Deva dan Selly telah membangun kisah cinta selama lima tahun, penuh harapan dan janji masa depan. Namun semua berubah saat Deva menghadapi kenyataan pahit: ibunya menjodohkannya dengan Nindy, putri dari sahabat ibunya.
Demi membahagiakan keluarganya dan demi mempertahankan hubungannya secara diam-diam Deva menjalani dua kehidupan: bersama Nindy, dan kekasih Selly di balik bayang-bayang malam.
Tapi seberapa lama rahasia bisa bertahan?
Ketika cinta, pengkhianatan, dan rasa bersalah bertabrakan, Deva harus memilih: menghancurkan satu hati... atau kehilangan segalanya.
Di dunia di mana cinta tak selalu datang pada waktu yang tepat, siapakah yang akhirnya akan Deva genggam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Semua Salah
Selly pulang dari pertemuannya dengan Deva dalam keadaan gelisah. Jantungnya berdegup tak beraturan, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Bagaimana semua ini bisa terjadi padanya? Wanita yang akan dinikahi Deva ternyata adalah karyawan di kantor Kevin. Wanita yang sering ia lihat keluar masuk ruang kerja Kevin dan yang lebih menyakitkan, wanita itu tahu tentang hubungannya dengan Kevin.
Bayangan akan bencana yang belum terjadi terasa begitu nyata, seperti mimpi buruk yang tak kunjung pergi. Selly tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah alam sedang membalas setiap dosa masa lalunya. Rasa takut kehilangan menghimpit dadanya, membuat napas terasa sesak. Senyum percaya diri yang dulu kerap ia tunjukkan kini sirna, digantikan oleh kecemasan dan rasa bersalah yang tak bisa ia ungkapkan.
"Kenapa… kenapa sekarang aku kehilangan rasa percaya diriku?" gumamnya lirih di depan cermin. Sorot matanya kosong, pantulan dirinya terasa asing. Yang ia lihat kini hanyalah bayangan perempuan yang rapuh terluka oleh hatinya sendiri.
Untuk menenangkan diri, Selly menyalakan musik lembut. Namun melodi yang mengalun pelan itu tak mampu menenangkan badai di dalam jiwanya. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar tanpa fokus.
"Sebenarnya… kalau aku bisa memilih, aku tak ingin menjalani kehidupan seperti ini," ucapnya hampir tak bersuara.
Air mata mulai jatuh perlahan, membasahi pipi. Ia tak lagi mampu menahan sesak yang menyeruak dari dalam dadanya. Di tengah malam yang sunyi, tangisnya lirih memecah keheningan mengisi kepekatan malam dengan luka yang nyata.
Selly membuka akun media sosialnya, berharap menemukan sedikit hiburan untuk mengalihkan pikirannya yang kacau. Ia mengusap layar ponselnya perlahan, menggulir berbagai postingan tanpa benar-benar memperhatikan.
Namun seolah alam ikut mempermainkannya, layar itu justru menampilkan pemandangan yang menusuk hatinya.
Sebuah foto seorang teman lamanya tersenyum bahagia bersama suaminya, menggendong anak kecil yang tertawa polos dalam pelukannya. Kebahagiaan sederhana itu terpampang jelas, begitu nyata, begitu dekat… namun terasa begitu jauh dari jangkauan Selly.
Ia terpaku menatap layar ponselnya.
Ada sesuatu yang menghangat di sudut matanya, sesuatu yang dengan susah payah ia tahan.
"Bahkan... bahkan alam pun seolah mengerti kalau aku sedang menginginkan kebahagiaan seperti ini," bisiknya lirih, suaranya bergetar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tempat lain, dalam malam yang sama, seseorang juga dilanda resah yang tak kalah dalam.
Tok tok tok.
Terdengar suara ketukan di pintu rumah.
“Ibu… tolong bukakan pintunya,” panggil Deva dari luar.
“Iya… sebentar,” sahut Bu Lastri dari dalam.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Bu Lastri mempersilakan putranya masuk. Wajah Deva tampak lelah, namun bukan hanya lelah fisik ada beban yang lebih dalam yang ia bawa malam itu.
“Kamu akhir-akhir ini sering lembur, ya, Dev?” tanya sang ibu dengan nada khawatir.
Dengan suara pelan, Deva menjawab, “Iya, Bu. Belakangan ini kerjaan lagi banyak.”
Itu bohong. Ia berbohong bukan karena ingin menyakiti ibunya, tapi karena tak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan kisah cinta yang harus disembunyikan.
Bu Lastri merasakan ada yang ganjil. Tapi ia memilih diam, tetap percaya pada putranya meski di hatinya ada sedikit kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.
Di dalam kamar, Deva membuka laci dan mengeluarkan sebuah foto potret dirinya bersama Selly. Senyuman mereka dulu begitu tulus. Ia menatapnya lama, seolah mencari kekuatan.
