Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjauhi or Melindungi?
"Nih, minum dulu."
Alena mengangguk dan menerima minum yang diberikan Rafka. Tangisan Alena sudah berhenti, wajahnya terlihat kusut, mulutnya cemberut, hidung dan matanya memerah setelah menangis.
"Alena ... maafin kakak, ya?" bujuk Ravael dengan wajah memelas.
Namun, tidak di gubris Alena yang sedang memainkan gelas berisi setengah air yang telah ia minum.
Alena masih mengambek karena kepura-puraan Ravael di lapangan. Ketika dia menangis, bukanlah karena ucapan Christa dan Jeane, bukan pula oleh tatapan tajam semua orang. Walaupun sangat sedih, Dia masih bisa memaklumi dan masih bisa menahan itu semua.
Tapi, sebagian besar itu karena bentakan marah Ravael ketika memanggil namanya. Kesedihan yang ia tahan runtuh, kakaknya tidak pernah meninggikan suara ketika berbicara padanya, apalagi marah. Dia selalu lembut dan sabar.
Namun, itu adalah pertama kalinya, sehingga dia yang terpojokkan semakin sesak karena panggilan marah Ravael. Walaupun Alena sekarang tahu bahwa mereka hanya berpura-pura, tetap saja dia masih sangat kesal.
Saat ini, mereka semua termasuk Ravael, kelima temannya dan ketiga sahabat Alena, sedang berada di kantin.
Kejadian di lapang tadi di hentikan oleh Wisnu—guru olahraga, yang sempat pergi ke kantor. Sempat terjadi perdebatan antara Christa yang menyalahkan Alena karena Latasha yang terlempar bola.
Namun, karena Latasha tidak mengalami luka serius, Wisnu tidak memperpanjangnya membuat ketiga orang yang sudah kehilangan wajah semakin malu dan marah. Dan, bel istirahat mengakhiri semuanya, membubarkan penonton melihat kejadian langka yang menjadi gosip seantero sekolah.
Kembali pada kumpulan orang yang berkumpul melingkar di meja kantin. Posisi Alena berada di tengah tengah kursi, sisi kanan Alena terdapat Rafka, sisi kirinya terdapat Ravael yang sedikit di belakangi oleh Alena yang masih ngambek. Sisi kanan Rafka terdapat Alvin, dan ke empat lelaki lainnya di sisi kiri Ravael.
Dhita, Audrey, dan Risha berhadapan dengan Alena, Rafka dan Ravael.
"Nggak usah di maafin, Le. Dia udah bikin lo nangis," tukas Audrey datar.
Ravael memelototi Audrey
"Kita kan cuma pura-pura, Drey, buat bikin tiga tuh parasit mampus," bela Radhit.
"Tapi gak nyampe Ale-kita nangis kali!" ketus Dhita seraya menatap Radhit garang.
Radhit yang ditatap langsung merubah ekspresinya menjadi sedih. "Kan aku gak ikutan ngomong apa pun yang bikin Alena nangis. Natap gitunya ke si Andre sama Rava tuh ... aku cuma mau ditatap penuh cinta sama kamu, Dhit."
Ucapan lebay sekaligus menggoda Radhit membuat kening Dhita mengerut jijik dan sedikit menghindar karena Radhit sedikit menggeserkan duduknya mendekat.
Radhit lebih berani menggoda Dhita setelah tertawa bersama ketika di lapang tadi.
"Paan, sih, lo! Jijik banget gue dengernya."
Mereka yang melihat perdebatan kedua orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepala lucu.
Pandangan Ravael kembali lagi pada Alena yang masih terdiam. "Dek ... hadap sini, dong ...."
Ravael mengambil kedua bahu Alena untuk menghadapnya. Alena memelototi, namun Ravael tidak peduli dan terus membujuk selembut mungkin. "Maafin kakak, ya?"
Akhirnya Alena mengangguk melihat wajah rasa bersalah kakaknya, Ravael yang melihat itu langsung tersenyum cerah.
"Wow! Cerah banget senyum lo. Silau, njir!" Pekikan Radhit tidak melunturkan senyum Ravael.
Ravael langsung memeluk adiknya sehingga mereka yang melihat langsung memutar bola matanya, ada pula yang cemburu.
Alena membalas pelukan Ravael. "Tapi ... kak Rava jangan gituin aku lagi, ya?"
Ravael mengeratkan pelukannya dan mengangguk cepat. "Iya, Dek. Kakak janji. Kakak juga gak akan biarin mereka ganggu kamu lagi."
Andreas yang diam ingin sekali meminta maaf, namun ia merasa gengsi, apalagi di depan teman-temannya. Dia berpikir untuk mencari waktu yang tepat dan hanya berdua dengan Alena agar tidak terlalu malu.
"Lain kali, lo jangan deket-deket sama mereka. Apalagi si Latasha." Ucapan Rafka disetujui semuanya.
