HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelahiran yang Sederhana
Tini hanya mengangguk. Wajahnya tetap datar—tidak ada senyum, tidak ada air mata bahagia. Hanya... datar.
"Ayo pulang. Aku cape."
Dewanga mengangguk—masih terdiam, masih mencerna kabar itu.
Mereka berjalan pulang dalam diam—Tini di depan, Dewanga di belakang, masing-masing dengan pikiran yang berbeda.
Malam itu, Dewanga tidak bisa tidur.
Ia berbaring di kasur, menatang langit-langit yang gelap. Tini sudah tidur—membelakanginya seperti biasa.
"Aku... aku mau jadi ayah..." bisiknya pelan—suaranya gemetar, penuh emosi yang sulit dijelaskan.
Ia teringat ayahnya—Pak Sentanu yang bekerja keras sampai mati demi anak-anaknya.
"Ayah... aku mau jadi ayah yang baik. Aku janji aku gak akan kayak... aku gak akan ninggalin anak aku. Aku gak akan kayak Fiko."
Air matanya mengalir—perlahan, tanpa suara.
Ia menyentuh perut Tini dengan hati-hati—sangat hati-hati, takut membangunkannya.
"Hai, Nak... ini Ayah... Ayah janji Ayah akan jaga kamu. Ayah akan kerja keras. Ayah akan sayang sama kamu."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, Dewanga merasakan sesuatu yang mirip dengan... harapan.
[Bab 30 Selesai - 600 kata]
Bab 31: Bekerja Lebih Keras
Sejak tahu Tini hamil, Dewanga berubah.
Ia bekerja lebih keras—bangun lebih pagi, pulang lebih malam, mengambil pekerjaan sampingan sebagai kuli serabutan di sore hari setelah selesai jualan.
Mengangkat barang di toko bangunan—lima belas ribu sekali angkat.
Membersihkan selokan di rumah tetangga—dua puluh ribu per jam.
Semua demi anak yang belum lahir.
Tini tidak banyak berubah—masih sering marah, masih sering bentak, tapi sesekali ada momen di mana ia... sedikit lebih lembut.
"Dewa, aku pengen makan rujak."
Dewanga langsung berdiri. "Sekarang? Malam-malam gini?"
"Iya. Aku ngidam."
"Oke. Aku beliin."
Dewanga berlari ke pasar malam—membeli rujak buah dengan uang sisa jualannya. Pulang dengan napas terengah-engah, menyerahkan rujak itu pada Tini dengan senyum.
"Ini, Tini."
Tini makan dengan lahap—tidak bilang terima kasih, tapi wajahnya sedikit lebih tenang.
Dan bagi Dewanga, itu sudah cukup.
Bulan-bulan berlalu.
Perut Tini semakin membesar. Ia semakin sering marah—hormon kehamilan membuatnya lebih sensitif, lebih cepat emosi.
Tapi Dewanga bertahan—karena ia tahu, ini semua demi anak mereka.
Dan suatu malam, saat Tini tidur, Dewanga berbisik pada perut istrinya.
"Nak... Ayah udah gak sabar ketemu kamu. Ayah udah siapin nama. Kalau kamu perempuan... namanya Aini. Aini Lestari. Semoga kamu jadi anak yang baik, yang sayang sama Ayah dan Mama."
Ia mencium perut Tini pelan—penuh harapan, penuh cinta.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dewanga tersenyum tulus.
Sembilan bulan kemudian.
Pukul 02.00 dini hari, Tini terbangun dengan wajah pucat—keringat dingin membasahi dahinya.
"Dewa... Dewa bangun..." suaranya lemah.
Dewanga langsung terbangun. "Tini? Kenapa?"
"Sakit... perutku sakit banget..."
Dewanga panik. Ia menyalakan lampu—melihat Tini memegang perutnya dengan wajah meringis kesakitan.
"Udah waktunya?!"
Tini mengangguk.
Dewanga langsung berlari ke kamar Bapak Tini. "Pak! Pak bangun! Tini mau melahirkan!"
Bapak Tini langsung bangun—tubuhnya yang tua bergerak cepat. "Panggil paraji! Cepat!"
Paraji—dukun beranak kampung—tinggal tidak jauh. Dewanga berlari sekencang-kencangnya, membangunkan Bu Sumi, paraji berusia enam puluhan tahun yang sudah membantu ratusan kelahiran.
"Bu! Bu Sumi! Istri saya mau melahirkan!"
Bu Sumi langsung bergegas—membawa tas kain lusuh berisi kain, gunting, benang, dan ramuan tradisional.
Di rumah, Tini sudah dibawa ke kamar.
Bapak Tini menyiapkan air panas. Bimo bangun—duduk di ruang tamu dengan wajah dingin, tidak peduli. Eka tidur pulas—tidak tahu apa yang terjadi.
Bu Sumi masuk kamar—memeriksa Tini dengan cepat.
"Udah bukaan lima. Sebentar lagi. Kamu harus kuat, Tin."
Tini mengangguk—wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan sakit.
Dewanga berdiri di luar kamar—mendengar suara rintihan Tini yang semakin keras.
"Ya Allah... tolong selamatkan istri dan anak saya... kumohon..." bisiknya dengan air mata mengalir.
Pukul 04.47 pagi.
Terdengar suara tangis bayi—tangis keras, penuh kehidupan.
Dewanga langsung masuk—melihat Bu Sumi menggendong bayi mungil berlumuran darah, masih menangis kencang.
"Selamat, Dewa. Anak perempuan. Sehat."
Dewanga menangis—menangis keras, tanpa malu, tanpa peduli.
Ia menerima bayinya dengan tangan gemetar—menatap wajah mungil itu dengan mata penuh air mata.
"Hai, Nak... ini Ayah... Ayah sayang kamu..."
Bayi itu berhenti menangis sebentar—matanya yang kecil terbuka sedikit, seolah mengenali suara ayahnya.
Dewanga tersenyum—senyum paling tulus dalam hidupnya.
"Namanya Aini... Aini Lestari... semoga kamu jadi anak yang baik, yang sayang Ayah dan Mama..."
Dan pagi itu, di rumah sederhana yang penuh luka, lahir satu-satunya cahaya dalam hidup Dewanga.
Aini.