NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Pengganti / Bercocok tanam / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Dokter menarik napas pelan, lalu menatap Jovan dan Husna dengan wajah penuh empati.

“Pak Jovan, Bu Husna,” ucapnya hati-hati.

“Saya harus menjelaskan ini dengan jujur. Arkan mengalami Amnesia Dissociative Disorder. Ingatannya berhenti pada masa di mana ia masih mencintai Bu Husna. Jika kita terlalu memaksanya untuk mengingat masa kini tentang pernikahan, tentang kecelakaan, atau kenyataan yang menyakitkan itu bisa menimbulkan shock berat. Dalam kasus terburuk, dia bisa kehilangan kesadaran total bahkan, nyawanya.”

Husna menunduk, jemarinya saling menggenggam erat.

Sementara Jovan mengepalkan tangannya di atas paha, wajahnya menegang menahan emosi.

“Jadi, Dok…” suara Jovan terdengar berat, “…kami harus membiarkan dia terus hidup dalam kebohongan? Terus percaya kalau istriku masih miliknya?”

Dokter menatapnya dalam, mencoba menenangkan.

“Saya tidak menyebutnya kebohongan, Pak Jovan. Saya menyebutnya tahap pemulihan sementara. Arkan butuh waktu. Ketika kondisinya stabil, kita bisa bantu memulihkan ingatannya perlahan.”

Jovan menggeleng pelan, suaranya mulai bergetar. “Tidak, Dok… aku tidak mau istriku berpura-pura menjadi miliknya lagi. Aku tidak mau melihat Husna harus kembali menanggung masa lalu yang seharusnya sudah selesai.”

Husna menatap suaminya, air matanya mulai menetes. “Van…” panggilnya lirih, tapi Jovan tidak menatap balik. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan perih yang mulai menguasai dadanya.

Dokter mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lembut tapi tegas.

“Pak Jovan, saya paham apa yang Anda rasakan. Tapi jika Arkan dipaksa mengingat dalam keadaan otaknya belum siap, dampaknya bisa fatal. Dia bisa kehilangan seluruh memorinya—termasuk ingatan tentang siapa dirinya sendiri.”

Ruangan itu mendadak hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar pelan.

Jovan menunduk dalam, menggenggam tangan Husna kuat-kuat.

“Na, aku tidak mau kehilangan kamu, dan aku juga tidak mau kamu tersiksa karena masa lalu. Tapi aku juga tidak mau kehilangan siapa pun lagi karena kebodohan atau keegoisanku.”

Husna menatapnya, matanya sendu tapi hangat.

“Aku tahu, Van. Kita akan jalani ini bersama. Untuk sementara biarkan aku membantu Arkan pelan-pelan, tanpa menyakitinya.”

Jovan menghela napas panjang, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati.

“Baik, tapi aku akan tetap di sisimu, Na. Aku tidak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendirian.”

Dokter menatap keduanya dengan senyum tipis.

“Itu keputusan terbaik, Pak Jovan. Dengan dukungan Anda, saya yakin prosesnya bisa berjalan dengan lebih aman.”

Namun di dalam hati Jovan, satu kalimat terus bergema.

“Aku tidak mau istriku kembali menjadi milik orang lain, walau hanya dalam ingatan seseorang.”

Husna melangkah pelan memasuki ruang perawatan Arkan.

Suasana ruangan sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak tenang di sisi tempat tidur.

Arkan masih berbaring, wajahnya pucat, namun kali ini matanya terbuka menatap lembut ke arah pintu saat Husna masuk.

“Na…” panggil Arkan lirih, senyum tipis muncul di wajahnya yang lemah.

Husna mendekat perlahan dan duduk di kursi di samping tempat tidur.

“Ada apa, Arkan? Kamu belum boleh banyak bicara,” ujarnya lembut, mencoba menjaga jarak agar Arkan tidak terlalu emosional.

Arkan menggeleng pelan, senyum itu masih bertahan di bibirnya.

“Naiklah ke sini,.temani aku sebentar,” ucap Arkan pelan, nada suaranya seperti dulu, penuh kerinduan.

Husna menelan salivanya saat mendengar perkataan dari Arkan.

