Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Sebelum Akad
"Woy, temen kampret!" Pekik seseorang saat Moza tengah sibuk dengan bunga bunganya.
"Windy!" Kagetnya melihat keberadaan sahabatnya itu disana.
"Apa gak usah sok kaget Lo! Apa maksudnya ini?" Tanya Windy dengan menujukkan undangan yang ia dapat pagi ini berserta box yang berisi baju bridesmaid di dalamnya.
Moza yang tadinya jongkok berdiri dengan wajah kaku dengan beberapa kali menelan Saliva. Tamatlah riwayatnya kali ini, beruang betina satu ini akhirnya mengamuk.
"Tiba-tiba gak pernah datang ke studio, asal di telpon gak pernah aktif, dan kalau gue tanya ke bang Julian jawaban dia Lo tau apa? Katanya Lo di China, eh, anjing banget tiba tiba satu studio geger tiba tiba dapat paketan undangan atas nama Lo sama baju bridesmaid. Lo menghilang dari muka bumi tiba tiba muncul beginian apa gak sakit jantung gue Moza!"
Windy mencak-mencak tanpa ampun, tak peduli sedang berada di rumah Panglima TNI. Bodo amat. Mau seisi komplek denger juga, gak peduli.
Moza hanya bisa melirik minta tolong ke arah keluarga yang sudah berdiri mematung. Hamzah, Clara, Julian, Fira, dan Berlian. Semuanya pasrah menyaksikan kehebohan gadis satu ini menyerbu rumah seperti FBI tanpa surat izin.
Moza cengengesan "maaf... hp aku rusak masih di perbaiki." bohongnya. Padahal ia memang tak ingin memegang ponsel lagi karena pernah di teror sekali oleh para penjahat itu membuatnya trauma.
Windy melotot, "Hello, Moza Rafilia Abraham yang cantik membahenol, buat apa Lo punya bokap juragan bintang lima dan studio segede itu kalau beli hp aja gak bisa?!"
Kalau ini film kartun, Moza yakin napas Windy barusan sudah bikin rambutnya acak-acakan macam kena angin topan. Bisa-bisa nyapu lantai tanpa alat.
Lagi Moza terkekeh miris, ia menatap sang papi dengan mata puppy eyes meminta bala bantuan. Ia tak bisa menangani Windy yang ngamuk ngamuk begini.
Hamzah, yang sejak tadi menahan tawa dan kasihan juga melihat anaknya disemprot sahabatnya, akhirnya melangkah mendekat. Disusul Clara, Julian, Vira, dan Berlian.
"Nak Windy" tegur Hamzah membuat Windy menoleh sementara Moza di tempat menghela nafas lega melihat seluruh keluarganya datang untuk menyelamatkannya dari beruang betina yang sedang mencak mencak.
"Assalamualaikum om, Tante. Maaf ya om aku buat keributan pagi pagi begini disini." Wajah Windy berubah lunak ketika melihat keberadaan Hamzah dan Clara. Lalu kembali mendelik bak ingin mengularkan lasernya saat bertatapan mata dengan Julian "Lo bang!" Tunjuknya pada Julian yang memang sudah cuti dari kerjaannya. Julian malah cengengesan seperti Moza.
"Hehehe, apa kabar Windy," sapanya sok ramah, ia bersembunyi di balik tubuh sang istri sadar betapa berbahayanya Omelan Sahabat adiknya itu. Bisa bisa pecah gendang telinganya.
Saat Windy ingin membuka mulut Clara menuntun Windy untuk duduk di salah satu sofa yang ada di teras lalu memberi isyarat Moza untuk membersihkan tangannya lebih dulu "gini nak Windy. Maaf banget atas nama Moza tante minta maaf ya karena sudah membebankan tanggung jawab studio sama kamu dalam beberapa hari ini, maaf banget."
