(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangisan Hendra
Aku sengaja mengekorinya yang menjauh sembari tersenyum puas. Dulu dia mengkhianatiku dengan senangnya, bahkan sampai tak pulang ke rumah selama sebulan demi perempuan itu. Melihat ini, tak apa lah jika kini aku balik mengolok-olok dirinya, kan?
"Aku ingat kamu bilang, Dewi itu terpaksa jadi LC demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Kekurangan uang, lah, intinya. Tapi lihat. Dia sudah bisa beli mobil. Aku dengar pun dia sudah buka usaha pondok kelapa dan rumah makan juga, loh. Banyak ya uangnya?" kataku.
Mas Hendra menggosok body truknya dengan kasar.
"Kan Mas enggak tahu kalau dia bohong waktu itu." katanya.
Aku tersenyum miring.
"Sekarang sudah tahu dia begitu, bagaimana perasaan Mas ke dia? Masih cinta? atau mungkin jantung Mas berdebar-debar waktu melihat dia tadi?"
Mas Hendra menoleh ke arahku sambil mendengus dan memutar matanya kesal.
"Ogah, amit-amit." katanya.
Aku tertawa puas. Sebenarnya aku tidak tahu dengan jelas apa dia bereaksi jujur atau hanya berusaha memuaskanku saja, tapi tetap saja aku merasa senang dengan jawabannya. Bukan senang karena Mas Hendra akhirnya sadar dan memilihku. Tapi lebih seperti puas melihatnya menyadari kebodohannya dulu, mungkin?
"Itulah laki-laki. Istrinya cacat sedikit langsung cari perempuan lain. Padahal mungkin yang kalian cari di selingkuhan kalian itu hanya 5% yang istri kalian enggak punya. Tapi kalian malah memilih yang 5% itu daripada istri yang punya 95% nya lagi." sindirku.
Mas Hendra mendengarkan ocehanku sambil kembali mencuci truknya. Kemarin dia baru saja mendapat muatan di jalan yang rusak dan becek, jadi mobilnya sekarang benar-benar kotor karena tertutupi lumpur.
"Kamu dapat info-info itu darimana sih, Dik? Dena? Jangan dekat-dekat sama dia lagi, deh." katanya.
"Kenapa?"
"Ya kamu kan tahu pekerjaan dia gimana. Takut kamu kebawa-bawa nanti."
Aku memutar mata dengan jengah. Bisa-bisanya dia melarangku berteman dengan Dena karena pekerjaannya, sedangkan kelakuan dia sendiri pun seperti itu. Lagipula aku kenal Dena pun karena mereka yang memesan dia, kan?
"Kamu saja temannya begitu. Kenapa aku enggak boleh?"
Mas Hendra menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Laki-laki dan perempuan kan beda, Dik."
Mataku melotot. Ingin rasanya ku jitak kepalanya saat itu juga jika bisa.
Aku menaruh gembor diatas meja teras dengan agak keras. Mas Hendra masih cukup beruntung karena stok kesabaranku masih ada sehingga gembor ini tak langsung melayang ke kepalanya.
"Kalau Mas pingin aku jauhin Dena, boleh. Asal Mas sendiri pun jangan berhubungan lagi sama perempuan-perempuan kayak gitu." kataku.
Mas Hendra menghela napas pelan.
"Iya-iya." katanya.
"Jangan iya-iya doang, Mas. Mas harus jauhi mereka. Jangan kira aku enggak akan tahu kalai kalian ketemuan di luaran sana. Karena aku pasti akan langsung tahu. Dan kalau memang begitu---habis kamu nanti."
Aku berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Hal terakhir yang kulihat adalah wajah pucat Mas Hendra saat dia menelan ludah setelah mendengar ancamanku barusan.
***
Seperti biasa, Mas Hendra akan pergi kumpul-kumpul dengan temannya saat malam, dan baru kembali setelah lewat tengah malam---bahkan kadang subuh. Aku bukannya mengizinkan dengan senang hati, tapi dia yang memang sudah bebal. Sudah berkali-kali kami ribut soal ini, tapi Mas Hendra tetap begitu dengan beragam alasan yang dia punya. Jadi, aku tak mau ambil pusing lagi. Terserah dia mau pulang atau tidak, aku lelah memberitahunya.
Entah kapan dia pulang malam itu, tapi aku justru dibuat terbangun karena lagi-lagi dia bermimpi buruk. Kali ini dia bahkan sudah membuka matanya, matanya melotot dan dia berteriak---tapi dia tidak bisa bergerak. Ekspresinya saat itu benar-benar membuatku ngeri.
