Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20
“Terkadang, musibah orang lain dapat mendatangkan keuntungan bagi sebagian yang lain,” ucap Aza.
“Maksudmu, siomay yang jatuh itu bisa jadi rezeki bagi orang yang memungutnya?” tanya Fly, dengan pandangan lurus ke depan, sesekali menatap langit malam.
“Mungkin. Tukang siomay itu tidak mau memungutnya karena sudah terjatuh ke tanah, dan tidak ada yang mau membeli makanan yang jatuh. Tapi, bagi mereka yang untuk makan saya susah, itu sudah seperti menemukan harta karun. Bisa saja jika aku atau kamu memakan siomay kotor itu, bikin kita sakit perut. Tapi bagi mereka yang kelaparan, justru menjadi obat pengenyang dan menyehatkan mereka,” urai Aza.
Senyuman Fly tersulan. Tak dapat dipungkiri, kata-kata Aza memang menenangkan. Serta pembawaannya juga sopan dan tak sedikit pun tampak ingin menggoda Fly. Ia hanya seperti seorang pendengar yang bertugas untuk mendengarkan berbagai macam keluhan.
“Kamu kenal Gen, Aza?” buka Fly, saat mereka tiba di jembatan penyeberangan tadi, pada posisi sebelumnya.
“Gentala?”
“Iya.”
“Kenal. Kami sama-sama dari organisasi PDK.”
“Apa itu PDK?”
“Pemuda Dakwah kota.”
Tiba-tiba Fly tertawa renyah. Matanya sampai terpejam dan perutnya dipegang.
Aza mengernyitkan dahi, “Kok malah ketawa?”
“Nggak tahu, deh. aku cuma ngerasa nama organisasinya sederhana banget.”
“Terus, harusnya nama organisasi itu kayak gimana?”
Fly mengangkat bahu, entahlah.
“Itu organisasi yang dibuat oleh marbot masjid Al-Fatihah. Tempat kami mengadakan pengajian itu, loh. Kala itu, pak marbot lagi ngepel. Aku baru mau salat asar, sedangkan setengah jam lagi magrib. Itu karena ada sesuatu dan lain hal. Makanya telat, deh. saat itu masjid lagi sepi. Aku sebenarnya sudah lumayan akrab sama beliau. Pas lihat shaff, ternyata di sana ada Gentala yang lagi mengaji. Singkat cerita, pak marbot manggil aku dan Gentala. Beliau memperkenalkan kami satu sama lain. lalu menawarkan, apakah kami mau menjadi penceramah untuk kegiatan pengajian masjid tersebut. Ya, selanjutnya kamu pasti tahu bagaimana akhirnya,” urai Aza.
“Anggotanya ada banyak?”
“Nggak. Cuma ada lima orang. Itupun yang aktif mengisi cuma tiga orang. Apalagi waktu Gen KKN, tersisa aku berdua sama pak haji yang suka mainin jenggotnya itu.”
“Heh, kurang sopan.”
“Maaf, bercanda doang. Soalnya beliau sendiri yang bilang hobinya itu mainin jenggot.”
“Tunggu, sebentar. Tapi sebelum KKN, aku nggak pernah lihat kamu ngisi kajian itu.”
“Masa, sih? Tapi sebelum KKN juga aku nggak pernah lihat kamu datang.”
Sesaat, Fly mengingat sesuatu yang memalukan. Ya, dia sengaja memakai segala alasan untuk menolak ajakan Vio jika penceramahnya bukan Gen. Ia langsung menutup wajahnya sambil meggeleng-geleng kencang karena malu saat mengingatnya.
“Mungkin pada saat aku yang mengisi, kamu nggak datang.”
“Iya, iya. Tolong jangan dibahas lagi.”
Walaupun tampak kebingungan, namun Aza tetap menurut.
“Emangnya, kamu satu jurusan dengan Gen?” tanya Aza.
“Beda. Tapi kami satuu kelompok saat KKN. Makanya aku nanya, apakah kamu kenal dia atau tidak,” jawab Fly, dengan dihantui bayangan bahwa ia yang mengatur skenario kelompok KKN itu.
“Dia orang yang sederhana. Tidak pernah menunjukkan walaupun dia orang berada. Bahkan keluarganya terkenal di ibu kota. Sebab kakaknya yang merupakan seorang aktris.”
“Iya, benar,” jawab Fly, lemas. Bibirnya bergetar. Untungnya, Aza sedang menatap jalan raya.
Anak-anak pengamen berdatangan, lantas bernyanyi di belakang Fly dan Aza. Mereka berdua menoleh, mendapati lima orang anak yang sepertinya berusia kurang dari sepuluh tahun semua. Tanpa menunggu, Aza mengeluarkan dompet dan memberikan kelima anak itu masing-masing sepuluh ribu.
Setelah menunduk tanda terima kasih, mereka langsung berlalu.
“Hidup di kota itu kejam. Di kota ini saja, yang tidak sebesar ibukota dan masih banyak tempat asrinya saja sudah seperti ini. Anak-anak mengamen, menjadi manusia silver hingga mengemis. Lantas uang yang didapati entah di kemanakan. Begitu pun orang-orang dewasa dengan pekerjaan serupa. Banyak dari mereka yang memulainya sejak kecil juga, layaknya anak-anak tadi. Tidak heran halal-haramnya harta itu tidak dipedulikan. Asalkan perut keroncongan bisa lega sedikit. Asal kehidupan pahit bisa dilanjutkan.”
