NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:315
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiba Di Desa Mekar Sari

Bu Rida mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah sedikit serius.

“Dulu ayah Leo pernah cerita tentang bukit itu. Namanya memang cantik, tapi katanya tempat itu sepi… dan gak semua orang betah lama-lama di sana.”

Mira yang dari tadi mendengarkan ikut bicara sambil tersenyum iseng,

“Katanya juga suka ada suara perempuan nyanyi dari arah hutan, Bu.”

Suasana tiba-tiba agak hening.

Lala menelan ludah, tapi tetap mencoba tersenyum.

“Hehe… mungkin cuma cerita lama, Bu. Lagian kami gak naik malam-malam kok.”

Bu Rida menatap mereka satu per satu. Tatapannya lembut, tapi dalam.

“Ya sudah, kalau kalian mau pergi, hati-hati ya. Jangan berkata sembarangan di tempat orang. Dan Leo…”

Leo menatap ibunya. “Iya, Bu?”

“Kalau kamu ikut, jangan lupa bawain air dari rumah. Air doa, yang di kendi kecil itu. Ibu titip, ya.”

Leo agak heran, tapi mengangguk saja.

“Iya, Bu. Siap.”

Mira menimpali sambil tertawa,

“Wah, Bang Leo disuruh bawa air suci segala! Kayak mau lawan jin aja!”

Semua ikut tertawa, tapi Bu Rida tidak tertawa. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela, di mana bayangan pohon bergoyang diterpa angin sore.

Perlahan, beliau berbisik pelan nyaris tak terdengar,

“Bukit Arga Dipa… semoga mereka gak membangunkan yang tidur di sana.”

***

Pagi itu udara masih dingin, embun masih menempel di dedaunan. Suara burung terdengar samar dari kejauhan. Mobil putih milik Nando sudah terparkir di depan rumah Leo. Klakson dibunyikan pelan, beep… beep…

Leo keluar tergesa-gesa sambil membawa tas ransel besar di punggung dan jaket gunung tergantung di bahu.

“Siap berangkat, Kapten!” teriak Leo sambil tertawa.

“Cepat naik, bro! Yang lain udah pada nunggu”jawab Nando dari jendela mobil sambil menepuk-nepuk setir.

Bu Rida muncul di depan pintu sambil tersenyum.

“Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut, ya. Kalau sudah sampai bukit, kabari Ibu,” katanya.

Leo mencium tangan ibunya.

“Iya, Bu, doain lancar ya.”

Mira, adiknya, melambai kecil dari dalam rumah.

“Jangan lupa bawa pulang foto banyak-banyak, Kak!”

Nando menyalakan mesin mobil, dan suara knalpot memecah keheningan pagi.

Mereka pun berangkat menuju rumah Lala, tempat titik kumpul semua teman.

Di dalam mobil, Leo terlihat semangat luar biasa.

“Akhirnya liburan juga! Setelah sekian lama cuma nongkrong di rumah, sekarang kita naik gunung!”

Setelah menjemput Lala, mereka semua berkumpul lengkap di dalam satu mobil—Nando, Leo, Dimas, Citra, Lala, Novi, dan Raka. Canda tawa memenuhi perjalanan mereka. Lagu-lagu dari playlist Nando mengalun keras, membuat suasana semakin ramai.

Namun, begitu mobil mulai meninggalkan jalan kota dan memasuki jalan yang melewati hutan yang sunyi, suasananya perlahan berubah. Pohon-pohon besar menjulang di kiri-kanan jalan, menutupi sebagian cahaya matahari. Jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok.

“Menurut perkiraan peta sih, dari kota ke desa Mekar Sari sekitar enam jam perjalanan,” kata Lala sambil menatap layar ponselnya. Ia duduk di kursi tengah, rambutnya diikat ke belakang, dan wajahnya terlihat serius memperhatikan rute.

“Enam jam? Wah, lumayan juga ya. Kirain cuma tiga jam,” celetuk Novi yang sudah mulai menguap.

“Makanya tadi aku suruh berangkat pagi,” sahut Nando sambil menyalip truk sayur di depan mereka.

“Kalau kesiangan, bisa-bisa nyampe pas malam.”

Dimas yang duduk di sebelah Leo melirik jam tangannya.

“Sekarang aja udah jam setengah delapan. Berarti nyampe siang dong?”

Lala ikut menimpali, suaranya agak pelan,

“Kalau lancar iya. Tapi kalau jalannya mulai menanjak dan rusak, bisa lebih lama.”

Citra yang dari tadi sibuk merekam vlog perjalanan langsung berseru, “Wah, makin seru dong! Kita kayak petualang beneran. Coba nanti aku upload ke channel, pasti rame.”

“Yang rame tuh kalau kamu kesasar, Cit,” goda Raka sambil tertawa, membuat semua ikut ngakak.