"Aaaaarrrrggghhhh!"
"Mas, istighfar! Kamu kenapa begini terus, sih, Mas?"
Aku menggoyang-goyangkan bahunya sampai dia benar-benar kembali. Bukannya aku istri tak tahu diri yang tak bisa mengertikan kondisi suami, tapi Mas Hendra terus-terusan seperti ini hampir setiap hari. Dia bahkan sudah pisah ranjang dariku dan memilih tidur di lantai, tapi endingnya tetap begini juga. Dan yang paling membuat kesal, dia tak mau memberitahuku sama sekali tentang apa yang terjadi padanya ini.
Mas Hendra terduduk, dia meraup wajahnya dengan kasar.
"Mas, kamu kenapa sih? Kamu udah kayak gini sebulanan loh. Tapi kamu enggak mau kasih tahu aku sama sekali. Ada sesuatu yang bikin kamu gelisah, atau apa?"
Jika memang ada sesuatu yang membuatnya gelisah hingga dia terus bermimpi buruk, dia bisa cerita padaku. Mungkin saja aku bisa membantu mencari jalan keluar. Misalnya, jika dia punya suatu masalah yang dia tak tahu bagaimana menyelesaikannya.
Tapi kalau dia terus diam dan membisu seperti ini, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena apa yang bisa aku lakukan jika orangnya sendiri pun tak mau memberitahukan padaku masalah apa yang dia alami?
Dan saat itu, aku justru terkejut.
Bahu Mas Hendra bergetar, lalu dia mulai terisak.
Dia menangis!
"Dik," panggilnya sambil berbisik penuh iba.
"Tolongin Mas... Mas benar-benar gila rasanya jika terus-terusan begini."
Aku menatapnya dengan terdiam. Syok melihatnya tiba-tiba menangis seperti ini.
"Mas, kenapa? Coba ceritakan supaya aku tahu masalahnya apa." ujarku.
Mas Hendra kembali menangis. Dia mengusap kasar air mata yang meleleh di pipinya.
"Mas... sepertinya diganggu, Dik." katanya.
Mataku melebar. Jadi... itu bukan sekedar mimpi buruk karena gelisah akan sesuatu, tapi sebuah gangguan?
"Maksudnya? Siapa yang lakuin? Dewi?"
Mas Hendra terisak mendengar nama itu.
"Enggak tahu, tapi sepertinya benar perempuan itu."
Aku jadi semakin bingung.
Maksudku, perempuan itu kelihatannya masih suka cari-cari perhatian dari Mas Hendra. Dia bahkan masih sering minta balikan padanya. Kenapa dia malah mengganggu Mas Hendra? Bukannya lebih cocok jika dia mengirim semacam pelet padanya agar Mas Hendra mencari-cari dirinya lagi?
"Tapi kenapa Dewi kirim begituan ke kamu, Mas? Kayaknya enggak cocok, deh. Lebih cocok aku yang diganggu sama dia, karena dia kesal padaku. Kalau kamu..."
Aku menatapnya, sedang Mas Hendra malah semakin menangis. Tubuhnya gemetaran dengan keringat yang masih membanjiri tubuhnya setelah mimpi buruknya tadi. Atau lebih tepatnya---saat di ketindihan tadi.
"Mas enggak tahu, Dik. Tapi yang jelas ini udah enggak normal lagi. Mas udah coba cara ini-itu yang disaranin orang-orang, tapi hasilnya tetap begini juga. Mas udah gak tahan, Dik. Mas takut..." katanya.
Aku jadi kasihan saat melihatnya. Dia yang biasanya selalu ingin terlihat kuat di depan orang-orang, kini justru sedang gemetaran dan ketakutan. Aku mengusap-usap lembut punggungnya, berharap itu bisa sedikit menenangkan dirinya yang saat ini sedang ketakutan.
"Nanti aku coba tanya ke Ustadz kemarin, deh. Mungkin dia bisa bantu."
Mas Hendra mengangguk. Tampaknya dia sudah benar-benar tidak tahan dengan semua gangguan itu. Aku bahkan merah matanya itu. Kantung matanya juga menghitam, jelas dia kurang tidur.
"Mas," aku menatapnya, "Boleh aku tahu apa yang kamu lihat dalam mimpimu?"
Mas Hendra menatapku. Dia tampak tak ingin memberitahuku, tapi... karena dia sedang membutuhkan bantuanku, akhirnya dia bicara juga.
"Sebenarnya... "
***
Jangan lupa like, komen, dan subscribe!
Terimakasih 😘
See you tomorrow~
Semangat berkarya ya Thor