Tak harus harus menanggapi apa, Fly hanya bisa tetap terdiam. Memandangi kendaraan beserta gedung-gedung tinggi. Sebab langit kosong, tanpa terlihat sedikit pun aksesorisnya. Sembari menunggu Aza melanjutkan kata-katanya.
Bayangan wajah Gen tiba-tiba muncul. Ia teringat betapa menyenangkannya saat berdiskusi seperti ini di teras rumah itu. Sampai ia merasa tak masalah jika masa KKN andaikata ditambah. Tak adaa hari tanpa pertemuan dengan Gen. Tiada hari tanpa kepakan sayap kupu-kupu warna-warni di sanubari. Tiada hari membosankan. Sampai pada saat hari itu tiba, di mana seorang perempuan yang mengacaukan semuanya, yang membaca buku harian Fly tanpaa permisi. Lantas menyebarkannya ke semua orang di rumah itu. Sehingga membuat Gen meminta Fly untuk menjauhinya. Akan tetapi, jika memang itu tidak pernah dilakukan Cua, apakah Gen akan tetap menolak Fly di suatu hari?
“Aku bermimpi, ingin membuka sekolah tahfidz untuk anak-anak tidak mampu. Sekolah gratis,” urai Aza, mematahkan lamunan pahit Fly.
Perempuan itu menoleh, Aza tampak tersenyum menghadap samping. Rambut ikalnya menari-nari. Bersama kerudung hitam Fly.
“Termasuk anak-anak pengamen seperti yang tadi?”
“Tentu saja. Tapi sekarang aku masih fokus untuk bekerja.”
“Lalu, kuliahmu?”
“Kuliah? Aku sudah wisuda tahun lalu.”
“Oh, iya? Kampus yang sama denganku?”
“Benar. Hanya itu kampus yang paling bagus di kota ini, kata mamaku.”
“Artinya, kamu dua tahun lebih tua dariku.”
“Begitulah.”
Sekali lagi angin malam berembus. Tidak tampak raut kantuk pada keduanya. Mereka sama-sama menikmati suasana malam ini.
“Sepertinya aku sudah cukup banyak berbicara, ya. Tapi nada galaumu masih tidak jua berubah.”
Fly menunduk, sambil menggigit bibirnya.
“Sebenarnya, ini semua bermula dari beberapa lembar kertas yang dipungut oleh Gen.”
Akhirnya, Fly menceritakan semuanya kepada Aza dengan detail. Termasuk bagaimana terlihatnya hubungan Gen dengan Isa. Beberapa kali Fly berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Semua kenangan itu, lebih tepatnya kenangan yang nikmati sendirian. Tanpa dirasakan oleh orang yang disuka.
Kini tanpa ragu, Fly terus mengeluarkan semuanya. Hingga rinai pada kelopak matanya turut menyapa. Walau hanya sedikit. Sebab lebih banyak berbentuk luka tanpa wujud. Dalam relung terdalamnya.
Aza tak sedikitpun menanggapi. Ia tetap fokus mendengarkan. Seperti sebuah patung di persimpangan jalan. Tempat yang sering dikunjungi turis-turis itu. ia benar-benar menjelma telinga, hingga Fly benar-benar menyelesaikan ceritanya.
“Sejak awal, aku hanya tersakiti oleh ulahku sendiri.”
“Mungkin itu benar,” tanggap Aza yang berhasil membuat Fly melotot tajam ke arahnya. “Tapi, dengan begitu ada banyak orang yang merasakan manfaatnya. Seperti bu Nindy, pasti merasa sangat terbantu karena kamu sering membawakannya barang-barangnya yang selalu berat itu. Ya, beliau memang tidak mengajar di fakultas tempatku. Tapi aku pernah sekali mengangkat barangnya, dan itu benar-benar banyak. Berdasarkan ceritamu, sepertinya beliau memang selalu membawa barang sebanyak isi tas gunung.”
“Tapi itu memalukan.”
“Tidak, juga. Contoh lain juga teman-teman KKN-mu, mereka pasti merasa sangat terbantu karena kamu mengambil andil paling banyak dalam tugas di sana. Serta banyak menyalurkan ide yang membuat mereka tidak perlu ikut banyak berpikir ketika diskusi. Sekalipun kamu melakukannya karena ingin membuat Gen terkesan. Ya, biar aku tebak. Teman-teman kelompokmu pasti merasakan KKN yang santai karenamu. Termasuk Gen. Ia pasti juga merasa sangat terbantu dengan satu kelompok denganmu. Mereka pasti bersyukur karena kamu memilih mereka sebagai anggota kelompok.”
“Hei, jangan sebut itu lagi. Aku benar-benar malu mengingat ketika aku memilih kelompok KKN itu.”
“Hehehe, maaf. Kalau begitu, kamu mau lihat ini?” tanya Aza sambil menyerahkan sebuah brosur berwarna gradasi hijau.
Fly menerimanya dan langsung membaca tulisan terbesar, “Dauroh tahfiz satu tahun mutqin 30 Juz?”
Aza mengangguk, “Iya. Aku juga rencananya mau ikut.”
“Ikut? Bukannya kamu guru tahfiz?”
“Guru tahfiz anak kecil. Kamu mengira aku seorang hafidz?”
Fly mengangguk.
“Bahkan hafalan Alsa lebih banyak daripada aku. Aku hanya pernah belajar tahsin.”
“Benarkah?”
Aza mengangguk, “Mungkin sekilas cerita. Aku tidak pernah mondok. Aku alumni SMK dan sering dihukum karena suka tawuran. Pokoknya nakal banget, deh.”