NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERPULANGAN MA'HAD PERTAMA

Mendengar perkataan Zahrana, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh putri sulungku tersebut. Tapi aku tidak mau bertanya lebih dalam lagi sebelum ia sendiri yang mengatakan hal tersebut padaku. 

Sesampainya di ma'had, Zahrana segera turun dari motor dan menurunkan tas bekas kenduri dari tahlilan yang kudapat semalam dari tetangga yang telah kuisi makanan ringan. Makanan ringan yang kubeli dengan kiloan dan telah kubungkusi kecil-kecil dengan plastik klip sebagai jatah jajan harian untuk Zahrana agar mudah dibawa ke sekolah sebagai bekal dan agar tidak mudah mlempem. 

Sebelum Zahrana berjalan ke arah gerbang pintu ma'had, aku melihat jam digital di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul dua kurang lima belas menit. Ini berarti belum terlambat untuk masuk ke ma'had kembali. 

"Apa ada Mbak? Apa aku perlu menyowankan kamu ke pengurus ma'had Nduk?" tanyaku kepada Zahrana. 

Putri sulungku menggeleng pelan.

"Tidak perlu bu. Aku bisa mengatakan itu sendiri pada miss Lili," ujar Zahrana padaku.

Zahrana kemudian berpamitan padaku dengan menyalami tanganku sebelah kanan. Tak lupa aku mencium kepalanya seperti biasa. Entah mengapa rambut Zahrana terasa sedikit bau. Suatu keanehan sekali karena Zahrana tak pernah membiarkan rambut hitamnya berbau seperti ini. Biasanya ia sangat rajin keramas. 

Aku melihat Zahrana berjalan ke arah pintu gerbang dengan langkah gontai seperti terlihat merasa enggan dan kurang bersemangat untuk balik ke ma'had tersebut.

Melihat hal itu, aku merasa berat untuk meninggalkan ma'had karena kondisi Zahrana yang seperti ini. Aku berusaha meredam gejolak dalam hati. Kutanamkan dalam hati agar aku mendidik Zahrana untuk bisa mandiri demi masa depan yang baik. Aku juga harus memiliki rasa tega agar cita-citanya sebagai seorang animator tercapai. Aku juga berusaha menaruh rasa kepercayaan pada putri sulungku tersebut bahwa selama Zahrana belum berkenan mengatakan hal yang tengah menimpanya, berarti ia masih mampu untuk mengatasi semua permasalahan tersebut. 

Aku kembali menyelah dan melajukan motor menyusuri area persawahan menuju ke arah jalan pulang. Aku menunggu waktu selanjutnya untuk bertemu Zahrana kembali yaitu pada waktu perpulangan pertama pada minggu depan. 

Saat malam hari, pikiranku menyalang kemana-mana karena sebelum tidur aku menyekrol sosial media. Ada berita tentang kematian seorang siswa madrasah di kota Blitar karena dikeroyok temannya. Mataku terasa sulit untuk terpejam karena teringat akan wajah Zahrana yang begitu enggan saat kembali ke ma'had saat itu. Pikiranku seakan berputar kemana-mana karena dugaan bullying pada Zahrana yang begitu saja terlintas. Praktis saja, selama seminggu, pikiranku terasa penat karena memikirkan itu semua.

Tak terasa seminggu telah berlalu dengan begitu lama. Hatiku merasa lega karena jadwal perpulangan telah dibagikan di grup WA ma'had sekolah X. Tak terasa Zahrana telah melalui waktu dua minggu di sana. 

Apakah Zahrana mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya? Apakah ia mampu beradaptasi dengan para temannya? Entahlah bagaimana caraku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tersebut. Mungkin aku akan menanyai Zahrana, tapi tidak secara langsung. 

Aku segera pergi ke sekolah X pada waktu perpulangan yang telah ditentukan yaitu pada hari Minggu pukul delapan pagi. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh, aku mulai berangkat dari rumah.

Sesampainya di depan pintu asrama, aku segera mengenali Zahrana dari gamis yang ia kenakan yaitu gamis berwarna cream bermotif bunga, pemberian temanku yang telah kupermak sedemikian rupa agar bisa pas di badan Zahrana.