Namun, di tengah tawa itu, Lala tiba-tiba mengernyit.

“Tunggu deh… di peta ini, jalan menuju desa Mekar Sari kayaknya belum diperbarui. Lihat, di sini cuma ada satu jalur utama, tapi garisnya samar banget.”

Leo mencondongkan badan melihat layar.

“Hmm… bisa jadi karena daerahnya jarang dilalui orang. Aku pernah denger katanya sinyal di sana juga suka hilang.”

“Waduh,” ujar Dimas setengah bercanda,

“jangan-jangan kita malah nyasar ke desa yang gak ada di Google Maps.”

Mereka tertawa lagi, tapi Leo tetap diam, memandangi jalan yang mulai menanjak dan berliku-liku di depan. Kabut tipis mulai muncul di antara pepohonan, padahal masih sore. Suasananya perlahan berubah—sepi, hanya terdengar suara mesin mobil dan gesekan angin di dedaunan.

“Guys…” Lala bicara lagi, kali ini dengan nada sedikit cemas.

“Baru aja sinyalnya hilang.”

“Yah, bener aja,” gumam Nando.

“Berarti mulai sekarang kita cuma bisa andalin insting sama jalanan ini.”

Ternyata waktu tempuh yang mereka lalui tidak seperti perkiraan. Jalan menuju desa Mekar Sari tidak semulus yang mereka bayangkan—berkelok, sebagian berlubang, dan di beberapa titik harus melewati jalan tanah yang mulai becek karena hujan semalam. Mobil Nando bahkan sempat tergelincir ringan di tanjakan licin sebelum akhirnya bisa melaju lagi.

Saat akhirnya papan kayu bertuliskan

“Selamat Datang di Desa Mekar Sari” muncul di depan mereka, jarum jam di dasbor sudah menunjukkan pukul 17.05. Matahari hampir tenggelam di balik pepohonan besar yang menaungi jalan masuk desa itu.

“Wah… udah sore banget,” gumam Leo sambil menatap ke luar jendela.

“Kayaknya perjalanan kita molor hampir dua jam.”

“Iya nih, jalannya bikin jantung deg-degan,”

timpal Citra, masih memegang kameranya.

“Untung aja gak bocor bannya.”

Desa Mekar Sari terlihat sunyi. Rumah-rumah panggung dari kayu berjejer di pinggir jalan, beberapa dengan lampu minyak kecil yang mulai menyala. Anak-anak tidak terlihat bermain, bahkan suara ayam pun seolah tak ada. Hanya angin sore yang berhembus membawa aroma lembab dan samar bau dupa terbakar.

“Seriusan ini desa masih ada penghuninya?” tanya Novi pelan, sedikit merapat ke Lala.

“Kayaknya ada, tuh,” kata Raka menunjuk ke depan. Seorang pria tua berpeci hitam sedang duduk di bale-bale depan rumah, menatap mobil mereka dengan pandangan tajam tapi tanpa ekspresi.

Nando menghentikan mobil. Mesin langsung mati, meninggalkan keheningan yang mencekam.

“Permisi, Pak,” sapa Leo dari jendela.

“Kami mau numpang semalam di desa ini sebelum lanjut ke bukit Arga Dipa.”

Pria tua itu menatap mereka lama sekali, lalu pelan-pelan berdiri. Suaranya berat dan dalam.

“Bukit Arga Dipa…?” ia mengulang dengan nada datar. “Kalian anak muda mau naik ke sana… malam-malam begini?”

Lala menjawab ragu,

“Iya, Pak. Tapi mungkin kami baru naik besok pagi.”

Pria tua itu menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat ke mobil.

“Nak… dengar kata orang tua ini. Kalau kalian sayang nyawa, jangan coba-coba mendaki bukit itu. Apalagi kalau ada di antara kalian yang belum bersih hatinya…”

Ucapan itu membuat suasana di dalam mobil langsung hening. Hanya suara jangkrik yang terdengar dari kejauhan.

Pria tua itu ternyata bernama Pak Arman, sesepuh desa Mekar Sari. Meski wajahnya terlihat keras, ada wibawa yang terpancar dari sorot matanya—seperti seseorang yang sudah melihat banyak hal dalam hidupnya.

Setelah beberapa saat menatap keenam mahasiswa itu, Pak Arman mengangguk pelan.

“Kalau begitu, daripada keliling cari tempat yang mungkin sudah tutup, kalian menginap saja di rumah saya. Rumah saya agak besar, masih ada kamar kosong,” katanya dengan suara serak namun tenang.

Lala menatap yang lain, lalu tersenyum sopan.

“Wah, terima kasih banyak, Pak. Kami jadi gak bingung mau istirahat di mana.”

Pak Arman hanya mengangguk.

