Milana, si gadis berparas cantik dengan bibir plum itu mampu membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat masa kuliah. Namun, tak cukup berani menyatakan perasaannya karena sebuah alasan. Hanya diam-diam perhatian dan peduli. Hingga suatu hari tersebar kabar bahwa Milana resmi menjadi kekasih dari teman dekat Rayn. Erik.
Setelah hampir dua tahun Rayn tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar Milana, tiba-tiba gadis itu muncul. Melamar pekerjaan di restoran miliknya.
Masa lalu yang datang mengetuk kembali, membuat Rayn yang selama ini yakin sudah melupakan sang gadis, kini mulai bimbang. Sisi egois dalam dirinya muncul. Ia masih peduli. Namun, situasi menjadi rumit saat Erik mencoba meraih hati Milana lagi.
Di antara rasa lama yang kembali tumbuh dan pertemanan yang mulai diuji. Bagaimana Rayn akan bersikap? Apakah ia akan mengikuti sisi dirinya yang egois? Atau harus kembali menyerah seperti dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meridian Barat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7 (Tes Masak? (2) )
Rayn kembali ke dapur setelah beberapa menit.
"Bagaiman– Astaga! Milan!" pekiknya saat melihat gadis itu mengaduk sesuatu yang tampak penuh di mangkuk berukuran agak besar.
Rayn melangkah lebar menghampiri Milana. "Ini apa?!" tanya Rayn seraya berseru menunjuk mangkuk berisi cairan putih agak kekuningan itu.
"Campuran susu cair dan telur, lah," jawab Milana dengan nada santai. Khas gadis itu.
Mata Rayn melebar. "Berapa banyak susu dan telur yang kamu campurkan!"
Milana mengangkat kotak bekas susu cair. Membaca netto yang tertulis di sana seraya berujar, "Satu liter susu cair dan ...," Milana melihat ke arah kotak mika bekas tempat telur. "Satu, dua ... dua belas butir telur," katanya dengan santai.
Rayn mendelik kesal. "Milan ...," geramnya tertahan. "Kenapa sebanyak itu yang dicampurkan!"
"Mas 'kan tidak bilang, berapa banyak yang harus saya campur," kata Milana dengan polosnya. Seolah tidak melakukan kesalahan.
Rayn kehabisan kata-kata untuk gadis di depannya itu. "Kamu pasti benar-benar gak baca resep yang saya kasih, 'kan!"
"Baca! Iih, Mas ngeyel deh! Saya baca, Mas!" protes Milana.
"Kalau baca kamu pasti tau berapa banyak susu dan telur yang dibutuhkan!" Rayn mendengkus sebal. "Astaga. Kamu itu cewek. Masa iya, begini saja tidak tau!" kesalnya.
Rayn membagi campuran susu dan telur itu menjadi dua bagian, lalu mengambil teflon bersih dan meletakkan di atas kompor. Menyendok butter dan memanaskannya.
"Perhatikan! Sekarang kita mulai buat white sauce-nya. Setelah butter di teflon ini panas, tuang terigu," ujarnya seraya menuangkan semangkuk kecil terigu dan mengaduknya cepat menggunakan spatula kayu. "Terus diaduk cepat, biar tidak gumpal."
Dari tempatnya, Milana mengamati sambil mengangguk-angguk.
"Lalu tambahkan susu cair dan keju parut." Rayn menuang kedua bahan itu dan mengambil wisk. "Aduk-aduk cepat sampai mengental dan kejunya larut." Dia mengaduk dengan sangat cepat menggunakan wisk kecil dan setelah dirasa cukup kental, Rayn mematikan api.
"Sekarang kita buat isian," katanya sembari mengambil teflon bersih lain dan meletakkan di atas kompor. "Mana bawang bombay, wortel dan bahan lain yang sudah saya suruh potong-potong tadi? Kita akan menumisnya." Rayn menatap Milana dengan tatapan bertanya. "Jangan bilang kalau kamu belum memotongnya?"
Milana tersenyum. "Tenang," katanya seraya mengambil piring di meja pantry yang ada di belakangnya. Menyerahkan itu pada Rayn, lalu meraih botol minyak dan membuka tutupnya.
Rayn tersenyum meraih piring itu. "Bagus," katanya. "Tuang minyak ke teflon. Jang ... Hei! Itu terlalu banyak, Milan!" Rayn reflek berseru saat Milana dengan santainya menuang minyak lumayan banyak ke atas teflon.
Rayn mengambil alih botol minyak dari tangan Milana. "Memangnya kau mau menggoreng pisang, hah? Menuang minyak sebanyak ini." Rayn berdecak. Mengangkat teflon dari atas kompor yang belum dinyalakan dan menuangkan minyak dari sana ke sebuah baskom. Hingga hanya tersisa sedikit sekali di teflon.
"Kalau mau menumis bumbu, segini saja sudah cukup. Ingat!" kata Rayn, lalu menghidupkan kompor. "Tuang bahan yang sudah kamu potong," katanya lagi.
Milana menuangkan bahan-bahan di piring. Rayn memberikan spatula kayu padanya. "Aduk pakai ini, sesekali saja."
Milana mengaduk pelan sesekali menggunakan spatula kayu sampai tumisan itu hampir matang. Rayn menambahkan sosis dan daging giling ke sana, lalu mengambil alih spatula kayu yang dipegang Milana. "Mana makaroni rebusnya?"
Milana menyodorkan piring berisi macaroni. Rayn segera menuangkannya ke dalam sana beserta keju parut. "Nah, sekarang kita tuang campuran susu dan telur tadi." Rayn menuang salah satu mangkok berisi susu dan telur yang sudah ia bagi dua tadi. "Tambahkan merica bubuk, pala, garam, dan gula. Tunggu lima menit, baru kita angkat," katanya lagi, lalu berjalan ke arah lemari kayu kecil di sudut dapur dan mengambil cup alumunium foil berukuran besar.
