"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Hari di Antara Kita
Lantunan tembang jawa terdengar di pekarangan rumah luas pagi ini. Halaman yang sebelumnya hanya dihiasi dengan tumbuhan itu hari ini tampak lebih manis daripada biasanya.
Janur kuning melengkung menghiasi pagar rumah yang dibiarkan terbuka lebar.
Tubuhnya terbalut dengan kain jumputan berwarna hijau dan roncean melati. Rambutnya dibiarkan terurai lepas dengan bando yang juga terbuat dari melati. Tak lupa riasan yang membuatnya tampak semakin ayu.
Guyuran air dengan taburan kelopak bunga setaman, mengalir dari kepala Sewindu. Dingin mulai menyelimuti dari setiap tetes air yang mengenai tubuhnya.
Romo menjadi orang pertama yang melakukan siraman untuk Sewindu. Usapan tangan Romo terasa cukup lembut di permukaan kulitnya.
Gadis itu memejamkan matanya ketika Romo membubuhkan sebuah kecupan di dahinya bersama berbagai doa baik. Dia siap melepas anak perempuan satu-satunya ke tangan pria yang dia percaya.
Kini, giliran Ibu yang melakukan siraman pada anaknya. Alih-alih tersenyum, wanita itu malah menahan air matanya.
“Oalah, Nduk,” gumamnya saat mengambil gayung. “Romo-mu itu, gayung e malah dicemplungno!”
Ibu yang mengenakan kebaya hijau dan bebetan kain jarik itu kesusahan meraih gayung yang mengambang di dalam gentong. Belum lagi sanggul di kepalanya yang tentu berat.
Sewindu tersenyum mendengarnya. “Sewindu ambilkan,” katanya sambil meraih gayung dari dalam gentong yang terbuat dari tanah liat.
****
Suara kendi yang dipecahkan menguar ke seluruh penjuru. Halaman belakang villa yang ditata sedemikian rupa, kini menjadi tempat di mana siraman untuk Wisnu dilakukan.
Pria itu duduk di sana, tanpa kacamata. Tubuhnya sudah basah kuyup, begitu juga dengan jarik yang menutupi antara perut hingga kakinya. Beberapa kelopak bunga sisa prosesi siraman menempel di pangkuannya.
Wisnu menatap sekitarnya. Semuanya terasa seperti mimpi. Dia kembali ke kota ini untuk meminang seorang gadis yang tidak dia cintai.
Keluarga besar Wisnu, semuanya ikut ke Malang tanpa terkecuali. Bahkan Ratih yang baru melahirkan anak pertamanya seminggu yang lalu.
Semua mata tampak bahagia melihatnya. Seolah inilah yang mereka tunggu setelah sekian lama. Sementara dirinya duduk diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya di Jogja.
Sesendok nasi tumpeng disodorkan padanya. Membuat isi kepala Wisnu kembali sepenuhnya.
“Ayo, Le. Mangap,” kata Bunda menyuapkan sesendok tumpeng itu padanya.
Wisnu menurut, matanya kosong. Semua ini tentang apa yang ada di dalam hatinya.
“Mesem, Nu,” kata Ayah sambil menyuapi Wisnu. “Ayah tahu kamu gugup. Tapi, manten itu biasanya terlihat bahagia.”
****
Midodareni — malam terakhir bagi calon pengantin sebelum akhirnya melepas masa lajang mereka.
Malam itu, Sewindu tampak begitu cantik bagai bidadari. Dia membuka matanya di depan cermin. Melihat pantulan dirinya yang sangat berbeda dari biasanya.
Kebaya hijau muda dengan payet sederhana melekat manis di tubuhnya bersama kain jarik yang menjadi bawahannya. Sanggul sederhana juga menempel di kepalanya, untuk pertama kalinya rambutnya disasak seperti ini.
“Ayu tenan!” ucap sang perias yang baru menyelesaikan pekerjaannya.
“Tapi eman,” Wanita itu berdecak pelan, “Ayu-ayu ngene, nggak bisa dilihat sama manten lanang.”
Kini Sewindu tersenyum di depan cermin. “Saya sih nggak eman, Bu,” gumamnya yang hanya didengar dirinya sendiri.
Pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Ibu yang melongok di sana. Wanita itu masih memakai kebaya yang sama seperti tadi pagi. Dia tersenyum sambil berlari kecil.
“Mbak, aku mau pakai lipen-lipen kuwi,” katanya pada si perias.
Sewindu yang melihat itu, tertawa kecil. Dia beranjak dari tempat duduknya agar Ibu bisa duduk di sana.
Saat itu juga, barulah Ibu sadar betapa cantik anak gadisnya malam ini. “Loalah, iki anakku, Mbak?” ucapnya.
Si perias itu tertawa geli melihat reaksi Ibu. “Ojo nangis, Bu. Riasannya Ibu nggak waterproof,” katanya panik saat melihat mata Ibu berembun.
Ibu langsung meraih tisu dari atas meja rias, menghilangkan air mata di sudut matanya sebelum merusak polesan wajahnya. Dia tak mau melihat Sewindu untuk beberapa saat.