Setelah menata barang bawaan Zahrana, kami menaiki motor kembali untuk melakukan perjalanan pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku senang sekali karena bisa bercengkrama dengan Zahrana dan kedua Putraku yang lain, Mumtaz dan arsenio. Aku mencoba mengambil foto Zahrana pada perpulangan pertama kali ini. 

"Jangan foto aku Bu. Aku malu," ucap Zahrana sambil menutup wajahnya. 

Aku diam-diam tetap mengambil gambar putri sulungku tersebut. Aku melihat ada gurat kerisauan pada wajahnya. 

"Bagaimana aktivitasmu di asrama?" tanyaku pada Zahrana untuk menghilangkan perasaan risaunya. 

"Aku bangun pada pukul setengah empat pagi. Kemudian salat malam. Setelah salat Subuh, ada ada kegiatan BTQ ( Baca Tulis Al Qur'an) kemudian persiapan untuk berangkat sekolah. Aku jarang mandi Bu, karena tak kebagian antrian kamar mandi. Biasanya yang mandi di awal adalah Tania. Tapi saat aku mau masuk kamar mandi, katanya Ghania telah antri. Ghania keluar, kemudian aku mengira kamar mandi itu kosong. Ternyata ada Safira yang antri. Setelah Safira, aku mengira kosong. Ternyata ada Arifah yang mengantri. Seperti itu terus hingga semua anggota kamar mandi, sementara hanya aku yang belum mandi. Padahal aku melihat mereka diam saja lho bu, tak mengucapkan kata antri sama sekali. Saat mau mandi, aku melihat jam ternyata sudah jam setengah tujuh lebih. Aku tak mungkin untuk mandi karena bisa saja terlambat ke berangkat sekolah," jelas Zahrana panjang sekali. 

Deg

Ini adalah jawaban dari pertanyaanku tempo hari, saat aku mengantarkan Zahrana pada sambangan pertama. Kala itu, aku hanya membatin dalam hati. Mengapa rambut Zahrana sangat bau sekali? Ternyata ... Zahrana tidak bisa mandi karena tidak mendapat antrian. 

"Allah ya Karim Kasihan sekali kamu Nduk," ucapku dalam hati. 

"Ya kalau tidak mandi, jangan lupa pakai parfum yang banyak. Biar harum. Biar temennya tidak tahu kalau kamu tidak mandi," kelakarku pada Zahrana, padahal batinku sangat menangis mendengar ceritanya tersebut. 

"Setelah itu, kegiatannya apa saja?" tanyaku pada Zahrana lagi. 

"Kegiatan baru dimulai setelah pulang sekolah yaitu pukul setengah empat sore. Biasanya aku akan mandi dulu sambil mencuci baju. Kemudian melakukan BTQ. Selesai BTQ, baru bisa makan sore. Setelah salat magrib, kita semua mengaji kitab kuning hingga salat Isya. setelah salat Isya, kita akan melakukan bimbel hingga pukul sembilan malam atau setengah sepuluh malam bila terlalu banyak PR. Disana sudah ada pembimbing dalam belajar yang juga gurudi sekolah X bu," jelas Zahrana.

"Terus tidurnya jam berapa?"

"Kami tidur pada pukul sepuluh malam. Bila tidak segera tidur, nanti miss Lili akan datang ke kamar kami," jelas Zahrana. 

Zahrana terdiam sesaat sebelum melanjutkan ceritanya. 

"Bu, semua teman-temanku ternyata anak orang kaya. Jajannya tak ada yang sepertiku. Semua membawa snack dengan harga yang mahal. Make up mereka juga keluaran dari branded ternama. Baju mereka pun sama. Tak ada yang sederhana sepertiku," ucap Zahrana memulai percakapannya. 

"Terus?" Tanyaku semakin penasaran dengan penuturan Zahrana.

"Uang saku mereka sehari juga bukan lima ribu rupiah sepertiku. Uang saku mereka per hari adalah dua puluh ribu rupiah."

Aku menatap Zahrana dengan lekat. 

