"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Pertarungan
Bayangan-bayangan itu melingkari mereka bagaikan kawanan serigala lapar. Udara bergetar, seolah dinding tak terlihat menutup rapat dan memisahkan dunia luar dari arena ini.
Eryndra berdiri di sisi Bell, wajahnya tegang. Cahaya biru dari tongkatnya bergetar seperti api lilin yang hendak padam. Ia menoleh cepat ke arah Bell.
“Bell…” suaranya rendah, terdesak oleh rasa takut dan keberanian yang bersamaan. “…jika kita tidak bisa keluar dari sini, apa kau pernah berpikir untuk—”
Bell memotongnya dengan nada datar, nyaris dingin.
“Berhenti memikirkan apa yang tidak penting.”
Matanya tetap lurus ke depan, pada pria bertudung yang hanya berdiri di kejauhan, seakan menanti.
“Kalau aku kalah, aku hanya akan kembali pada kutukan ini. Kalau kau kalah… kau akan mati. Jadi fokuslah pada yang nyata.”
Eryndra terdiam. Hatinya seperti diremas—kata-kata Bell begitu keras, tapi justru membuatnya sadar: pria ini tidak pernah membiarkan dirinya terguncang oleh rasa takut. Bahkan, seakan kematian sudah lama tak berarti baginya.
“…Kau benar,” gumamnya, lalu mengeratkan genggamannya pada tongkat. “Kalau begitu, aku akan bertahan. Tidak peduli apapun yang terjadi.”
Bell tidak menoleh. Sekilas, hanya sekilas, bibirnya melengkung samar—entah itu senyum, entah sekadar refleksi bayangan api yang berkelip.
Bayangan pertama menyerang. Ia meluncur seperti tombak hitam, menembus udara dengan jeritan yang terdengar di kepala, bukan di telinga.
Bell mengayunkan pedangnya sekali—sayatan tegas membelah bayangan itu, memaksanya terpecah jadi kabut gelap.
Namun, sepuluh lainnya langsung mengikuti.
Ledakan cahaya biru dari tongkat Eryndra menghantam lantai reruntuhan, membentuk lingkaran sihir yang menahan sebagian bayangan. Sementara Lythienne menembakkan panah beruntun, anak panahnya bersinar perak, menusuk kabut dan menahan gelombang serangan.
Pria bertopeng hanya mengangkat tangannya sedikit. Setiap kali ia bergerak, bayangan-bayangan itu berlipat ganda, semakin padat, semakin sulit dihancurkan.
“Bell Grezros…” suaranya menggaung di antara dentuman pertempuran. “Setiap pedang yang kau ayunkan, setiap perlawanan yang kau lakukan, hanya akan memperdalam jurangmu sendiri. Kau tak bisa kabur dari takdirmu.”
Bell melompat ke depan, menebas dua bayangan sekaligus, lalu berdiri di tengah lingkaran api biru Eryndra. Matanya dingin, seakan perkataan itu hanyalah angin lalu.
“Aku tidak peduli pada takdir. Yang kubenci hanyalah rantai yang ingin mengikatku.”
Dengan itu, aura hitam samar merembes keluar dari tubuh Bell—sisa kutukan abadi yang ia miliki. Untuk pertama kalinya sejak pertarungan dimulai, pria bertudung itu berhenti tertawa.
Seketika, bayangan-bayangan meledak serentak, menandai pecahnya pertempuran besar yang tak lagi bisa dihindari.
Bayangan demi bayangan terus bermunculan dari kegelapan, bagaikan lautan tanpa tepi. Semakin mereka ditebas, semakin cepat mereka pulih, seolah hanya menertawakan usaha sia-sia.
Lythienne memanah tanpa henti, anak panah peraknya pecah menjadi percikan cahaya yang membakar kabut hitam. Namun tiap kali ia menjatuhkan satu, dua lainnya lahir dari kegelapan. Keringat dingin menetes di pelipisnya, bibirnya menggertak.
“Ini… tidak ada habisnya!” serunya.
Eryndra berlutut, tongkatnya menancap pada tanah retak, cahaya biru dari lingkaran sihir makin redup. Nafasnya tersengal. Ia telah mengerahkan begitu banyak energi untuk menjaga perisai yang melindungi mereka dari hempasan serangan mental bayangan.
“Aku… bisa menahannya… tapi tidak lama…”
Bell berdiri di depan keduanya, tubuhnya diselimuti kabut kelam samar yang tak asing baginya. Pedang hitam di tangannya bergerak cepat, tebasan demi tebasan, memutus apa pun yang mendekat. Namun meski ia menghancurkan banyak, bayangan lain terus berdesak dari segala arah.
Pria bertopeng di kejauhan masih diam, hanya mengangkat tangannya setiap kali bayangan baru dipanggil. Tatapan matanya dari balik topeng seolah penuh ejekan, seakan ia hanya menunggu waktu hingga mereka lelah dan tenggelam.
“Apa kau pikir kau bisa menahan selamanya, Bell Grezros?” suaranya terdengar tenang, menusuk.
“Kutukanmu akan menelan teman-temanmu lebih dulu. Lihat saja—mereka rapuh, seperti kaca.”
Bell tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, lalu mengayunkan pedangnya dalam busur besar. Gelombang hitam keperakan meluncur, menyapu barisan bayangan. Sekejap, lingkaran mereka terbuka, memberi sedikit ruang bernapas.
“Sekarang!” teriaknya.
Lythienne segera berlari ke sisi Eryndra, membantu menopang tubuh penyihir itu yang hampir roboh. “Bertahanlah… kita hanya perlu beberapa langkah lagi untuk mendekatinya!”
Namun, seketika tanah di bawah kaki mereka bergetar. Dari kegelapan, bayangan-bayangan berkumpul, menyatu menjadi sosok raksasa hitam, dengan mata merah menyala dan tangan panjang seperti cambuk. Sosok itu mengaum, menghantam tanah, membuat reruntuhan bergetar hingga debu berhamburan.
Eryndra memandangnya dengan mata terbelalak, tubuhnya bergetar. “Itu… penjaga bayangan… kekuatan yang hanya bisa dipanggil oleh penyihir tingkat tinggi…”
Pria bertopeng tertawa rendah, langkahnya maju setapak.
“Kalau kau ingin sampai padaku, Bell, lewati dulu raksasa ini. Mari kita lihat berapa lama jalan yang kau pilih bisa bertahan melawan kegelapan sejati.”
Bell mengangkat pedangnya, matanya dingin. Namun jauh di dalam, ia tahu: jalan menuju musuh utama tidaklah mudah. Mereka harus melawan gelombang bayangan yang seakan tak ada habisnya, sekaligus raksasa yang kini berdiri sebagai penghalang.