Rayn kembali ke arah kompor. Mematikan api setelah lima menit. "Letakkan itu ke dalam sini," ujarnya seraya meletakkan cup alumunium foil ke depan Milana.
Milana mengangkat teflon berisi tumisan dan menuangkannya.
"Tuang white sauce-nya tadi." Rayn menyerahkan teflon berisi white sauce. Milana menuangkan saus itu dengan hati-hati ke atas tumisan yang sudah tertata di dalam cup alumunium foil.
Rayn menaburkan oregano dan keju parut ke atasnya. "Siap panggang," katanya, lalu membawa ke arah oven listrik di sudut meja pantry. Meletakkannya di dalam sana dan mengatur suhu.
"Kau paham?" tanyanya pada Milana.
Milana mengangguk. "Paham," katanya dengan sangat yakin.
'Padahal, sungguh aku tidak paham sama sekali,' katanya dalam hati.
"Bagus," kata Rayn. Kemudian pemuda itu tampak berpikir. "Kenapa jadi saya yang menyelesaikan?"
Milana mengangkat bahu santai. "Mas, sendiri yang melakukan. Saya tidak memintanya."
Rayn mendengkus. "Sekarang rapihkan dan bersihkan bekasnya. Saya tunggu di luar." Rayn melenggang pergi.
Milana menatap malas pada meja pantry yang agak berantakan itu. Dengan gerakan malas dia mulai membersihkan dapur.
"Kau bisa pulang dan bawa saja schotel yang kita masak," kata Rayn sembari menyerahkan bungkusan berisi schotel.
Mereka sedang berada di kursi panjang yang terdapat di teras restoran.
Milana tidak segera menerima bungkusan itu. Dia menatapnya beberapa saat. "Lalu, apa saya diterima?" tanya Milana.
Rayn menatap Milana. Dia sangat ingin menerima gadis yang duduk di sampingnya itu bekerja di sini supaya bisa sering bertemu gadis itu. Namun, dia juga harus profesional.
"Kamu ditolak," kata Rayn dengan datar.
Milana menatap Rayn. Lama. Tanpa berkata apapun.
Membuat Rayn canggung. Dia berdehem kecil. "Kau boleh pulang, sekarang." Rayn berdiri, hendak meninggalkan Milana. Namun, urung saat tangan hangat Milana mencekal pergelangan tangannya. Rayn menatap tangan itu, lalu menoleh pada sang pemilik.
Milana mendongak, menatap tepat pada manik mata Rayn. "Tolong terima ya, Mas. Saya mohon," katanya dengan raut wajah penuh harap.
Rayn mengernyit. 'Sejak kapan gadis ini jadi suka memohon dan memelas begini?' Seingatnya, Milana yang ia tahu, adalah gadis yang tidak suka ambil pusing tentang apapun. Apalagi memohon sesuatu pada seseorang.
Milana melepas genggamannya pada pergelangan tangan Rayn dan berdiri. Menangkupkan kedua tangan itu ke depan dada. "Saya mohon, Mas."
"Kau tidak bisa menempati posisi asisten koki, Milan. Kau hanya akan membuatku rugi membayar pekerja yang tidak bisa berkerja. Koki juga akan protes pada saya karena memberikan asisten koki yang tidak bisa apa-apa." Rayn menghela napas.
"Mas bisa menyuruh saya mengerjakan apa pun. Cuci piring, bersih-bersih atau apalah yang penting saya diterima, Mas." Milana masih pada posisi semula. Masih dengan raut wajah penuh harapnya.
Rayn bingung sekarang. Tidak mengerti kenapa Milana bersikeras agar diterima bekerja.
Sekali lagi, Rayn menatap lekat wajah itu. Teringat perkataan Firsha yang mengatakan bahwa Milana selalu berakhir dipecat di pekerjaan sebelum-sebelumnya.
"Kenapa kau begini?" gumam Rayn pelan, tetapi masih bisa didengar Milana.
"Karena saya memang butuh pekerjaan ini, Mas. Saya tidak mau bergantung pada orang lain terus." Milana memohon. "Saya mohon, Mas. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Saya janji!" katanya dengan penuh keyakinan. Tidak lupa wajah memelas yang ia tunjukkan.
Rayn iba sekarang. Salahkan hatinya yang terlalu memuja gadis itu. "Baiklah ...."
"Makasih, Mas!" seru Milana sambil bertepuk tangan heboh. Bahkan Rayn belum menyelesaikan bicaranya. Wajah penuh harapnya berubah sumringah sekarang.
Rayn menjatuhkan rahangnya. Heran. 'Kemana perginya wajah memelas penuh harap tadi?'
"Jangan senang dulu! Kamu di-training selama dua minggu. Kalau dalam waktu dua minggu itu kamu membuat masalah, kamu akan dipecat!"
"Deal!" kata Milana dengan semangat. Bahkan ia menyalami Rayn. "Makasih ya, Mas, saya permisi kalau begitu." Milana berlari kecil menuju pintu keluar.
Rayn hanya menatap heran. Belum hilang rasa herannya, Milana kembali menghampiri.
"Kenapa balik lagi?" tanya Rayn.
Milana menyengir. "Ini, lupa tidak dibawa," ujarnya seraya meraih bungkusan berisi schotel. "Tadi 'kan katanya buat saya. Makasih ya, Mas." Lalu Milana berlari. Kali ini gadis itu benar-benar pergi dari sana.
Rayn hanya geleng-geleng. "Untung sayang, eh," ujarnya sambil tertawa kecil.
.
.
.
.
Bersambung....
Milana. ,gadis SPG seperti diriku/Hey/