"Aku gak papa Tante kalau cuma di titipin tanggung jawab studio sebentar, tapi ini udah hampir tiga bulan Moza gak masuk, di kabari gak bisa, pernah aku ke sini tapi kata ajudan om Hamzah, Moza gak lagi di rumah." Paparnya saat itu, ia ingat itu seminggu setelah Julian dengan wajah kacau datang ke studio meminta Windy untuk menghandle studio Moza untuk sementara waktu, ingat ya kata Julian itu cuma sebentar dan sementara yang Windy pikir itu cuma satu dua Minggu bukan hampir tiga bulan begini. Dan saat Windy bertanya kemana Moza, Julian malah bilang, gadis itu sedang berada di China liburan, sementara ini bukan akhir tahun, yang dimana biasanya Moza akan pergi healing.
Clara melirik Hamzah untuk membatu menjelaskan "iya, sebenarnya dua bulan lalu Moza sempat ke China, neneknya sakit. Dia di mintai tolong buat jaga neneknya disana. Tadinya di pikir cuma seminggu Dua Minggu tapi tenyata neneknya Moza minta di temani sampai dua bulan." jelas Hamzah dengan senyum diplomatis penuh kebohongan. Rahasia negara, bok. Mana bisa dibeberin begitu saja.
Windy tak mudah percaya "gak usah bantuin skenario bang Julian sama Moza deh om, tante. Ini orang dua pinter banget ngadalin gue." Katanya menunjuk Julian lalu beralih pada Moza yang baru datang setelah membersihkan tangannya.
"Gak bohong Windy, bener" kali ini Fira juga ikut andil dalam kebohongan ini. Dan mata Windy menangkap kepala Belian yang ikut mengangguk.
Oke, mau tak mau Windy percaya "tapi ini apa om? Tiba tiba banget dia mau nikah gak bilang-bilang?" Ia memperlihatkan undangan pagi ini yang ia dapatkan.
Hamzah garuk-garuk kepala "oh, itu..." Katanya sambil mikir "itu... Ada anggota om yang lamar dan mau menikahi Moza, ya om terima."
Mata Windy melotot "semudah itu?" Katanya dengan raut kaget yang tak bisa di sembunyikan. Hamzah mengangguk. Windy menatap Clara yang duduk di sampingnya meminta penjelasan dari Mak tersayang sahabatnya itu dan Clara mengangguk untuk meyakinkan Windy.
Tawa Windy malah meledak "om Hamzah? Semudah itu?" Kembali ia tertawa seakan akan itu lucu membuat yang lain nampak terheran heran kecuali Moza. Gadis itu malah meringis, tau apa yang Windy pikirkan.
"Om terima lamaran ini siapa namanya..." Windy dengan masih tertawa membaca nama mempelai pria yang akan menikahi sahabatnya lusa itu di atas kertas undangan yang ia terima "Abrizam, om terima si Abrizam ini semudah itu?" Tanyanya lagi masih tak percaya. Karena ia tau sepemilih apa bapak sahabatnya ini atas memilih menantu, kalau gak melebihi gatot kaca, out, batal jadi mantu idaman.
"Mau dia anak presiden atau pangeran Arab sekalipun gak akan semudah itu dapat restu dari om Hamzah. Contohnya kak Berlian tuh," tunjuknya pada Berlian, ia tau perjalan bagaimana yang di hadapi suami wanita itu demi bisa mendapatkannya, tentunya Windy tau itu dari mulut Moza, sampai membuat gadis berhati lembut seperti Moza trauma, tak ingin dekat dengan pria mana pun, katanya tak tega melihat kelak calon suaminya di gembleng habis habisan oleh Hamzah seperti yang terjadi pada Dwika.
Ini malah pria itu dengan begitu mudahnya mendapatkan restu dari Hamzah, bahkan dalam waktu dua bulan sudah akan menikah. Pria seperti apa pria yang bisa meluluhkan hati seorang panglima jenderal Hamzah yang terkenal keras dan posesif terhadap anak anak perempuannya.
Moza malah menarik tangan Windy untuk ikut naik ke kamarnya. Meninggalkan Hamzah dan yang lain di teras taman belakang.
"Hebat banget calon laki Lo za, jendral Hamzah, seorang panglima jenderal Hamzah semudah itu kasih restu. Gue mau sungkem sama tu cowok sekarang juga dah za. Hebat banget tu orang bisa ngeluluhin bapak posesif Lo itu." Kata Windy begitu tiba di kamar Moza, ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang king size yang nyaman dan empuk milik sahabatnya itu.
