Alby dan Putri adalah dua remaja yang tumbuh bersama. Kedua orang tua mereka yang cukup dekat, membuat kedua anak mereka juga bersahabat.
Tidak hanya persahabatan, bahkan indahnya mahligai pernikahan juga sempat mereka rasakan. Namun karena ada kesalahpahaman, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimana jika pasangan itu dipertemukan lagi dalam keadaan yang berbeda. Apakah Alby yang kini seorang Dokter masih mencintai Putri yang menjadi ART-nya?
Kesalahpahaman apa yang membuat mereka sampai memutuskan untuk berpisah?
Simak cerita selengkapnya ya...
Happy reading.
------------
Cerita ini hanya fiksi. Jika ada nama, tempat, atau kejadian yang sama, itu hanya kebetulan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon el nurmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
makan malam spesial
Happy reading...
Lembayung senja memanjakan mata dengan warnanya yang menjingga. Deru suara kendaraan yang terdengar samar-samar bagai irama pengiring langkah-langkah menuju rumah.
Masih dengan rasa tidak percaya yang meliputinya, Putri mencoba mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah. Sungguh apa yang didengarnya dari Alby jauh dari perkiraannya.
Alfi sudah bertemu dengan ayahnya. Sosok yang selama ini selalu ditanyakan anak itu. Dan Alby sudah mengetahui keberadaan putra mereka yang semula ingin ditutupinya.
"Mama!" Lengkingan suara Alfi dari halaman rumah pemilik kontrakan membuat Putri menoleh. Anak itu melambaikan tangan dengan raut wajahnya yang senang. Apakah Alfi senang telah bertemu ayahnya?
"Baru pulang, Put?" tanya Bu Lastri, pemilik kontrakan.
"Iya, Bu."
"Putri, tadi ada Pak RT ke sini mendata warga yang punya anak sekolah termasuk yang ngontrak juga."
"Mendata buat apa ya, Bu?"
"Katanya sih buat bantuan dari pemerintah untuk anak sekolah."
"Oh yang dapat kartu itu mungkin ya, Bu."
"Iya. Kata Pak RT itu bagaimana? Kok nama bapaknya Alfi nggak ada di kartu keluarga? Itu status Alfi bagaimana? Apa yatim, apa gimana..."
"Gimana apa maksudnya, Bu? Sebelumnya kan saya sudah bilang, saya sama ayahnya Alfi baru nikah siri, belum tercatat secara negara."
"Iya, ibu juga ingat. Kamu sih keganjenan, Put. Belum punya KTP sudah menikah. Waktu tahu hamil malah ditinggal. Sekarang lihat akibatnya, segede gitu Alfi belum punya akte. Iya kan? Memangnya kamu nggak kasihan, akte kelahiran itu kan penting."
Putri tertegun mendengar penuturan Bu Lastri. Kemudian ia pun pamit ke masuk ke dalam rumah. Apa yang dikatakan Bu Lastri memang benar, akte kelahiran merupakan dokumen penting yang harus dimiliki setiap orang. Bahkan pihak sekolah sudah berkali-kali memintanya.
Alfi bisa masuk ke sekolah itu karena bantuan saudara majikan ibu. Saat pihak sekolah menanyakan perihal akte, jawaban yang bisa ia berikan hanyalah 'nanti menyusul'.
"Ma, bawa apa?"
Putri terhenyak dari lamunannya. Ia kemudian tersenyum pada putranya yang sedang membuka tasnya.
"Mama bawa baso? Eh bukan, sayur ya ini, Ma?"
"Iya. Nanti dihangatkan dulu kalau mau makan. Al, nenek belum pulang?" tanya Putri pada Alfi yang berlalu ke dapur sambil menjinjing plastik berisi sayur yang sengaja dibelikan Alby.
"Tadi nenek sudah pulang. Tapi barusan pergi lagi, katanya mau nengok saudaranya Mbak Mia."
"Saudara Mia? Kenapa memangnya, Al? Tadi di toko, Mia nggak bicara apa-apa sama mama."
"Nggak tahu, Ma. Tolong bukakan dong, Ma."
"Nasinya hangat?" tanya Putri sambil membuka simpul plastik pembungkus sayur dan menuangkannya pada panci kecil yang dibawa Alfi.
"Iya. Sebelum pergi, nenek masak nasi. Jas hujannya bagus lho, Ma. Pas lagi. Sayang nggak hujan ya, jadi nggak dipakai." Ujarnya.
"Namanya juga jaga-jaga. Sedia jas sebelum hujan."
"Ih bukan, sedia payung sebelum hujan." Sahutnya sambil terkekeh.
Putri menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Kemudian menyuapkannya satu sendok ke mulut Alfi.
"Hmm, enak. Ini sayur daging sapi ya, Ma."
"Sayur sop iga."
"Kok sama namanya seperti sayur sop buatan nenek. Tapi kalau itu sayur sop ceker." Kelakarnya.
Putri mengulumkan senyum melihat Alfi yang lahap menyuapkan makanannya. Saat Putri hendak ke kamar mandi, Bu Rita tiba di teras dan masuk ke rumah.
"Sudah pulanh, Put?"
"Sudah, Bu. Siapa yang sakit, Bu?" tanya Putri yang mengurungkan niatnya ke kamar mandi.
"Itu, keponakannya Mia. Dia jatuh dari tangga. Kasihan, Put. Ibunya sampai bingung takut biayanya besar. Untungnya nggak ada pendarahan di kepala dan ada dokter baik yang membayarkan pemeriksaan itu. Ternyata mahal juga ya periksaan begitu. Apa ya namanya? Ibu lupa." Tuturnya.
