dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 14. KEHENINGAN YANG MENAKUTKAN
Malam itu begitu sunyi.
Bukan karena tak ada suara... tapi karena suara telah dicuri oleh dentuman neraka.
Baru saja mereka semua berhasil keluar dari gudang tua itu dan saat udara malam menerpa wajah-wajah penuh luka dan napas mereka masih tersengal. Elena masih memeluk ayahnya yang nyaris tak sadarkan diri, sementara Sean memberi aba-aba pada anak buahnya untuk menyisir area.
Namun tiba-tiba...
"SSSSTTT-CKK!!"
Alejandro berhenti. Instingnya menangkap sesuatu.
Suara yang tak asing. Percikan api. Timer. Dan desis elektronik...
Matanya membelalak.
"SEMUA TIARAP!!!"
Alejandro menjerit sambil menarik Elena ke pelukannya, membungkus tubuh gadis itu dengan tubuhnya sendiri. Ia menjatuhkan diri, menutup erat telinga Elena, membungkam suara dunia darinya.
"DUARRRRRRRRRRR!!!!!!!"
Mereka kecolongan, Ternyata Arthur memasang empat bom di beberapa titik gudang tersebut selain yang melekat di tubuh tuan wigantara tadi.
Ledakan maha dahsyat mengguncang langit malam. Api membakar gudang tua, melemparkan serpihan besi dan kayu ke udara. Tubuh Alejandro dan Elena terpental sejauh beberapa meter. Begitu pula Sean, Ryuga, dan Kinara yang terhempas ke tanah berdebu.
Asap mengepul tebal, serpihan api turun seperti hujan neraka.
Elena menggeliat, tubuhnya gemetar. Bajunya koyak, wajahnya penuh luka gores dan debu.
Namun yang paling menyakitkan bukan itu.
"Alejandro!"
Ia mengguncang tubuh pria itu yang masih memeluknya. Darah segar mengalir dari telinga Alejandro, wajahnya pucat. Napasnya berat dan tak stabil.
"Alejandro, jawab aku! Ini aku, Elena... kumohon..."
Namun Alejandro hanya diam. Matanya memandangi langit kelam yang berputar-putar. Suara Elena seolah makin menjauh. Dunia menjadi senyap.
"Alejandro!!!"
Gadis itu menjerit, mengguncang tubuhnya lebih kuat. Tapi sang bodyguard tetap tak bereaksi. Ia masih hidup... tapi jiwanya seperti tertahan di antara dunia sadar dan sunyi.
Dari jauh, Ryuga mencoba bangkit, menyeret kakinya menuju mereka.
Kinara berteriak memanggil bala bantuan medis yang sudah dipersiapkan oleh sean. sementara itu, Sean memegangi rusuknya yang berdarah, pelipisnya robek karena terkena serpihan tajam yang melayang mengenainya, namun matanya tetap tak lepas dari dua sosok itu di tengah puing dan api.
Elena menunduk, air matanya membasahi wajah Alejandro.
"Jangan pergi... jangan diam seperti ini... aku belum sempat bilang kalau... aku percaya padamu."
Suara Elena bergetar. Tangannya memeluk kepala pria itu, mencium dahinya yang basah oleh keringat dan debu.
Dan malam itu... untuk kesekian kali...
Alejandro menyelamatkan nyawa orang lain, tapi kehilangan sepotong dari dirinya sendiri.
Suara itu... di mana suara itu?
Alejandro membuka mata perlahan. Cahaya lampu putih menyilaukan retinanya. Aroma karbol khas rumah sakit menusuk hidung.
Tapi yang paling menyakitkan, adalah keheningan.
Dia tak bisa mendengar apa-apa.
Mulut seseorang di hadapannya bergerak. Elena.
Tapi tak ada suara.
Alejandro mencoba duduk, tapi nyeri di dadanya menahannya. Elena langsung memeluknya dengan air mata jatuh di bahunya. Tapi dia hanya menatap kosong. Suara Elena... telah hilang dari telinganya.
Gangguan pendengaran akibat ledakan. Itu yang kemudian dijelaskan dokter lewat tulisan di kertas.
Pria itu hanya menatap kosong pada kertas dengan tulisan yang tak pernah dia bayangkan untuk dia baca apalagi alami.
"Pergi," ucap nya lirih tanpa melihat kearah elena ataupun pada dokter berkacamata itu.
"Tapi, Al..."
"Ku bilang pergi ya pergi, apa kau tidak paham!" Bentak alejandro secara tiba-tiba membuat elena mencelos, kedua netra hazel nya mulai mengembun.
Dokter tersebut menggelengkan kepalanya pelan kearah elena, mengisyaratkan agar membiarkan alejandro sendiri terlebih dahulu.