Ya, perkataan Windy ada benarnya. Tak mudah meluluhkan hati Hamzah yang amat positif terhadap dirinya dan Berlian, tapi dengan mudahnya Abri malah memberikan restu dan malah menyuruh cepat cepat menikahi Moza. Tapi melihat latar belakang, juga penampilan, semua pria yang mendekati Moza bahkan lebih dari itu. Apa karena Abri anggotanya atau karena orangtua Abri adalah teman Hamzah. Entahlah.
"Orangnya gimana? Ganteng atau standar?" Ia balik berdiri berjalan ke kulkas kecil yang ada di ujung kamar Moza, mencari apa saja yang bisa di makan di dalam sana.
"Kulitnya pasti item, karena udah jelas dia tentara pasti item. seputih putihnya tu laki pasti tetap item kalau udah jadi abdi negara." jawaban yang satu saja belum di jawab sudah ada pertanyaan lain yang di lontarkan Windy.
"Hidungnya mancung ala-ala perosotan bayi atau malah ambles kayak abis di tabrak buldoser?" Lanjutnya membuka kripik kentang dan memakannya.
"Tinggi atau pendek? Jangan sampai tinggian Lo ya za, jadi kayak menara di sebelah sumur!"
"Soal perjaka atau duda, udah pasti perjaka gak mungkin kan om Hamzah mau kasih lampu ijo sama seorang duda. Udah di blacklist duluan dari awal sama om Hamzah mah itu."
"Badannya... Udah pasti hot ala ala cowok nge-gym dengan otot otot membahenol nya kan za. Astagfirullah! Otak gue langsung ngebayangin yang iya iya anjir!"
Moza memijat pelipisnya pusing mendengar berbagai jenis terkaan yang keluar dari bibir mercon roket Windy. Tebak tebak sendiri malah heboh sendiri, dasar Windy. Ada tidak yang mau temen Moza satu ini, Moza donasikan deh kalau ada yang mau.
"Namanya Abrizam, pangkatnya kapten. Dia anggota papi."
Kesal Windy melempar bantal ke wajah Moza "gue gak buta huruf dan gak tuli ya za, itu nama cowok serta pangkatnya ada di kertas undangan. Papi Lo tadi juga udah jelasin kalau calon laki Lo itu anggotanya. Yang gue penasaran ini manusia dalam bentukan bagiamana yang bisa meluluhkan bapak Lo itu?!"
"Nanti pasti kamu tau win."
Windy mendengus, ia meneguk sebotol minuman coklat yang ia ambil dari dalam Kulkas. "Iye aja dah za. Gue sih dukung dukung aja. Cuma, ya tau lah. Gue syik syok dapat kabar ini. Kita teman dekat, sahabatan tapi gue gak tau apa apa. Parah banget sih Lo masa tinggal dua hari lagi Lo nikah baru gue dapat kabarnya. Gimana kalau baju bridesmaid nya kegedean. Diamana gue mau kecilin itu baju ogeb! Tapi intinya sekarang kalau Lo bahagia dengan pilihan bapak Lo ini gue juga ikut bahagia za." Windy tiba tiba memeluk tubuh Moza, air matanya sudah mengenang di pelupuk mata tak rela harus tinggal menggadis sendiri menunggu di lamar sang kekasih, tapi mau bagiamana jodoh Moza datangnya lewat jalur orang dalam, dia harus lapang dada dan mendukungnya kan?
"Pokoknya Lo harus bahagia ya za, pernikahan Lo harus bahagia. Kalau aja tu cowok nyakitin Lo, gue gak akan segan segan buat nonjok mukanya."
Moza tertawa kecil, menepuk pundak Windy. Belum nikah aja sahabatnya udah drama. Gimana nanti pas acara?
Andai saja Windy tau bahwa cowok yang akan dinikahi Moza adalah target salah jodoh... gimana ya reaksinya?
