Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Saling Bertemu
"Dapurmu kebakaran, mas?" Gurau Laras saat melihat Dimas sedang merokok di depan pintu dapurnya.
"Enggak!" Dimas langsung melempar rokoknya yang masih panjang dan meniup - niup kepulan asap rokok yang tertinggal.
"Mulutnya ya yang kebakaran." Gelak Laras yang membuat Dimas tersenyum tipis.
"Ngapain?" Tanya Dimas pada Laras yang sedang duduk di gazebo.
Gazebo bambu itu berada di halaman belakang rumah Uti yang bersebrangan dengan pintu dapur rumah Dimas.
"Nyantai aja. Mau ikut ke pabrik, gak dibolehin sama Uti." Jawab Laras.
"Tumben." Kata Dimas yang hanya di jawab senyuman oleh Laras.
"Sakit?" Dimas berjalan menghampiri Laras dengan membawa segelas kopi susu hangat.
Pria tinggi itu melompati pagar tanaman setinggi paha yang menjadi pembatas halaman rumah Uti dan rumahnya.
"Sumeng." Jawab Laras.
"Demam. Kemarin sore ujan - ujanan sih." Celetuk Dimas setelah memegang pipi Laras yang terasa panas.
"Sok tau. Katanya Mas gak ada di rumah?"
"Aku liat kamu dari rumah Baim." Jawab Dimas.
"Gitu diem aja, gak mau nyamperin aku. Bawa daun pisang kek, buat payungan. Kan di rumah mas Baim banyak pohon pisang." Kekeh Laras.
"Udah ada yang ngasih payung." Sahut Dimas yang membuat Laras terkekeh.
"Iya, untung aja ada Gus Farid. Kalo gak, beneran menggigil aku, sampe rumah." Ujar Laras.
"Seneng banget." Komentar Dimas.
"Iyalah. Perempuan mana yang gak seneng di samperin sama Gus yang wajah dan auranya seadem ubin masjid. Gak cuma di samperin, di perhatiin pula, di pinjemin payung. Kalo Nila, pasti udah guling - guling sih, terus payungnya di simpen di balik jilbab biar gak keujanan." Gelak Laras.
"Udah minum obat?" Dimas mengalihkan pembicaraan.
"Udah minum paracetampol kok."
"Paracetamol!" Sahut Dimas yang membuat Laras tertawa.
"Pucet, Ay, Masuk sana." Kata Dimas.
"Suntuk di dalem, mas. Lagian gerah juga, pake kipas dingin, gak pake kipas gerah. Kalo di sini sejuk rasanya. Mas kalo mau pulang, pulang aja. Gak kerja?" Tanya Laras.
"Nanti."
"Urung tak ombe iku, Ay. (Belum tak minum itu, Ay)" Kata Dimas saat melihat kopi susunya di minum Laras.
"Makanya tak minum, dari pada mas anggurin. Kasian udah nunggu lama, tapi cuma di diemin aja. Kalo udah di ambil orang lain kan, yang memiliki baru bereaksi." Cicit Laras.
"Curhat?" Sahut Dimas.
"Enggak, ngasih contoh." Jawab Laras.
Untuk beberapa saat, mereka berdua sama - sama terdiam, hanyut dengan pikiran masing - masing.
"Besok tes kan?" Tanya Dimas.
"Iya, mas." Jawab Laras.
"Sakit gini."
"Nanti juga baikan, mas. Gak mungkin aku lewatin tes yang terakhir, besok." Jawab Laras yang menyandarkan kepala pada lipatan tangannya yang bertumpu di lutut.
"Pusing?" Dimas kembali memegang dahi Laras.
"Dikit." Lirih Laras.
"Masuk sana istirahat. Nanti kamu pingsan di sini lagi." Cicit Dimas.
"Nanti juga ada yang mindahin kalo pingsan." Jawab Laras.
"Farid?"
"Kalo Gus Farid, langsung di pindahin kerumah pak kiyai. Dinikahin sekalian." Gurau Laras yang membuat Dimas terdiam.
"Ch!" Dimas berdecih.
"Kenapa? Mas Dimas tiba - tiba gerah?" Ledek Laras.
"Enggak."
"Yaudah, biasa aja dong mukanya." Kekeh Laras.
"Mau aku anter ke puskesmas?" Tawar Dimas yang mendapat gelengan dari Laras.
"Mas."
"Hm..."
"Jangan ngerokok." Kata Laras.
"Ini gak ngerokok." Jawab Dimas yang langsung mendapat lirikan sinis dari Laras.
"Ndablek! (Bandel)" Gerutu Laras kemudian.
"Ngaca." Sahut Dimas yang membuat Laras tersenyum.
"Udah ah, aku mau masuk aja. Nanti mas gak kerja - kerja, malah ikutan ngaso di sini." Kata Laras sembari beranjak.
Sementara Dimas hanya tersenyum melihat Laras yang beranjak dari tempat duduknya.
"Besok tak anterin." Kata Dimas.
"Iya. Yaudah sana pulang, berangkat kerja." Kata Laras sambil berjalan meninggalkan Dimas.
"Gak semangat."
Laras yang sudah berjalan agak jauh itu, kemudian membalikkan badannya.
"Semangat ya, mas, kerjanya. Cari cuan yang banyak, biar bisa beli pabrik rokok." Kata Laras yang membuat Dimas tersenyum.
Dimas pun beranjak kembali ke rumah setelah memastikan Laras benar - benar masuk ke dalam Rumah.
"Ko endi to, kowe Dim? (Dari mana to, kamu Dim?)" Tanya bu Asih.