“Kenapa kisah cinta kita harus seperti ini, Selly?” batinnya. “Aku ingin dunia tahu bahwa aku mencintaimu. Aku ingin bisa bertemu denganmu tanpa rasa bersalah, tanpa harus terus berbohong pada ibuku…”
Hari lamaran dengan Nindy tinggal menghitung hari. Semua sudah direncanakan, keluarga sudah setuju. Tapi satu hal yang tak pernah ia prediksi perasaannya pada Selly justru semakin dalam saat segalanya semakin rumit.
Semakin hari, segalanya terasa semakin rumit.
Deva duduk termenung di sudut kamarnya, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kekacauan yang ia sendiri tak bisa redakan.
"Kenapa aku harus terpaksa menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai?" pikirnya getir. "Kenapa aku harus berpura-pura mencintai, hanya untuk menutupi perasaanku yang sesungguhnya kepada Selly?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berulang di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak kunjung berhenti diputar. Hatinya kian sesak, seolah tak ada lagi ruang untuk berharap.
Ia tahu, dirinya pernah dikhianati. Ia sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Selly mengkhianatinya, bagaimana Selly memilih Kevin di belakang punggungnya. Luka itu seharusnya membuatnya pergi, menjauh, menghapus semua rasa.
Namun kenyataannya, ia tetap tinggal.
Cinta telah membutakannya.
Meskipun logikanya menjerit, meskipun harga dirinya terluka, Deva tetap tak mampu melepaskan Selly. Ia seolah terjebak dalam lingkaran tak berujung antara rasa sakit dan cinta yang terlalu dalam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda dengan Deva dan Selly yang tenggelam dalam ketidakpastian, Nindy justru tengah berada di puncak kebahagiaannya. Hanya tinggal beberapa hari lagi, lelaki yang selama ini ia cintai akan datang melamarnya. Dalam benaknya, gambaran pernikahan impian mulai terbentuk tenang, penuh cinta, dan bebas dari segala kekhawatiran.
Ia membayangkan kehidupan setelah pernikahan. Rumah kecil, tawa Deva yang menenangkan, kebersamaan yang penuh kasih. Semua tampak seperti mimpi indah yang akan segera menjadi kenyataan.
Kontras itu nyata. Di saat cinta Deva dan Selly harus disembunyikan, Nindy justru begitu yakin bahwa kisah cintanya akan berakhir bahagia.
Malam itu, Nindy duduk di depan meja rias. Ia menatap cermin, lalu menyentuh kalung kecil yang menggantung di lehernya hadiah dari Kevin. Meski Kevin memberikannya tanpa banyak makna, bagi Nindy, benda itu seperti jimat pembawa keberuntungan.
“Mungkin kalung ini yang memperkuat keyakinanku… bahwa aku memang ditakdirkan untuk bersama Deva,” ucapnya pelan. “Aku yakin… aku akan bahagia menjalani hidup dengan orang yang kucintai.”
Ia tak tahu bahwa kebahagiaan yang ia rasakan berdiri di atas rahasia yang dalam. Ia tak tahu bahwa di balik senyum Deva, tersembunyi luka yang terus membesar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di tempat lain, Kevin masih dikuasai pikirannya sendiri. Entah mengapa, bayangan Martha mantan kekasih sekaligus istrinya muncul di benaknya. Masa kuliah mereka yang penuh cinta kembali terlintas, meski baru beberapa hari lalu mereka bertengkar hebat.
“Sial,” gumam Kevin. “Bahkan setelah semua yang dia lakukan, aku masih saja memikirkannya.”
Ia mencoba mengusir kenangan itu. Toh, pernikahan mereka tak lagi bisa diselamatkan. Jika bukan karena kepentingan bisnis orang tua mereka, mungkin Kevin sudah menceraikan Martha sejak lama.
Di ruangan lain, Martha pun sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia masih belum percaya, bagaimana bisa Selly simpanannya Kevin ternyata juga memiliki kekasih lain. Kisah cinta segitiga yang rumit itu seperti film. Bedanya, sekarang Martha menjadi salah satu tokohnya.
“Aku nggak bisa bayangin… kalau Kevin tahu wanita yang dia cintai ternyata juga milik orang lain,” ucap Martha lirih, lalu tertawa miris. “Ironis banget.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, keempatnya Selly, Deva, Nindy, dan Kevin terjebak dalam dunia masing-masing.
Ada yang saling mencintai tapi harus bersembunyi.
Ada yang yakin akan bahagia, padahal hanya sedang menapaki luka.
Ada yang mulai mencintai musuhnya sendiri.
Ada yang tertawa, padahal hatinya nyaris hancur.
Semua larut dalam pikirannya sendiri masing-masing tenggelam dalam cinta yang tak sederhana.