"Eh, iya letnan Aji mana? Gue gak ada liat dia loh. Gak ikut Lo ke China kan za? Dan Lo tinggalin disana?"
Deg!
___________
Langit mulai meredup, senja perlahan berpamitan. Abri, mengenakan peci, baju koko, dan sarung, baru saja menunaikan salat Magrib. Dwika duduk santai di boncengan motor, masih dengan wajah sok serius yang khas.
"Kau turun di sini apa ku antar sampai rumah?" Tanya Abri saat ia menghentikan motornya di depan rumah dinas yang baru ia dapatkan beberapa hari lalu.
PLAK!
Dwika dengan tangan ringannya itu mengeplak kepala Abri membuat sang empunya kaget dan mengadu.
"Calon adek ipar apa kau ini, gak ada segan segannya sedikitpun sama calon Abang ipar. Ingat bri dua hari lagi aku udah jadi Abang iparmu, A-bang i-par. Antar sampai rumah! Dan lagi, walaupun kita sebaya kau itu haru panggil aku Abang ingat a-bang!" Peringat Dwika gaya-gaya Senoipar sejati.
Memang, tinggal dua malam lagi status lajang Abri akan sirna. Setelah akad terucap dan tangan Panglima Jenderal Hamzah ia jabat, resmilah Moza jadi istrinya.
Abri mendengus pelan. “Mimpi apa aku semalam, ya Allah.”
Namun ia tetap menjalankan motornya, patuh mengantar sahabat semprulnya pulang.
Sedikit membungkuk dan mencondongkan kepalanya pada samping telinga kanan Abri ia berkata "Malah nanya mimpi apa, udah pasti mimpi kejatuhan bulan lah. Di lamar panglima untuk anaknya yang paling cantik tapi walaupun gitu bagiku masih tetap cantikan kakaknya." Kata Dwika tak mau kalah pokoknya baginya tetap Berlian yang paling cantik.
Lagi Abri mendengus "Terus dapat calon Abang ipar kayak kau itu mimpi kejatuhan apa?" Ia melirik spion motornya.
"Nah, kalau itu mimpi kejatuhan bulan terus gelindingnya ke bekoan," Dwika ngakak, tawa kocaknya meledak di boncengan kayak kuntilanak batuk.
Abri nyaris oleng.
"Eh, tunggu. Kau kok belum balik ke rumah mamamu? Belum cuti?" Tanya Dwika, heran. Pasalnya kalau dia dulu ambil cuti dua hari sebelum acara akad.
Abri menggeleng "besok malam baru pulang," jawabnya santai. Mereka akhirnya sampai di rumah dinas Dwika.
"Om abli...!!" Seru gadis cilik menggunakan mukena. Wajahnya plek ketiplek Dwika, tak perlu tes DNA. Ia berlari dan melingkarkan tangannya memeluk kaki Abri. Sepertinya ia baru pulang mengaji, terlihat Berlian di belakangnya habis menjemput gadis cilik itu dari tempatnya mengaji di salah satu rumah senior mereka.
"Heh, bapak Yayas di sini loh, kenapa om Abri yang di peluk?" Protes Dwika tak terima melihat putri kecil yang sering ia panggil—Yayas itu bukannya memeluk dirinya malah memeluk Abri.
"Yayas kangen om abli papa." Celoteh bocah empat tahun itu masih enggan melepaskan pelukannya dari kaki Abri.
"kemarin, kan ketemu di rumah baru om Abri." kemarin mereka pergi ke rumah dinas Abri untuk mengantarkan bubur kacang hijau buatan sang istri.
"Itu kan cemalam, ini beda. Udah kangen lagi. Om abli gendong!" Rengek Jasmine manja dengan mengangkat kedua tangannya keatas lalu membentangkannya meminta gendong pada Abri. Abri yang sudah full senyum pun langsung mengangkat tubuh gadis kecil itu kedalam gendongannya.
"Iiih, adek genit ih," ejek Berlian pada putrinya.
"Om Abli ganteng mama," jawab Jasmine tak nyambung, ia makin melingkarkan tangannya pada leher Abri memeluk kepala pria dewasa itu dan memberi kecupan di pipinya membuat Dwika mengap-mengap tak terima.