"Ten jogrokanne Uti. (Di gazebo Uti.)" Jawab Dimas.
"Arep medang wae, ndadak nyebrang. (Mau minum aja, pakai nyebrang.)" Komentar bu Asih.
"Bedo to, bu. Nak nggone Uti kan enek seng ngancani. (Beda lah, bu. Kalau tempat Uti kan ada yang nemani)" Sahut pak Sugeng.
"Gek ndang di rabi wae ngopo, nak bocahe gelem. Mengko ketiwasan kapok. (Cepet di nikahin aja kenapa, kalau anaknya mau. Nanti menyesal kapok.)" Goda bu Asih.
"Butuh proses bu." Jawab Dimas.
"Kesuwen, selak di rabi uwong. (Kelamaan, keburu di nikahi orang.)" Celetuk pak Sugeng.
"Pripun to, pak, bu. Kok malah bapak kalih ibu sing mboten kanten?. (Gimana sih, pak, bu. Kok malah bapak sama ibu yang gak sabaran.)" Cicit Dimas sembari meninggalkan kedua orang tuanya.
...****************...
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Laras membuka pintu ruang tamu setelah menjawab salam. Kebetulan ia sedang belajar di ruang tamu rumah Uti.
"Ngapain mas?" Tanya Laras.
"Nih." Dimas menyerahkan bungkusan plastik berisi makanan.
"Eh, hehehe. Si paling peka. Makasih mas Dimas." Kekeh Laras.
"Tinggal chat aja, ndadak di bikin status." Gerutu Dimas sambil duduk di lincak yang ada di teras rumah Uti.
Laras juga ikut duduk di lincak panjang, bersebelahan sama Dimas.
"Kenapa? Takut ada orang lain yang peka?" Ledek Laras sambil membuka plastik yang di berikan Dimas.
Dimas sendiri hanya diam, tak merespon ledekan Laras.
"Ini mas satu?" Laras memastikan.
"Buat Uti. Uti mana?" Tanya Dimas.
"Kerumah mbak Minah." Jawab Laras sambil menunjuk rumah mbak Minah dengan dagunya.
"Mas gak makan?"
"Udah di toko."
"Yaudah, aku masuk bentar ya." Kata Laras sembari membawa satu kotak mie pemberian Dimas.
"Hm." Jawab Dimas.
Tak Lama, Laras kembali dengan membawa segelas kopi susu dan segelas air putih.
"Mas sakit?" Tanya Laras yang melihat Dimas bersandar sambil bersidekap dada dengan mata terpejam.
"Enggak."
"Ngantuk? Capek?" Tanya Laras.
"Dikit." Jawab Dimas yang kembali menegakkan duduknya.
"Di minum mas." Kata Laras sembari kembali duduk di sebelah Dimas.
Gadis ayu itu tampak menikmati mie yang Dimas bawa. Dimas memperhatikan gadis di sampingnya, gadis yang entah mengapa bisa membuatnya merasa nyaman.
"Mau cicip, mas?" Tawar Laras yang di jawab gelengan oleh Dimas.
"Besok berangkat jam berapa?" Tanya Dimas.
"Jam delapan, aku udah harus di lokasi, mas." Jawab Laras.
"Kantornya di sebrang toko, kan?" Dimas memastikan yang di jawab anggukan oleh Laras.
"Ih, kaget aku! Dingin banget tangan mas." Kata Laras saat Dimas menyentuh pipinya untuk memeriksa suhu tubuh Laras.
"Badanmu yang panas. Gak mau berobat?" Tanya Dimas untuk yang kesekian kalinya.
"Besok aja, kalau misal besok belum baikan." Jawab Laras.
Dimas pun hanya mengangguk, tak ingin memaksa. Setelah selesai makan, Laras membereskan bekas piring dan bungkus makanan, lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Dimas sendiri masih menunggu di teras sembari menikmati kopi susu buatan Laras.
"Assalamualaikum." Dimas menegakkan kepala saat seseorang yang ia kenal, menyambangi rumah Laras.
"Waalaikumsalam." Jawab Dimas.
"Eh, mas Dimas. Piye kabare? (Gimana kabarnya?)" Tanya Gus Farid yang menyalami Dimas.
"Alhamdulillah, apik. Kowe piye kabare? Lungguh, Rid. (Alhamdulillah, baik. Kamu gimana kabarnya? Duduk, Rid)." Dimas mempersilahkan.
"Alhamdulillah yo apik. Suwe ra tau njedul neng pondok to, mas? Mentang - mentang ra ono Gus Farhan. Abi sering nakok i lho. (Alhamduah ya baik. Lama gak pernah muncul di pondok sih, mas? Mentang - mentang gak ada Gus Farhan. Abi sering nanyain lho."
"In syaa Allah, kapan - kapan tak neng pondok. (In syaa Allah, kapan - kapan aku ke pondok.)" Jawab Dimas.
"Iki, Uti opo ora neng omah, mas? (Ini, Uti apa gak di rumah, mas?)" Tanya Farid.
"Gur enek putune. (Cuma ada cucunya.)" Jawab Dimas yang di jawab anggukan mengerti oleh Gus Farid.
"Ay.... Ay... Ada tamu." Dimas memanggil Laras
"Iya, mas." Jawab Laras yang ternyata sedang berjalan keluar.
Farid sendiri nampak sedikit terkejut dengan cara Dimas memanggil Laras. Mimik wajahnya pun sedikit berubah, seperti menyimpan pertanyaan.
update trus y kk..
sk bngt ma critany