Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wah, Cantik ya, Mas Calon Istrinya
Sudah terhitung tiga hari, Adisty bersantai di kamar apartemennya. Dia tidak diizinkan Sagara masuk kerja. Langkah awal menuju kemenangan, tak disangka setelah perjuangan panjang akhirnya bisa menjadi bagian penting dalam hidup pria itu.
Tidak sia-sia Adisty menyusun rencana selama ini. Dia bersenandung lirih, menari ringan ketika berjalan menuju dapur kering. Jemari lentiknya mengambil gelas yang digantung terbalik.
Dia menuang jus kemasan dari dalam lemari es, lantas menyambar apel. Bergerak lincah ke seberang ruangan seraya duduk nyaman di atas sofa.
Dering telepon terdengar, Adisty beranjak dengan santai masih sambil menari. Digigitnya apel dalam genggaman sembari meraih ponsel malas-malas, nama Tegar tertera.
“Hallo?” Senyum mengiringi sapaan, Adisty berjalan ke ruang tengah. Kemudian, duduk sambil melihat laptop. Layar menunjukkan gambar gaun beraneka model.
“Rencanamu berjalan lancar ya?”
“Tentu saja, aku jarang sekali gagal.” Adisty jumawa, jemari sibuk menggeser kursor. Binar mata memancarkan kekaguman. “Sagara akan menikahi aku, Garrr,” serunya girang.
Dari jauh, Tegar menarik napas berat. Seperti tidak ikhlas perempuan itu menikah dengan pria yang disuka. Mana mungkin tenang, jalan yang ditempuh Adisty salah. Terlebih lagi, diam-diam, dia menyimpan perasaan terhadap Adisty.
Tatapan Tegar menerawang ke langit-langit kamarnya, membiarkan suara Adisty mengalun di telinga. Ada getir yang mengendap di dada, bercampur amarah yang sulit dikekang. Sulit mengendalikan singa betina.
“Kamu yakin, Dis? Semua ini … apa yang telah kamu rencanakan tidak ada potensi kegagalan, yakin tidak berantakan dan meledak di wajahmu sendiri?” tanya Tegar, melalui telepon suaranya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang ingin pecah.
Adisty terkekeh pelan, melipat satu kakinya di atas sofa, menatap jendela apartemen yang memantulkan bayangan dirinya. “Kamu terlalu banyak khawatir, Gar. Lihatlah… tiga hari ini, Sagara tidak seperti biasa, dia sengaja menjauhi Lania demi aku. Dia butuh aku. Dia sudah mulai lupa sama istrinya.”
“Lupa… atau cuma merasa bersalah?” potong Tegar dingin.
Tubuh Adisty sedikit tersentak, senyumnya menipis. “Merasa bersalah itu jalan utama, Gar. Setelah itu, rasa butuh dan cinta akan mudah diraih. Aku tahu cara membuatnya terwujud.”
Di seberang jaringan selular, Tegar mengepalkan tangan. Dia mengenal Adisty terlalu baik—saat perempuan itu menginginkan sesuatu, tak ada yang bisa menghentikan. Akan tetapi, di lubuk hatinya, dia takut … berat melihat perempuan yang dicintai hancur oleh rencana yang diciptakan sendiri.
“Kalau semua ini gagal… kamu akan kehilangan segalanya, Dis,” ucap Tegar, mengingatkan—syarat akan peringatan.
Adisty menatap kosong ke arah ponsel, lalu tersenyum tipis. “Kalau gagal … aku bisa pastikan Lania yang akan kehilangan semuanya lebih dulu.”
Di ujung sana, Tegar hanya bisa diam, merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di suara Adisty—dingin, beracun—yang membuatnya sadar, permainan ini sudah melewati batas.
“Udah, ah, aku masih milih-milih gaun untuk resepsi, nih.” Adisty pandai mengalihkan topik pembicaraan.
“Mau aku bantu?”
“Boleh, datanglah ke apartemenku.”
Tegar menatap layar ponselnya beberapa detik setelah sambungan terputus, mempertimbangkan. Datang ke apartemen Adisty berarti masuk lagi ke lingkaran racun yang dia tahu seharusnya dihindari. Namun, rasa penasaran, cemas, dan diam-diam rindu, membuat kakinya bergerak sendiri menuju lemari.
Di apartemen, Adisty sudah membuka aplikasi berisi gaun-gaun mahal butik langganannya.
Ketika pintu diketuk, Adisty melangkah anggun membukanya. Senyum yang diberikan pada Tegar terlampau manis, tetapi matanya … ada kilat kemenangan untuk pria lain di sana.
“Kamu cepat juga,” ujarnya sambil menoleh ke dalam, memberi isyarat agar Tegar masuk.