"Tia jatuh di tangga? Kapan, kok Mia nggak bilang sama Putri?"
"Tadi pagi. Mia udah berangkat. Wah? Ini kamu yang bawa, Put?" tanya Bu Rita dengan tatapanata yang berbinar.
"Iya, Bu. Kebetulan ada sisa," sahut Putri berdusta.
"Sudah makan belum kamu, Put?"
"Sudah, tadi di sana. Putri mandi dulu ya, Bu. Habiskan saja sayurnya," sahut Putri.
"Asik nih, Al. Makan malam kita spesial malam ini. Kapan ya terakhir kali kita makan daging sapi?"
"Lebaran haji, Nek. Kan dikasih sama Pak RT seplastik kecil. Alfi ambilkan nasi ya, Nek."
"Oh iya ya, nenek lupa. Iya, yang banyak Al. Nenek lapar. Ini mau dihabiskan atau disisakan untuk besok, Al?"
"Habiskan aja deh, Nek. Enak banget," sahut Alfi.
"Oke. Ini mamamu beneran nggak mau lagi? Put, makan lagi nggak!" seru Bu Rita.
"Enggak, Bu. Putri sudah kenyang."
Bu Rita dan cucunya dengan semangatnya menikmati makan malam dengan lauk sayur yang dibawa Putri.
***
Heningnya malam terusik oleh isak tangis seorang wanita yang tersungkur di lantai. Isakannya terdengar lirih dan memilukan sambil meremas bagian perutnya.
"Kak, cepat datang..." Panggilnya lirih. Menatap nanar ponsel yang tergeletak di dekatnya.
Perlahan rasa hangat mulai terasa dibagian pahanya, seperti air yang mengalih begitu saja. Ia tersentak saat menyadari ternyata itu adalah darah. Wajahnya mulai memucat.
"Tidak. Jangan, aku mohon..." Ratapnya sambil menggelengkan kepalanya.
Suara pintu yang dibuka segera mengalihkan perhatiannya. Seorang pria nampak terkejut dan setengah berlari menghampiri wanita itu.
"Manda, kamu kenapa? Ya Tuhan, kamu..." Pria itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia sangat terkejut melihat darah yang mulai menggenang.
"Kak, tolong Manda," ucap wanita itu pelan.
"Kita akan ke rumah sakit. Bertahanlah," sahut pria itu yang sekuat tenaga membopong si wanita keluar apartemen.
Selama perjalanan, tidak ada yang bersuara. Pria itu mencoba fokus pada kemudi sambil sesekali menoleh pada wanita yang meringis menahan sakit. Beruntung malam mulai larut. Lalu lintas tidak semacet saat sore hari.
Setibanya di halaman rumah sakit, ia langsung menepi di depan bagian IGD.
"Tunggu sebentar ya." Ujarnya.
Pria itu bergegas menuju ruang IGD.
"Sus, tolong siapkan brankar." Pintanya. Ia segera menghampiri temannya yang sedang menatap heran.
"Arga, ada apa? Siapa yang sakit?" Intan dan beberapa perawat yang ada di sana terkejut melihat baju yang dikenakan Arga hampir dipenuhi darah.
"Intan, tolong Amanda. Dia... dia mengalami pendarahan." Ujarnya.
"Amanda? Oke, bawa ke sini." Intan menyerahkan catatannya pada perawat di sampingnya. Ia juga pamit pada pasiennya.
Intan bergegas menghampiri brankar yang didorong perawat dan Arga. Wanita bernama Amanda itu sudah lemas karena kehilangan banyak darah. Perawat bahkan kesulitan mencari bagian pembuluh darah yang akan dipasangi infus. Sesaat kemudian Arga merasa lega melihat perawat itu sudah berhasil memasangkan selang infus di lengan Amanda.
"Ga, dia siapa kamu?" tanya Intan setelah keluar dari tempat Amanda manjalani pemeriksaan.
"Intan, bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan?" tanya Arga dengan rait wajah yang khawatir. Pria itu berlalu dan melihat sekilas keadaan Amanda yang kini sedang terlelap.
"Bisa kita bicara?" tanya Intan dan diangguki oleh Arga.
Sesampainya di ruangan Intan, Arga yang masih terlihat khawatir terduduk di kursi tepat di depan Intan.
"Bagaimana keadaannya, Intan? Dia benar mengalami pendarahan kan?"
"Iya, dan..."
"Ada apa?"
"Dia keguguran," sahut Intan singkat.
"Apa?" Arga terkejut mendengar pernyataan rekannya.
"Keguguran. Sepertinya pasien terkena benturan yang cukup keras. Ditambah usia kandungan yang masih muda. Masih di trimester pertama," papar Intan.
Arga tertegun mendengarnya. Ia begitu terkejut dengan kenyataan yang ada di depan mata.
Hai, Readers🤗
Mohon maaf🙏 mulai besok, author akan mengganti judul 'PAK DOKTER, CINTAKU' ini ya🙏🙏🙏
Hal ini dikarenakan judul yang menurut author kurang sesuai dengan alur cerita. Author akan menggantinya dengan judul 'MAJIKANKU AYAH ANAKKU'. Ikuti terus kisah Alby-Putri ini.
Terima kasih😊
Boleh tdk tamat sekolah tp Jangan Mau di Goblokin Lelaki.. Apa lg Mantan Suami yg Gak Jelasa Statusnya.
Di katakan Mantan Suami, Nikahnya masih Nikah Sirih, bukan Nikah Syah Secara Hukum Negara.
Oh Putri Goblok, Mudah x memaafkan..
aku suka cerita nya gx bertele2 terus bisa saling memafkan
sukses buat author nya,,, semangatt