Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Lorong Rahasia
...****************...
Di malam yang gelap, Jonathan berjalan melewati lorong gelap di belakang istana Sandyakala. Langkahnya tenang, jubah hitam membungkus tubuhnya, dan topeng perak menutupi wajahnya. Mata tajam Jonathan menyorot gelapnya lorong yang hanya diterangi cahaya rembulan.
Ia berhenti di sebuah dinding batu tua, tangannya meraba ukiran kuno di batu itu. Dengan sentuhan tertentu, sebuah cahaya samar muncul. Dinding itu bergeser perlahan, membentuk celah pintu rahasia. Jonathan melangkah masuk, lorong gelap menyambutnya.
Di dalam lorong itu, Jonathan menuruni tangga batu yang panjang, menuju ruang bawah tanah tersembunyi yang tak pernah diketahui oleh siapa pun, bahkan oleh Raja Sakha.
Di ujung lorong, Jonathan membuka jubahnya, kemudian melambaikan tangannya, menciptakan lingkaran sihir bercahaya biru keperakan di udara. Portal itu terbuka, memperlihatkan ruangan besar yang tenang dan hangat.
Di dalam ruangan itu, Arunika sedang mengajari anak-anaknya sihir, sementara wanita penyihir muda yang setia itu berdiri di dekat mereka. Lima pangeran kecil, Luciano, Elianos, Reonans, Lucius, dan Marcus, bermain dan belajar dengan riang.
Jonathan berdiri sejenak, memandang mereka semua dengan perasaan yang rumit—antara kasih sayang dan rasa tanggung jawab yang berat.
"Mereka adalah harapan terakhir kerajaan ini," bisik Jonathan dalam hati. "Mereka harus bertahan meski semua kerajaan ini hancur sekalipun."
Arunika menoleh, wajahnya memucat.
"Kau datang lagi?" tanyanya dengan penuh curiga.
Jonathan hanya menatapnya dalam diam. "Arunika... aku tidak punya pilihan lain. Kau harus tetap di sini, untuk kebaikan semua orang. Percayalah padaku."
Arunika mengepalkan tangannya, hatinya penuh keraguan. Jonathan tahu, lambat laun, Arunika harus tahu siapa dia sebenarnya... dan mengapa dia melakukan semua ini demi mereka.
...****************...
Di balik bayangan gelap di lorong sempit itu, di sudut tempat yang tak terjangkau cahaya lilin, ada sepasang mata mengintai langkah Jonathan. Saat portal biru yang dibuat Jonathan tertutup rapat, sosok bayangan itu menyeringai, menunjukkan senyum licik yang penuh rencana jahat.
"Hahaha... Kau kira hanya kau yang tahu rahasia ini, Jonathan? Semua hanya permainan waktu."
Sosok itu, dengan mantel gelapnya, bergerak perlahan mundur, menyatu dalam gelap lorong, lalu menghilang dalam kegelapan malam.
Jonathan mendekati Arunika yang sedang duduk di dalam ruangan rahasia yang tersembunyi jauh di bawah istana. Dengan wajah penuh penyesalan, ia berlutut di hadapan Arunika, menundukkan kepala.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Arunika dengan suara gemetar, matanya membelalak, masih sulit mempercayai pemandangan di depannya.
Pria bertopeng itu membuka topengnya perlahan, dan di baliknya, tampak wajah Jonathan pangeran bungsu yang dikenal lembut dan penuh kasih sayang.
Arunika mundur setengah langkah, hatinya berdegup kencang. "Pangeran Jonathan... Kau... semua ini... Kau yang melakukannya?"
Wanita muda penyihir itu, Jinny, dengan cepat mendekat dan berbisik cemas, "Apa yang kau lakukan, Pangeran bungsu? Seharusnya kau tidak melakukan ini!"
"Aku harus melakukannya, Jinny." jawab Jonathan dengan suara datar, menatap Arunika dalam-dalam, matanya menyimpan beban berat yang tak diungkapkannya.
"Aku hanya ingin melindungi mereka... Arunika dan anak-anaknya. Karena mereka adalah harapan terakhir bagi Sandyakala."
Arunika masih terdiam, hatinya bergolak antara rasa syok, sedih, dan bingung. Air matanya mulai mengalir, menyadari bahwa selama ini, Jonathan-lah yang menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya, meskipun semua ini adalah permainan berbahaya di balik layar yang belum ia pahami sepenuhnya.
...****************...
Di atap salah satu bangunan kota Sandyakala, Pangeran Mark berdiri diam. Jubah hitamnya berayun tertiup angin malam. Matanya menyipit menatap langit yang penuh aura sihir. Dari kejauhan, percikan cahaya hitam-biru menyala seperti kilat yang tak bersuara pertanda sihir vampire sedang digunakan.
Aura di udara terasa tebal dan menusuk.
Mark mengepalkan tangannya, mata ungunya bersinar samar.
"Kekuatan ini... milik para vampire?" gumamnya lirih.
Angin malam membawa dengungan sihir yang tidak asing bagi Mark. Sebagai keturunan Dewa Langit Malam, tubuhnya seolah secara alami menyerap dan membaca fluktuasi energi yang terjadi.
"Jessen, Joshua... dan lainnya..." Mark menutup mata sejenak, merasakan denyutan sihir yang menyebar dari arena.
Tubuhnya tiba-tiba memanas—bukan karena amarah, tapi karena resonansi kekuatan. Darahnya mendidih, kekuatannya meningkat. Kecepatan, emosi, dan nalurinya menjadi lebih tajam di malam hari.