Tegar masuk dengan langkah hati-hati, menatap sekeliling yang rapi nyaris sempurna—tidak ada tanda kekacauan, seolah-olah pemiliknya hidup tanpa beban.
“Jadi gimana? Sudah nemu yang kamu suka?” tanya Tegar, seraya duduk di sofa bekas Adisty. Dia menatap layar laptop yang menampilkan berbagai model gaun. “Apa gak lebih baik diantar sini aja, biar bisa lihat langsung.”
“Wah bener, ide bagus tuh. Tolong, dong, Gar, bantu hubungi pihak butik,” perintah Adisty, dia berjalan menuju kamar. “Aku mau pipis bentar.”
“Okay,” jawab Tegar, patuh—dia berdiri dan menghubungi nomor yang tertera pada layar. Mengatakan detail singkat gaun-gaun yang dibutuhkan.
Lima menit berlalu, Adisty tak kunjung keluar — timbul kepanikan di dalam diri Tegar. Dia pun mencari wanita itu, mengetuk pintu kamar mandi.
“Dis, kamu di dalam?”
“Iya, Gar. Perutku sakit.”
“Sakit?” seru Tegar tambah panik, “kenapa, boleh aku masuk?”
“Aku sedang mens—maksudku datang bulan. Boleh ambilkan pembalut di laci meja rias—stok di kamar mandi habis,” titah Adisty.
“Wait, aku cari dulu.” Tegar melangkah lebar menuju meja rias, membuka beberapa laci. “Nah, ini.”
Dia mengetuk pintu. “Ini kan?”
“Makasih.”
Cukup lama Adisty berkutat di dalam kamar mandi.
“Dis, lama sekali?” Telapak tangan bertumpu pada tembok, satu lagi berkacak pinggang, Tegar tak tenang.
Agaknya, Adisty enggan menjawab dan pintu pun terbuka, dahi wanita itu mengerut. “Masih sakit.”
“Mau periksa ke dokter?” Panik kian menggelayuti Tegar.
“Ha ha ha, gak perlu, biasa kompres pakai air hangat sakit berkurang.” Adisty berjalan pelan ke ruang tamu apartemen, tidur tengkurap dengan posisi kaki menggantung. Perutnya diganjal bantal, dia merasakan pijatan ringan di punggung.
Desah terdengar samar, Adisty menikmati sentuhan terlatih Tegar. Rasa sakit akibat datang bulan berangsur hilang.
“Gimana, masih sakit?” Tangan terlatih Tegar masih bergerak perlahan di punggung Adisty. “Lebih baik?”
“Yah, lumayan.” Adisty berbalik badan tanpa aba-aba, telapak tangan Tegar pun menyentuh perut.
Pintu apartemen ada yang mengetuk, Tegar lekas berdiri dan setengah berlari melihat tamu yang datang.
“Ya?”
“Kami dari Butik Shamoon,” ucap seorang wanita berpakaian blazer hitam kombinasi cokelat susu.
“Oh, silakan.”
Dua orang wanita dan dua pria masuk ke apartemen, mengulas senyum simpul kepada Adisty. Kemudian, membuka dua koper besar berukuran jumbo.
Berbagai gaun dikeluarkan, kain satin, sifon, dan brokat berwarna lembut terhampar di sofa dan sebagian digantung, seperti lautan warna yang berkilau. Aroma parfum mawar tipis menguar di udara, menyelimuti ruangan dengan suasana mewah sekaligus intim.
“Aku mau lihat kamu pakai salah satunya,” kata Tegar, menunjuk gaun berwarna merah marun di gantungan.
Adisty tersenyum miring. “Kamu ini, belum apa-apa sudah menyuruh.” Namun, dia tetap mengambil gaun itu dan melangkah ke balik sekat ruangan untuk berganti.
Saat menunggu, Tegar memperhatikan meja di sudut. Ada beberapa foto Sagara terselip di antara lipstik dan parfum, sebagian besar candid, bahkan ada yang terlihat diambil diam-diam. Dadanya mengeras—bukti obsesi itu nyata di depan matanya.
Tak lama, Adisty keluar mengenakan gaun merah itu. Potongan bahunya terbuka, membiarkan kulit pucatnya terpapar, dan kain itu mengikuti lekuk tubuh dengan sempurna.
“Bagaimana?” tanyanya sambil berputar perlahan.
Tegar menelan ludah, bukan hanya karena kecantikan Adisty, tetapi juga karena tatapan matanya yang penuh rencana. Tatapan seorang wanita yang tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkan, walau harus menginjak siapa pun.
“Wah, cantik ya, Mas calon istrinya.” goda salah seorang dari butik.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran