat kok."
Adimas berdeham sejenak. Ia lalu menatap Jasmine dengan memindai penampilan perempuan itu. "Kamu malu saya antar?"
Jasmine terdiam. Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu tersenyum tipis yang membuat matanya membentuk bulan sabit.
"Nggak. Justru aku sangat berterima kasih karena kamu mau mengantarku hari ini. Tapi aku serius, kamu akan lama menungguku. Karena belanjaanku lumayan banyak."
Jasmine benar. Adimas memang akan terlambat karena sekarang pun ia masih berada di sini sementara ia sudah harus di kantor secepatnya karena hari ini ada pertemuan dengan kliennya. Namun ia harus menebus kesalahannya. Pikirannya juga dibayangi dengan wajah bersalah Rindu karena membuat Jasmine marah semalam. Padahal itu bukan kesalahannya.
Ah, perempuan berwajah teduh itu selalu memikirkan perasaan orang lain.
"Oke. Saya akan membantumu. Sebelum itu, letakkan itu di mobil. Saya tunggu kamu di dalam." ucap Adimas menunjuk MacBook yang dipeluk Jasmine, lelaki itu lalu langsung masuk ke minimarket.
Kaki Adimas kemudian memasuki minimarket. Ia masih menunggu Jasmine sembari melihat sekeliling. Awalnya ia kira ini seperti minimarket pada umumnya, ternyata di sini lebih banyak menjual aneka mainan daripada makanan ringan. Lantas mengapa Jasmine harus ke sini?
Begitu Jasmine masuk, ia langsung mengambil keranjang dan berjalan menyusuri rak mainan. Ia memasukkan beberapa boneka dan mainan lainnya ke keranjang. Sedangkan Adimas hanya mengekori Jasmine di belakang. Ia sendiri bingung harus melakukan apa.
Ada beberapa jenis mainan yang dibeli Jasmine. Namun jumlahnya lumayan banyak. Mungkin sekitar dua puluhan mainan. Ada beberapa puzzle, boneka dan beberapa balok susun.
Adimas langsung mengambil dua keranjang yang penuh dengan mainan dan langsung membawa keranjang tersebut di meja kasir. Sementara Jasmine menyusulnya dan meletakkan satu keranjang mainan di tempat yang sama dengan Adimas tadi. Saat tangan Jasmine mengeluarkan dompet, saat itulah Adimas menyadari bahwa selama menikah ia tidak pernah memberikan uang kepada Jasmine.
Ia tahu Jasmine juga mempunyai uang sendiri, namun kebodohannya itu membuatnya jadi malu sendiri. Maka saat kasir selesai menghitung belanjaan Jasmine dan sebelum perempuan itu mengeluarkan kartu ATM miliknya, Adimas lebih dulu menyodorkan sebuah black card miliknya ke kasir perempuan tersebut.
"Pakai ini," katanya singkat. Tanpa memperdulikan tatapan protes Jasmine.
Kasir perempuan itu segera menerima kartu tersebut dan segera memproses pembayaran belanjaan tersebut.
"Mas...." kata Jasmine pelan.
Adimas tidak peduli bahkan pura-pura tidak mendengar saat Jasmine memanggilnya. Hingga setelah selesai melakukan pembayaran, Adimas masih tidak peduli pada Jasmine yang sepertinya kurang nyaman dengan yang ia lakukan barusan.
"Ini, Mas." Si kasir perempuan itu kemudian memberikan kartu milik Adimas.
Dibantu seorang pegawai lelaki, Adimas dan Jasmine pun keluar minimarket dengan beberapa kantong berisi mainan tersebut.
"Terima kasih," ucap Adimas dan Jasmine bersamaan pada pegawai lelaki tersebut saat sudah sampai di dekat mobil Adimas.
Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil. Baik Adimas maupun Jasmine tidak ada yang mengeluarkan suara. Hingga ketika sampai di kafe milik Jasmine, Adimas langsung turun. Ikut membantu Jasmine membawa kantong belanjaanya.
"Tidak apa-apa, Mas. Biar diletakkan di sini saja. Nanti akan ada yang bawa." ucap Jasmine.