"Mereka sedang bertarung... Tapi untuk apa?" gumamnya dengan napas berat.
Ia melompat dari atap, mendarat dengan ringan dan cepat, lalu menyusuri gang-gang sempit dengan langkah bayangan.
Setiap langkahnya semakin cepat, tubuhnya seolah berbaur dengan malam.
"Ini bukan sekadar pertandingan biasa. Ada yang berubah... mereka semua terdorong oleh sesuatu..."
Dan itu membuat Mark semakin yakin ada yang mengatur semuanya dari balik layar.
Di balik pancaran sihir malam, dan suara siulan angin gelap, hati Mark memanggil satu nama:
"Arunika... kau di mana? Apa kau juga merasakan ini?"
...****************...
Di dalam tempat persembunyian rahasia, dinding-dinding batu tua bergetar ringan.
Lampu-lampu sihir mulai meredup. Udara menjadi dingin, dan energi tak terlihat terasa seperti menusuk kulit.
Arunika berdiri tegak di tengah ruangan, jubahnya berayun pelan tertiup hembusan kekuatan tak dikenal. Matanya menyala lembut berwarna perak—tanda kekuatan sihirnya sedang bangkit merespon ancaman.
"Ada musuh!" bisiknya, tegas namun bernada cemas.
Kelima anak lelakinya yang sedang bermain sihir atau latihan pedang terdiam. Luciano dan Elianos saling berpandangan. Reonans yang paling peka segera berlari dan memeluk Arunika erat.
"Ibu? Jangan pergi!" ucap Reonans dengan suara bergetar, menahan air mata.
Arunika memeluk putranya erat, membelai rambutnya. Cinta seorang ibu dan ksatria yang harus bertahan menyatu dalam tatapan matanya.
"Kalian harus tetap di sini. Jangan keluar... apa pun yang terjadi. Ibu akan kembali."
Lucius melangkah maju, tangannya menyala dengan api sihir putih. "Kalau musuh datang... aku bisa bantu!"
Arunika tersenyum tipis, namun tegas. "Belum saatnya kalian bertarung. Kalian adalah harapan dunia ini. Aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian terluka."
Wanita penyihir muda Jinny muncul dari balik bayangan. Ia langsung berdiri di samping Arunika.
"Aku merasakannya juga. Ada sihir gelap mendekat cepat. Kita harus perkuat segel pelindung sebelum mereka tahu tempat ini."
Arunika mengangguk, lalu dengan tenang mengangkat kedua tangannya ke udara. Cahaya biru keperakan memancar dari telapak tangannya, membentuk lingkaran pelindung di atas ruangan.
"Anak-anakku, percayalah pada Ibu."
"Jaga satu sama lain."
Di ambang gerbang sihir kastil rahasia itu, cahaya putih tempat Arunika menghilang masih berpendar samar di udara, menyisakan bekas aura hangat yang kini berubah menjadi kekhawatiran.
Reonans, dengan napas memburu, sudah berlari mendekati batas sihir yang memisahkan kastil dari hutan luar.
"Reonans, jangan!" seru Luciano, tubuhnya menghadang, namun adiknya terlalu cepat.
Reonans mengangkat tangannya, mata hijaunya menyala, napasnya berat.
"Kak aku merasakan sesuatu. Ada musuh yang menyamar. Aku yakin dia menyusup ke dalam. Dia bukan salah satu dari kita!"
Luciano menegang. "Menyamar? Tapi tak ada yang bisa menembus pelindung kastil ini..."
"Dia bukan menembus, Kak dia dari dalam," suara Reonans merendah, penuh tekanan.
"Aku mendengarnya suara sihir itu... aneh."
Tiba-tiba, Lucius dan Marcus muncul dari sisi koridor, wajah mereka sama cemasnya.
"Reonans, tunggu! Kau tak bisa pergi sendirian!" kata Lucius sambil menarik bahu adiknya.
"Kalau itu benar kita harus melapor pada Paman Jonathan dulu," ucap Marcus dengan tenang, namun sorot matanya serius.
Reonans mengepalkan tinjunya. "Tapi kalau aku terlambat, Ibu bisa diserang dari belakang aku gak mau kehilangan Ibu lagi."
Ketiga saudaranya terdiam. Keheningan itu dipatahkan oleh suara lembut dari lorong belakang.
"Kalau begitu, kita pergi bersama," kata Luciano, matanya menyala tenang.
"Kita keluarga. Kita lindungi Ibu sama-sama."
Mereka bertiga saling menatap, lalu mengangguk serempak.
"Marcus, buka jalan dengan sihirmu. Lucius, jaga di belakang. Aku dan Reonans akan di tengah."
Gerbang sihir dibuka perlahan, dan empat pangeran muda itu melangkah ke dalam gelapnya malam. Tak tahu bahwa musuh sudah menanti di antara bayangan.
"Dimana Elianos?" tanya Luciano pada saudaranya.
"Mungkin ia bersama paman Jonathan." Jawab Lucius tampak menerawang jauh, "Tapi... Tadi dia bersama Paman, dan sekarang ia malah bersama ayah?"
"Apa?? Ayah??"
"Tidak mungkin, kita harus segera bergegas menuju ujung hutan, ibu dalam bahaya!" kata Reonans yang mengeluarkan kekuatannya untuk berpindah tempat.
...****************...
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