"Bibirnya Yayas!!" Matanya mendelik pada Abri, padahal Abri tak salah sama sekali.
Cegilnya Abri ini bocah🤣
Dret... Dret...
Ponsel Abri yang ada di saku kolor dalam sarung yang ia gunakan bergetar, "turun dulu ya Yasmine cantik, om mau terima telpon dulu." Katanya lembut menurunkan Yasmine dari gendongannya.
Berlian yang paham pun mengajak putrinya untuk masuk ke dalam rumah.
Abri menyingkap sarungnya sedikit untuk mengambil poselnya disana. Tertera nama atasannya di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang ia langsung menjawab panggilan tersebut.
"Malam Ndan!" Jawab Abri, matanya melirik Dwika yang juga ternyata tengah memperhatikannya. Cukup lama Abri diam, Karena mendengarkan penjelasan atasannya berbicara cukup panjang di sebrang sana.
Wajah Abri juga nampak berubah tegang dan itu tak luput dari pandangan Dwika. Perasaannya jadi tidak enak. Penasaran, ia mendekatkan telinganya pada ponsel Abri untuk mendengar apa yang di perintahkan atasan pria itu di sebrang sana. Tapi Abri malah memundurkan tubuhnya, tak membiarkan Dwika mendengar apa yang di katakan atasannya di sebrang sana.
"Siap, tidak komandan! " Seru Abri setelah cukup lama terdiam.
"..."
"Siap, tidak komandan!"
"..."
"Siap, laksanakan!"
Panggilan terputus, ia mengotak atik ponselnya mengirim pesan pada grup WhatsApp berisikan anggotanya yang di beri nama Avengers.
Merapat ke markas, masuk ke ruang pertemuan.
Dwika sempat melirik ponsel Abri dan melihat apa yang di ketik sahabatnya itu. "Bri!" Wajah Dwika menyiratkan guratan tak terima.
Tapi Abri tak perduli, ia naik ke atas motornya "aku pulang." Pamitnya setelah itu pada Dwika.
"Eh, tunggu dulu!" Dwika mencekal stang motor Abri. "Kau mau kemana? Kenapa kumpul di markas? Kabar apa yang kau dapat?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Dwika, dia sangat khawatir dan penasaran dengan kabar apa yang di dapat Abri dari panggilan tadi, dia takut sahabatnya itu malah mendapat tugas di penghujung masa lajangnya ini. Tau kan dua hari lagi itu sudah hari pernikahan Abri, jadi jangan sampai ada kendala atau halangan apapun cukup otak Abri saja selama ini yang menjadi penghalang perjodohan ini. Jangan sampai tugas dadakan ini juga ikut ikutan.
"Jawab bri! Kau mau kemana?!" Tanya Dwika sekali lagi karena Abri malah diam duduk di atas motornya.
"Aku..." Abri diam sejenak menatap lekat Dwika yang nampak tak sabar menunggu jawabannya. Menarik napas. "Aku dapat tugas," Jawabnya meski ragu, tapi Dwika juga pasti sudah tau.
Mata Dwika melotot, nah kan benar. Tugas dadakan menjadi orang ketiga "tugas? Kau gila heh?! Dua hari lagi kau nikah Abri, jangan aneh-aneh ya!" Baru saja Dwika mengingatkan sahabatnya itu akan menikah dua hari lagi, eh malah mau tugas? Apa Abri gak waras?!
"Jangan sampai seluruh keluarga ku nanggung malu karena kau malah pergi tugas dan meninggalkan acara akadmu!" Tentu saja Dwika tak terima mendengarnya, ia tak akan membiarkan Abri pergi, mertuanya sudah menyiapkan acara megah, jangan sampai acara itu berlangsung tanpa satu bintang utamanya.
"Ini tugas ku dwi dan sebagai sesama prajurit kau harusnya sudah tau jika ibu Pertiwi di atas segalanya!" Kata Abri dengan intonasi dingin, ia menyingkirkan tangan Dwika yang mencekal stang motornya.
Dwika terdiam, kenapa dirinya malah melupakan itu.