"Iya, bener. Gue yakin, di balik muka polosnya, dia punya banyak rencana rencana buruk." Dhita menambahkan.
"Tapi kenapa?" Alena mengerutkan kening, semakin bingung. Ia bergumam lesu. "Aku merasa gak pernah buat salah sama mereka."
Mereka terdiam tidak tahu harus menjawab apa.
Mata Audrey memicing tajam. "Mungkin mereka bertiga suka sama salah satu dari para cowok ini," tunjuknya pada ke enam lelaki di meja itu. Audrey melanjutkan. "Mungkin juga, mereka cemburu karena lo kelihatan lebih deket sama mereka."
Pandangan Audrey semakin tajam dan dingin menatap ke enamnya. "Fans-fans kalian harus diawasi, jangan sampai nyakitin Alena lagi. Kalo nggak ...."
Tanpa sadar, para cowok itu tegang menunggu kelanjutan ucapan Audrey.
Audrey menyandarkan punggung dengan bersedekap dada. "... kalian harus jauhi Alena."
"Gak!" Mereka dengan bersamaan menjawab kecuali Radhit dan Alvin.
"Gue gak mau jauhi adek gue," protes Ravael mengerutkan kening.
Audrey mengernyit dan berdecak. "Di sekolah aja, Rav. Kalo di rumah gak berlaku, kan? Buat apa gue larang-larang? Ini juga buat kebaikan Alena."
"Gak! Gue gak setuju." Andreas berwajah serius.
Rafka dan Deva mengangguk. "Gue lebih baik jagain dan lindungin Alena dari pada ngejauh."
Mereka yang mendengar hanya mengangguk setuju tanpa tahu arti kata-kata Rafka.
Audrey menghela nafas. "Okey, Fine. Kalo gitu, gue gak mau tahu, kalian harus ngelindungi Alena dari mereka. Gue gak akan selalu ada di sekitar Alena. Gue takut pas gue lengah ada yang berkesempatan, jadi kalian harus tanggung jawab."
Semua cowok itu mengangguk setuju dengan serius. Kesepakatan berakhir dengan memilih melindungi, daripada menjauhi Alena.
Alena yang berada di sana melongo melihat wajah-wajah serius dan suasana tegang hanya karena masalah tentang dirinya? Ia ingin berkata mereka tidak perlu untuk melindunginya, tapi sangat tidak mungkin untuk menyela di suasana seperti ini ....
***
Saat ini, Alena dan kakaknya akan pulang. Bell pulang sudah berakhir sedari tadi.
"Alena! Tunggu!"
Gerakan Alena yang akan memasuki mobil langsung terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Saat menoleh, dia melihat Andreas berlari ke arahnya.
"Andreas? Ada apa?" tanya Alena ketika Andreas sudah di hadapannya.
Ravael yang sudah memasuki mobil menautkan alis memperhatikan temannya. "Dre? Ada apa?"
Andreas menoleh ke dalam mobil. "Gue mau bicara sama Alena, bentar."
Andreas menarik Alena sedikit menjauh dari mobil, dan yang ditarik sedikit terkejut dan mengikutinya.
Setelah jarak lumayan jauh, Andreas kembali menghadap Alena. "Gue ... gue mau minta Maaf."
Alena mengerjap. "Minta maaf?"
Andres menatap matanya. "Soal tadi di lapang, gue kan ikut marahin lo."
Alena langsung mengerti arah pembicaraannya, lalu terkekeh. "Gak usah. Aku kan udah tahu kalian cuma pura-pura, ngapain minta maaf?"
"Tapi kan lo nangis."
Alena sedikit malu. "Gak pa-pa. Aku nangis karena kak Rava yang pertama kalinya kelihatan marah sama aku, walaupun sekarang aku tahu cuma pura-pura. Jadi yang lainnya, enggak aku masukin ke hati."
Andreas mengangguk kaku, tatapannya lurus ke bawah.
Melihat keterdiamannya, Alena memiringkan kepalanya mencoba melihat raut Andreas yang menunduk. "Andreas?
Entah apa yang dia pikirkan, cowok itu mengangkat kepalanya dan menyahut linglung. "Ha?"
Alena tersenyum. "Kalo gitu, aku pulang dulu, ya. Kak Rava udah nungguin."
Andreas mengangguk singkat. Gadis itu sudah berlari menjauh menuju mobil, dia hanya melihat punggungnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Setelah Alena masuk dan duduk di kursi mobil, Ravael Langsung bertanya penasaran. "Andreas ngomong apa, Dek?"
Alena menoleh dan menjawab dengan santai. "Oh itu ... dia cuma mau minta maaf soal di lapangan tadi."
Ravael yang teringat saat dirinya mengkode Andreas yang terlihat enggan, langsung mengerti. Dengan hati nurani bersalah, Ravael mengangguk tanpa bertanya lagi. Ia mulai menyalakan mobilnya dan mengendarai dengan santai.