“T-tapi, Arkan, kamu masih harus istirahat. Aku di sini saja, ya,” jawabnya dengan suara lembut namun gugup.

Namun tangan Arkan tiba-tiba bergerak, menggenggam tangan Husna dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Husna, aku takut kamu pergi lagi. Aku cuma mau kamu di sini di sampingku,” bisik Arkan, matanya memohon.

Husna terpaku. Ada sesak yang muncul di dadanya, campuran antara iba dan kesedihan.

Ia tahu Arkan tidak sadar sepenuhnya, pikirannya masih terjebak di masa lalu masa di mana cinta mereka belum berakhir.

Perlahan, Husna mengangguk kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menjaga agar tidak menyentuh lukanya.

“Baik, aku di sini, tapi kamu harus istirahat, ya,” ujarnya dengan senyum yang dipaksakan.

Arkan menghela napas lega dan perlahan menutup mata.

Tapi sebelum benar-benar terlelap, ia sempat menarik Husna lebih dekat dan memeluknya lembut.

“Aku senang kamu kembali, Na…”

Tubuh Husna menegang seketika. Ia tak berani bergerak, hanya membiarkan Arkan terlelap dalam pelukannya — air matanya jatuh diam-diam, membasahi bahu gaun rumah sakit.

Dari balik kaca ruangan, Jovan berdiri mematung. Pandangannya tertuju pada pemandangan di dalam dimana Arkan yang memeluk Husna di satu ranjang, dengan ekspresi damai di wajahnya.

Sementara di wajah Jovan, tak ada damai.

Matanya memerah, rahangnya menegang.

Tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang bergemuruh di dada.

Ia tahu dokter sudah memperingatkan agar tidak membuat Arkan terkejut.

Tapi hatinya hancur melihat istrinya dalam pelukan pria lain, meski ia tahu semua itu bukan kesalahan Husna.

Jovan memalingkan wajah, menutup mata sejenak.

“Aku harus kuat demi Husna,” batinnya lirih.

Namun air matanya tak bisa dibendung lagi, jatuh pelan di ujung mata menandakan luka yang tak kasat mata, tapi nyata terasa di hati.

Pintu ruang perawatan terbuka perlahan.

Ceklek—

Jovan melangkah masuk dengan wajah tegang. Suaranya datar, namun matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang bergejolak di dalam dada.

Arkan yang sedang berbaring segera menoleh ke arah suara itu.

Ia tampak kebingungan, keningnya berkerut seolah berusaha mengenali sosok di hadapannya.

“Na,.siapa dia?” tanya Arkan pelan, pandangannya bergantian antara Jovan dan Husna.

Nada suaranya penuh kebingungan, namun juga sedikit curiga.

“Dia kelihatan marah, kamu kenal dia, Na?” lanjut Arkan dengan nada bingung.

Husna tersentak pelan. Ia sempat menunduk, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab.

Tangannya yang tadi masih di genggaman Arkan perlahan ditarik, lalu ia menatap Jovan dengan tatapan lembut.berusaha menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.

“Dia, temanku, Kan,” ucap Husna akhirnya, dengan suara lembut namun sedikit bergetar.

Jovan terdiam. Kata teman itu menusuk hatinya seperti sembilu.

Ia menatap Husna dengan rasa kecewa, ada sakit, tapi juga ada pengertian dalam matanya.

Ia tahu Husna hanya berusaha menenangkan Arkan yang belum pulih ingatannya.

“Oh… teman…” gumam Arkan, tersenyum samar, tampak lega.

“Terima kasih sudah datang, tapi aku ingin bicara berdua saja dengan Husna. Kamu tidak keberatan, kan?”

Jovan menarik napas panjang. Ia menunduk sebentar, menahan amarah dan rasa cemburu yang membara di dadanya.

“Baik. Aku tunggu di luar, Na.”

Begitu pintu tertutup, Husna menunduk, menatap tangannya sendiri yang gemetar.

Sementara di luar ruangan, Jovan berdiri bersandar pada dinding koridor, menatap ke lantai dengan pandangan kosong.

“Teman, ya. Jadi Aku teman sekarang,” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar,

tapi cukup untuk membuat air matanya jatuh lagi tanpa bisa ditahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!