"Tapi bri–"
"Aku gak akan lama dwi, sampaikan salamku sama keluargamu juga... Moza." Potong Abri dengan suara memelan saat menyebutkan nama calon istrinya. Tanpa menunggu apa yang keluar dari mulut Dwika, Abri sudah menghidupkan mesin motornya dan pergi dari sana.
Dwika termengguh di tempatnya.
______________
Di ruang pertemuan senior Abri yang memiliki pangkat satu tingkat lebih tinggi darinya memimpin pertemuan kali ini. Beliau menjelaskan tentang misi apa yang mereka dapatkan.
"Misi kita kali ini adalah membebaskan para penduduk desa Apri yang kini di Sandera oleh pihak teroris yang sekaligus juga bandar narkoba. Desa itu letaknya begitu terpencil yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dengan lingkungan hampir seluruhnya di kelilini hutan. Bahkan akses jalan pun masih sulit maka dari itu untuk memperlancar misi kali ini kita akan lewat jalur udara supaya kita lebih cepat sampai."
"Untuk musuh yang akan kita hadapi ini... Mereka merupakan kelompok yang ternyata juga di buru oleh pihak Malaysia. Ketua kelompok ini belum kita ketahui, tapi mereka merupakan jaringan yang sama dengan penyandra... anak dari panglima jenderal Hamzah."
Deg!
Mata mayor yang memiliki name tag Malik di dada kanannya tersebut juga mata semua orang yang ada di sana kontan tertuju pada Abri, sementara Abri di tempatnya sudah membeku ia membalas tatapan mata atasannya itu dengan pandangan gak terbaca. Tapi tidak dengan mayor Malik.
"Ya, Abri ini berkaitan dengan kasus penyadaran calon istrimu itu," ujar mayor Malik tegas.
“Bukannya mereka sudah kita habisi saat insiden di basement mall?”
Mayor Malik menggeleng mendengar pertanyaan Gilang "itu separuhnya saja belum ada Sertu Gilang."
Mata yang lain mendelik kaget, memangnya berapa banyak jumlah mereka.
Sementara Abri hanya diam di tempatnya, lalu selanjutnya ia angkat suara "Izin komandan, kapan kita berangkat?" Tapi itu malah membuat mayor Malik, terkekeh ringan.
“Nggak sabar balas dendam, ya?” Tanya mayor Malik setengah menggoda yang mendapatkan bisikan godaan oleh para rekannya termasuk tim Avengers berisi anggota Abri dan juga merupakan fanbase Moza garis keras yang kini sudah mulai mendukung hubungan Abri dan Moza. Mereka habis-habisan di ceramahi oleh Dwika dan juga Dico sebelum Abri pindah ke rumah dinas.
"Oh, co cweet Abang kita satu ini~" goda Denis dengan mencolek dagu seniornya itu.
Tentu setelahnya ia mendapatkan pelototan dari Abri. Denis pun langsung kicep, ia menegakkan tubuhnya menghadap depan kembali di mana mayor Malik berada dengan sesekali melirik takut Abri dari ekor matanya. Entahlah semenjak satu kesatuan memusuhi Abri, pria itu lebih nampak menyeramkan. Tak ada raut bersahabat nya seperti perti dulu.
Mayor Malik tersenyum kecil "malam ini juga kita akan berangkat." Jawabnya dengan yakin “Ingat, mereka bukan kaleng-kaleng. Persenjataan lengkap, formasi profesional. Jadi tetap waspada." Peringatnya untuk terakhir kali.
"Siap komandan!"
"Baik, maka dari itu misi kita kali ini harus menyelamatkan seluruh penduduk desa Apari. Ingat, satu nyawa penduduk desa Apari itu sangat berarti untuk kita. Mengerti?"
"Siap mengerti!"
"Komando!"
duh rayden gemes banget aku.... gimana jadinya kala Rayden bersatu sama Sean pasti GK bisa diem ngakak trus smpai guling" pasti ...
duh junior nya bang abri dan moza luar biasa bikin bahagia😍
lanjut cerita saudara abri ya Thor..cayo semangat2,,,💪💪💪🔥