Adimas masih memasang wajah datar. Ia bingung harus menjawab apa. Dalam hati ia terus merutuki kebodohannya karena lupa memberi nafkah kepada Jasmine.
Meskipun begitu, Adimas lalu meletakkan kantong tersebut begitu saja di luar mobil. Jasmine lalu berjalan cepat ke dalam kafe. Tidak lama kemudian, ia keluar bersama seorang lelaki muda.
Lelaki yang tidak asing di mata Adimas. Namun senyum lebarnya membuat Adimas akhirnya menyadari bahwa itu adalah pegawai Jasmine yang dulu bertemu dengannya saat ia menjemput Jasmine dulu.
"Selamat pagi, Pak Bos!" sapanya dengan senyum lebar.
Adimas tersenyum kaku. "Pagi,"
"Harusnya Kak Shaf bilang kalau perlu mainan juga untuk hadiah. Saya dan Lila bisa bantu untuk membelikannya." kata lelaki muda itu pada Jasmine.
Jasmine hanya meresponnya dengan senyum lebar. "Kamu mau modus berduaan dengan Lila, kan?"
Gelak tawa lelaki itu terdengar renyah. "Kak Shaf aja peka. Sayangnya Lila nggak peka." katanya kemudian dengan wajah murung membuat Jasmine tertawa.
Adimas menyaksikan interaksi keduanya dengan tajam. Ia tidak tahu Jasmine bisa seceria ini ketika di luar rumah. Dulu pun Jasmine yang ia tahu selain sering membuat masalah, ia juga sosok perempuan yang berwajah judes dan tidak banyak bicara.
"Ekhem...!" Entah mengapa, Adimas hanya ingin Jasmine menyadari keberadaannya.
Tawa kedua orang itu pun terhenti. Jasmine kemudian melangkah mendekati Adimas. Perempuan itu lalu menggamit lengan Adimas tanpa permisi.
"Harry, meskipun kamu sudah tahu, tapi ini adalah suami saya. Kamu bisa memanggilnya Pak Adimas. Mas, ini Harry, pegawai ku. Dia pegawaiku yang paling lama."
"Saya Adimas," kata Adimas lalu mengulurkan tangan kepada lelaki muda bernama Harry.
Harry menjabat tangan Adimas dengan erat. "Saya Harry, Pak Bos. Adiknya Kak Shaffiya." Lelaki itu tersenyum lebar.
Namun apa katanya, adik? Adimas kemudian menoleh ke arah Jasmine. Dia tidak pernah tahu Jasmine mempunyai adik.
"Jangan hiraukan dia, Mas." jawab Jasmine seolah tahu isi pikiran Adimas. "Perkataan Harry itu 5% benar, 95% bercanda." ucap Jasmine masih tersenyum melihat tingkah Harry yang kini sudah pergi.
Adimas mengangguk. "Saya pergi dulu. Saya sudah sangat terlambat sekarang." ucap Adimas datar.
Senyum Jasmine menghilang, berganti tatapan yang merasa bersalah. "Maaf ya, kamu harus terlambat karena ini."
"Ini," Adimas kemudian memberikan black card miliknya tadi kepada Jasmine. "Maaf saya lupa memberimu uang. Pakailah untuk kebutuhanmu." kata Adimas lalu langsung masuk ke mobil.
Sementara Jasmine masih berdiri diam menatap kartu tersebut. Adimas lalu menurunkan kaca mobil dan Jasmine masih dengan posisi yang sama.
"Saya pergi,"
"Mas ini? Apa tidak berlebihan? Maksudku-"
"Itu demi harga diri saya. Jadi jangan kamu tolak." kata Adimas lalu segera mulai menginjak gas perlahan. Ia bisa melihat Jasmine melambaikan tangan padanya lewat kaca spion.
Mobil mulai melaju pelan hendak meninggalkan kafe, namun saat belum terlalu jauh, Adimas mendengar suara lelaki yang sangat ia kenali.
"SHAF!"
Sayangnya lelaki yang baru datang itu membelakangi mobil Adimas, sehingga ia hanya bisa melihat punggung lelaki yang membuat Jasmine lagi-lagi tertawa itu.