Sementara itu di ruang rawat lain nya, Sean berpura-pura memejamkan matanya karena dia bisa merasakan amarah istrinya yang sebentar lagi akan meledak.
"Buka matamu, jangan pura-pura tidur atau kau, ku tinggal sendirian di sini." Ancam Alana dengan suara pelan namun tegas.
Alana berdiri dari duduknya dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada menatap suaminya yang masih pada pendiriannya. pura-pura tidur.
"Oh, baiklah kalau kau mau seperti ini terus, aku bisa apalagi," Alana mengambil tasnya dan berniat untuk pergi namun secepat kilat Sean menahan tangan istrinya lalu tersenyum polos memasang wajah tanpa dosa.
"Tega sekali kau meninggalkan suami mu yang sedang sekarat,"
Alana kembali duduk di sebelah bangkar putih itu dan meletakkan kembali tas nya di atas nakas.
"Kenapa kau tidak mengatakan apapun soal ini? Kenapa kau suka sekali terluka, hah!" Alana tiba-tiba menangis saat memandangi bagaimana luka-luka itu terpahat di wajah dan tubuh suaminya.
Sean mencoba untuk duduk dan menarik Alana kedalam pelukannya, mengusap wajah wanita yang paling dia cintai di dunia ini.
"Maafkan aku, maaf karena ini terjadi di luar kendali...aku janji tidak akan mengulanginya lagi, jadi jangan menangis...ku mohon."
"Jangan menangis katamu? Lalu apa aku harus tertawa, saat tahu kalau suamiku hampir mati karena ledakan bom itu!" Alana memang marah besar dan kecewa karena Sean tidak berkata jujur padanya namun suara nya tidak pernah bisa meninggi meskipun kesal setengah mati.
"Aku minta maaf, sebagai gantinya, nanti aku akan memakai piyama pink koleksi terbaru yang ada di lemari sesuai permintaan mu seminggu yang lalu," Sean mengatupkan kedua tangannya didepan dada mencoba bernegosiasi agar dimaafkan oleh Alana.
Ryuga yang berada di depan pintu masuk bersama Kinara yang setia mendorong kursi roda nya tak berani masuk kedalam.
"Ra, sebaiknya kita kembali saja," bisik nya pelan namun kedua mata nya tetap berjaga takut mommy nya melihat nya dan ikut memarahi nya.
"Kenapa, kau bilang ingin memeriksa keadaan Daddy mu?" Kinara. Gadis itu menoleh kearah Alana yang juga ada di dalam sana. Gadis yang memakai perban di dekat kepalanya itu tersenyum jahil.
"Kau takut dimarahi mommy mu, ya? Memangnya kau anak kecil, hah!" Kinara menepuk lengan ryuga dengan keras sehingga membuat pria yang mengalami cidera pada pergelangan kakinya itu meringis.
"Kau ini, berbahaya sekali," Ryuga menahan tangan Kinara dan menggenggam nya erat.
"Eh, kau mau apa?"
"Bawa aku ke taman, aku akan mentraktir mu es krim strawberry dua, bagaimana?" Ryuga bernegosiasi agar Kinara tidak mendorong kursi roda nya lebih dalam kedalam ruangan rawat Daddy nya itu.
Kinara tersenyum cerah. "oke, siap meluncur," Kinara sengaja mendorong kursi roda ryuga dengan cepat sambil berlari sehingga membuat pria itu hampir memekik karena takut jika tiba-tiba menabrak pengunjung ataupun pasien, apalagi jika dia yang terpental.
"Ra...Ra! Kinara!!!!"
"Kinara...stop!!!"
Gadis itu semakin menambah kecepatan nya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Ryuga mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal, rasa syok nya masih terasa membara. Dia menatap tajam kearah gadis cantik yang sudah bersamanya sejak masa SMA dulu.
"Bagaimana, seru, kan?" Kinara duduk di bangku taman rumah sakit itu sambil tertawa kecil melihat bagaimana ekspresi ryuga yang tampak lucu di matanya.
"Awas saja, akan ku balas kau," gumamnya dalam hati.
"Kenapa kau melihatku seperti itu, kau ingin balas dendam ya?" Kinara menaikturunkan kedua alisnya menggoda ryuga.
"Tidak, jangan berprasangka buruk dulu, kau kan tahu kalau pacarmu ini sangat baik dan penuh perhatian," ujar ryuga sembari mengeluarkan ponselnya dari saku baju pasien yang dia kenakan.
"Aku sudah memesan es krim nya dan kau harus menghabiskan semuanya," Pria itu tersenyum menyeringai melihat ekspresi Kinara yang tampak bingung sekaligus penasaran.
"Cuma dua, dalam waktu kurang 5 menit pun aku bisa menghabiskan nya, Ryu," jawab gadis itu bangga.
"Kau benar, aku hanya memesan dua....dua kontainer es krim rasa strawberry."
"Apa!"