Kamar Sewindu kini tampak begitu meriah dan penuh. Berbagai macam bunga semerbak menghiasi beberapa sudut kamarnya. Kain-kain satin berwarna putih dan hijau muda diletakkan di setiap sisi ruangan.
“Kamu tahu toh, kalau Mas Wisnu sudah datang?” tanya Ibu sambil berlari kecil keluar dari kamar.
Sewindu melihat wajah Ibu lewat pantulan kaca. Dia menggeleng.
Suara orang-orang di rumah yang riuh tanpa reda sejak tadi pagi, membuat Sewindu tuli akan dunia luar. Dia hanya berbincang dengan sang perias sejak tadi.
Tak lama kemudian, Ibu kembali muncul di sana. Kali ini tak sendirian, Ibu datang bersama Bunda yang mengekor dan seorang gadis yang mungkin seusia dengan Wisnu.
“Cantik sekali, Bude,” ucap gadis itu ada Bunda.
Bunda tersenyum lembut. “Piye? Bude nggak salah pilih jodoh buat Wisnu toh?”
Gadis itu berlari ke arah Sewindu yang duduk di atas ranjang. “Sayang sekali, Mas Wisnu nggak bisa melihat kamu malam ini,” katanya.
“Aku Aurel, sepupunya Mas Wisnu,” katanya memperkenalkan diri.
Sewindu tersenyum lembut. “Sewindu.”
“Sudah tahu! Aku baca namamu di undangan,” kata Aurel masih dengan senyuman lebarnya.
Sewindu menoleh pada Bunda dan mencium tangannya. Sama seperti Aurel tadi, wanita itu menyayangkan Sewindu yang tidak bisa dilihat oleh anaknya malam ini.
“Ayu tenan anakmu, Wid.”
Seketika, kamar Sewindu penuh dengan berbagai pujian seiring dengan kerabat perempuan dari Wisnu yang berdatangan. Sementara Sewindu hanya bisa tersenyum.
Karena biasanya, pengantin akan selalu tersenyum. Dan, dia akan melakukannya sampai esok hari.
...****************...
Daffa berdiri di sana, di depan pagar dengan janur kuning melengkung. Dia sudah terlambat. Salahnya sendiri terlalu lama memendam perasaannya pada Sewindu.
Tangannya menggenggam paper bag berisi boneka itu erat-erat. Jejak kukunya membekas di telapak tangan. Dia masih tak berani melangkah masuk.
“Saya lihat, dari tadi kamu berdiri di sini.”
Daffa membalikkan tubuhnya dan mendapati seorang wanita di sana — Laras. “Maaf kalau mengganggu,” timpalnya.
“Kamu temannya Sewindu kan?” tanya Laras memastikan. “Ayo masuk! Sewindu ada di dalam.”
Daffa kembali melirik pada halaman rumah yang meriah itu. “Saya titip saja, boleh?”
Laras menggeleng. Dia mempersilakan Daffa untuk masuk terlebih dahulu.
Begitu menginjakkan kaki lebih dalam, aroma khas manten menguar di indera penciumannya. Sangat terlihat jelas, hanya orang-orang terdekat yang datang sebagai tamu undangan — termasuk dirinya.
Sewindu berdiri di depan sana. Tubuhnya dibalut dengan baju pengantin perpaduan warna putih dan hijau. Rambutnya ditata begitu cantik, wajah manisnya dipoles dengan riasan yang semakin memancarkan kecantikannya.
Mata mereka bertemu, Sewindu menyunggingkan senyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Sementara dia masih mematung di tempatnya.
“Siapa?” tanya Wisnu berbisik di telinga Sewindu.
Gadis itu menoleh sejenak. “Temanku.”
Dia tersenyum pada Daffa yang mulai mendekat. Pemuda itu bersalaman pada Wisnu sebelum akhirnya sampai di hadapannya.
Dengan senyuman yang sangat tampak sekali dipaksakan, Daffa mengulurkan paper bag di tangannya pada Sewindu.
“Selamat, ya,” Daffa terdiam sebentar. “Selamat atas semuanya.”
Awalnya, Daffa ingin mengatakan banyak hal, namun ternyata dia tak sekuat itu. Alhasil, kalimat yang keluar dari bibirnya hanya, “Boleh aku peluk kamu, Ndu?”
Sewindu tampak terkejut mendengarnya, begitu pula Wisnu yang berdiri di sebelahnya. Keduanya menatap lama pada Daffa yang menunduk.
“Boleh. Tapi jangan lama-lama.”
Bukan Sewindu yang mengatakannya, tapi Wisnu. Pria itu bahkan menggeser sedikit tubuhnya untuk memberi ruang antara Sewindu dan Daffa. Membiarkan pemuda lain memeluk istrinya dengan erat.
Sementara itu, Romo yang melihat anaknya dipeluk seperti itu hampir naik pitam. Beruntung ada Ibu yang menahannya.
“Biarkan, Mas. Nanti kamu yang malu kalau marah-marah di sini."
Ibu mencekal tangan Romo. "Lagi pula, Wisnu mengijinkan dan Sewindu tidak membalasnya kan?"
Romo menarik baju beskap yang membalut tubuhnya dengan sedikit keras. “Isin-isini!” gumamnya sambil menatap tajam pada Sewindu yang mematung.