“Ikuti saja saya, jangan berisik di jalan. Di sini kalau malam, suasananya agak… lain.”

Mereka saling berpandangan—antara heran dan penasaran—lalu mobil Nando pun di parkir di depan lorong kecil karena rumah Pak Arman memasuki lorong yang hanya bisa di lewati oleh sepeda saja.

“Silakan masuk,” ujar Pak Arman.

“Kalian boleh istirahat di ruang tamu dulu. Nanti istri saya siapkan air hangat buat minum.”

Begitu mereka duduk, suasana rumah itu terasa aneh. Hening. Hanya terdengar suara dinding kayu berderit pelan setiap kali angin berhembus.

Novi berbisik ke Lala,

“Aku merinding, deh. Kayak ada yang ngeliatin dari jendela tadi.”

Lala menegurnya pelan,

“Udah, jangan mulai aneh-aneh. Kita kan cuma numpang tidur.”

Tak lama, seorang wanita tua keluar dari dapur membawa teko teh panas.

“Ini silakan diminum dulu, anak-anak. Pasti capek di jalan kan,” katanya ramah.

“Terima kasih, Bu,” jawab Leo sopan.

Wanita tua itu tersenyum lembut, meletakkan teko dan beberapa cangkir di atas meja kayu yang sudah tampak kusam dimakan waktu. Uap teh menari pelan di udara, menyebarkan aroma daun teh yang bercampur dengan wangi kayu bakar.

Lala duduk rapi di kursi panjang, sementara Leo menatap sekeliling rumah tua itu — dinding papan, lampu minyak di sudut, dan sebuah foto keluarga tua yang tergantung.

Suasana tiba-tiba terasa sedikit sunyi. Angin malam masuk lewat celah jendela, membuat tirai bergoyang perlahan. Lala menggenggam cangkirnya, mencoba menghangatkan tangan.

“Kalau boleh tahu… tadi kalian bilang cuma numpang tidur?” tanya si wanita pelan, matanya menatap mereka berdua dengan sorot lembut namun sulit ditebak.

Citra memandang sekeliling ruang tamu yang hanya diterangi lampu minyak kecil di sudut ruangan. Bayangan api menari di dinding kayu, membuat suasana tampak temaram dan sedikit suram.

“Pak, di desa Mekar Sari ini belum ada listrik ya?” tanya Citra hati-hati, menatap pria paruh baya yang duduk melantai juga dengan sarung melilit di pinggang.

Pak Arman menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar berat seolah menahan sesuatu yang tidak ingin diungkit.

“Dulu pemerintah memang sudah berjanji akan ada pemasangan listrik,” katanya perlahan.

“Bahkan tiang-tiangnya sudah mulai dipasang di pinggir jalan utama.”

Citra mencondongkan tubuh, mendengarkan dengan saksama. Di luar, suara jangkrik terdengar bersahutan.

“Tapi mendadak…” lanjut Pak Arman dengan nada menurun, “…beberapa pekerja waktu itu hilang. Kami kira cuma tersesat di hutan, tapi tiga hari kemudian mereka ditemukan… sudah meninggal.”

Keenam mahasiswa terdiam. Api di lampu minyak bergetar kecil, menimbulkan bayangan wajah Pak Arman yang tampak lebih tua dari sebelumnya.

“Ditemukan di mana, Pak?” tanya Citra akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Pak Arman memejamkan mata sejenak.

“Di dekat Sungai Kuning, sekitar dua kilometer dari tempat ini. Anehnya, tubuh mereka nggak luka parah, tapi wajahnya…” ia berhenti sejenak, “…seperti ketakutan luar biasa.”

Udara tiba-tiba terasa dingin. Lala yang sejak tadi diam di sudut ruangan menatap Citra dengan wajah pucat.

“Setelah kejadian itu,” lanjut Pak Arman,

“proyek pemasangan listrik langsung dihentikan. Katanya, pemerintah mau selidiki dulu, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya. Jadi, ya… kami hidup pakai lampu minyak aja.”

Pak Arman tersenyum tipis, mencoba menutup pembicaraan yang mulai terasa berat. Ia menatap lampu minyak yang cahayanya bergoyang lembut, lalu berkata pelan,

“Sudah… ndak usah dipikirkan, Nak. Warga desa ini juga sudah terbiasa. Kami malah lebih nyaman hidup seperti ini, dengan penerangan seadanya.”

Citra mengangguk, meski rasa ingin tahunya belum benar-benar hilang.

“Tapi kalau malam-malam begini, nggak takut, Pak? Gelap banget soalnya.”

Pak Arman terkekeh kecil.

“Gelap itu bukan hal yang menakutkan, Nak. Yang menakutkan itu… kalau kita bisa lihat sesuatu di tengah gelap.”

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!