"Apa Zahrana keberatan dengan uang saku lima ribu rupiah? "

Zahrana perlahan mengangguk pelan. 

"Apa alasannya? "

"Bu, jatah makan dari asrama hanya dua kali saja per hari. Setiap pagi dan sore hari. Saat siang hari, saat aku sangat lapar di sekolah, aku akan memilih makanan yang mengenyangkan di kantin. Ada bakso, mie ayam, nasi beraneka lauk dengan harga per porsi lima ribu rupiah. Kadang ada yang per porsi seharga sepuluh ribu rupiah. Aku kadang hanya bisa membeli makanan ringan saja di sana. Padahal itu tak mengenyangkan perut sama sekali. Aku sesekali ingin membeli makanan yang mengenyangkan di sana bu."

Aku tersenyum menanggapi perkataan Zahrana.

Aku tersenyum melihat Zahrana.

"Mbak berdo'a sama Allah, semoga Allah memberi rezeki lebih untuk ibu. Mbak, nggak suka sama jajan yang Ibu bungkusin di plastik klip itu? Biasanya mbak suka dengan makanan ringan itu saat di rumah?" tanyaku padanya. 

Zahrana terdiam sesaat.

"Aamiin. Aku selalu berdo'a untuk ibu. Aku suka jajannya bu. Jajannya aku malan saat aku sendirian saja karena aku takut. Bu, aku nggak dibolo (diajak berteman) sama teman-teman sekamar karena aku miskin. Kata Ghania, kemiskinan itu bisa menular. Makanya tidak ada yang mau berteman denganku karena mereka takut dengan bila ketularan kemiskinanku," jelas Zahrana. 

Aku terbelalak kaget. 

"Masih tingkat SMP sudah seperti ya Allah? Aku harus bagaimana?" batinku. 

"Ghania, perempuan yang menjadi temanmu saat masa pengenalan lingkungan sekolah bukan? Mengapa ia berubah menjadi seperti itu?" selidikku. 

Zahrana terdiam sesaat 

"Awalnya Ghania menemaniku. Tapi lama-kelamaan ia menjadi ikutan seperti teman yang lain," ujar Zahrana. 

"Di kamarmu, ada berapa anak?"

"Sekamar ada delapan orang anak.  Di kamarku ada Ghania, Tania, Safira, Arifah, Marina, Cindy, Amalia serta aku, " jelas Zahrana. 

"Tak ada teman yang dekat denganmu di kamar itu?"

Zahrana menggelengkan kepala. 

"Ada yang dekat denganmu di ma'had? Di kamar lain misalnya? "

"Ada, tapi kakak kelas. Namanya Mbak Nabila. Dia baik sekali dan suka menggambar sepertiku. Kami sering menggambar bersama di Gazebo. "

"Apa kamu ingin pindah kamar bersama Nabila? Saat balik nanti, biar ibu yang mengatakan hal itu pada Miss Lily?" tanyaku menyelidik.

Mata Zahrana berbinar sekali. 

"Boleh Bu. Aku ingin sekamar dengan kakak kelas saja. "

Tak terasa Kami mengobrol hingga larut malam. 

"Mbak tidur dulu ya. Sudah malam. Besok kita lanjut lagi ceritanya," ucapku pada Zahrana.

Aku segera menyuruh Zahrana dan kedua balitaku, Mumtaz dan Arsenio untuk segera kamar mandi untuk mengosok gigi, buang air kecil dan tak lupa membasuh kaki sebelum tidur. 

"Ayo Adik Mas. Sikatan, pipis, raup (sikat gigi, BAK, dan membasuh muka )," ucapku pada Mumtaz dan Arsenio.

"Iya bu," sahut mereka bersamaan.

Mereka berlarian ke kamar.

"Aku disik lho mas," ucap si kecil Arsenio.

"Aku sing disik," balas kakaknya, Mumtaz.

Mereka saling berebut dan menimbulkan keributan. Aku tersenyum kecil melihatnya.

"Wis, ojo rame ae. Wis bengi. Ayo gek endang nyang jeding," ucapku sambil melerai mereka.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!