Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pelan-pelan Menyatu
Naila memandang tangan besar yang menggenggam erat jemarinya. Suhu tubuh pun mendadak hangat, seolah udara malam yang dingin tak lagi berarti. Detak jantungnya berdetak semakin kencang, membuat ia lupa bagaimana caranya bernapas.
Sesak.
“Aku…” Naila mencoba berbicara, tapi tenggorokannya tercekat. Ia menarik napas dalam, menenangkan diri. “Aku takut, Mas.”
Martin mengerutkan dahi. “Apa yang kamu takutkan?”
Naila menengadah, matanya basah tetapi tetap jernih. “Aku takut benar-benar jatuh cinta padamu. Karena aku ingin menggapai mimpi... Dan aku ..., belum siap jadi istri yang sem—”
Martin kembali menyentuh pipinya lembut—membuat kedua pasang netra itu bertautan tak ingin lepas. “Aku tak memintamu berhenti mengejar mimpi. Aku hanya berharap, ada namaku yang kau sebut dalam doamu. Keberadaanmu… membuatku merasa hidup lagi.”
Naila terisak pelan. Tanpa pikir panjang, ia memeluk Martin, tubuhnya bergetar pelan meneteskan bulir bening yang langsung tenggelam dalam dekapan itu.
“Maafkan aku… mungkin dinding yang kubangun terlalu tinggi. Aku terlalu takut jatuh cinta. Takut berharap terlalu jauh dan Mas masih berada dalam bayangan Mbak Rianti. Jika seandainya kita mungkin tak bisa bersama—"
"Sssstttt ...." Martin membalas pelukan Naila dengan lebih erat.
“Aku milikmu,” bisik Martin. “Mungkin kamu bukan yang pertama mengisi hatiku, tapi kamu lah yang menjadi penutup pintu itu. Percaya lah padaku."
Naila mengangguk dalam pelukan itu. “Aku…”
“Sssttt…” Martin mengusap lembut punggung Naila. "Biar kan ini berjalan sebagaimana mestinya. Kamu jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tak bisa kita terka."
Tiba-tiba, suara tangisan nyaring terdengar dari lantai bawah.
“Ma… Mama… Mama…!!”
Naila langsung melepas pelukan Martin. Ia tahu persis tangisan siapa yang menggema hingga tempat mereka berada.
“Rindu!” serunya panik. Ia berbalik, nyaris berlari keluar kamar.
Martin menggenggam tangannya, menyusul langkah cepat Naila. Gaun tidur panjangnya menyapu lantai, nyaris membuatnya terpeleset jika saja Martin tak menahan. Meski cemas, senyum sempat singgah di wajah mereka.
Di kamar anak-anak, Rindu terduduk di ranjang sambil memegangi dada, napasnya tersengal. Matanya sembab karena tangis. Reivan yang terbangun pun mulai menangis kecil karena ikut panik.
“Mama… Mama…” Rindu terisak. “Lindu mimpi Mama pelgi... ninggalin Lindu, adek, sama Papa...”
Naila segera naik ke ranjang dan memeluk Rindu erat.
“Sayang, Mama di sini. Mama nggak ke mana-mana.” Ia menyodorkan segelas air dan mengusap punggung Rindu hingga tenang.
Martin menenangkan Reivan dan membuatnya tertidur lagi. Ia lalu duduk di sisi ranjang, menatap Rindu dan Naila bergantian.
“Kenapa dia selalu bermimpi kamu pergi meninggalkan kami?” gumamnya lirih.
Naila menoleh, suaranya lembut tapi tegas. “Namanya juga anak-anak, Mas. Saat aku nggak di dekat mereka, rasa kehilangan itu terbawa sampai ke mimpi.”
Martin menatapnya dalam. “Janji ya. Jangan pergi. Tetaplah di sini, bersamaku.” Tangannya kembali membelai pipi Naila.
Naila tersenyum, membalas sentuhan itu. Ia melepas kerudungnya, lalu berbaring.
“Aku rasa… nggak ada salahnya kita mulai perlahan. Dan, aku merasa nyaman saat Mas memelukku dulu," ujarnya pelan sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Martin segera mengambil posisi di belakang Naila dan memeluknya dengan hangat.
...****************...
Pagi itu, rumah Martin lebih meriah dari biasanya. Balon pastel menggantung manis di langit-langit, pita warna-warni menghias sudut ruangan, dan aroma kue cokelat panggang memenuhi udara. ART hilir-mudik membantu Naila menyiapkan pesta kecil yang direncanakan Naila.
Naila berdiri di dapur, celemek di pinggang. Senyumnya tak lepas semenjak bangun tadi. Ia bangun bersama sang suami pertama kali melaksanakan sholat subuh berjamaah. Sejenak, ia melirik sang suami yang tak melepaskan ia sedikit pun dari pandangannya.
"Mas, dari pada berdiri di sana, coba bantu Mang Kardi dan Bibi lainnya gih."
"Tentu, Cinta ..." ucapnya dengan sedikit menggoda sang istri. Sorot mata yang biasa tampa nyawa—kini tampak hidup dengan senyuman yang tak henti merekah di bibirnya.
Naila menutup bibirnya meleleh atas kelakuan Martin yang berubah 180 derajat.
"Neng, tadi malam kalian bersama lagi ya?" tanya Bi Rum yang memperhatikan tingkah laku pasangan ini.
Pipi Naila seketika berubah merah dan ia membenamkan wajah yang memanas begitu saja.
"Tidak apa, kalian kan udah sah suami istri. Bibi malah seneng kalau kalian sudah saling membuka diri begini," ucap Bi Rum bersahaja sembari memasak cemilan untuk pesta kecil Rindu hari ini.
"Mungkin, kami akan mencoba menjalani pernikahan yang sebenarnya," ucap Naila setengah berbisik.
"Semoga kalian bisa menjadi keluarga yang utuh. Nyonya Juwita juga mendukung kalian, kan? Sepertinya tak akan kendala dalam keluarga kecil ini."
"Aaamiiin, terima kasih, Bi."
Tak lama kemudian, Rindu muncul dengan gaun kuning pucat, memeluk boneka kelinci kesayangannya.
Naila berlutut, menyambutnya.
“Selamat ulang tahun, Anak Mama!” seru Naila riang. “Cantik banget hari ini!”
Rindu tertawa dan memeluknya erat. “Mama, rumah kita cantik kali," ucapnya memeluk Naila. "Lindu sayang sama Mama."
Martin pun ikut mendekat. “Dih, sama mama aja sayangnya? Sama papa, gimana?"
Rindu berpindah memeluk ayahnya. "Lindu sayang apa juga."
Tiba-tiba Reivan berlari dari arah taman menangis memegang balon yang sudah memeletus. “Mama, bayooonn..bayoooon," adunya.
"Duh, apa nggak ada yang ngadunya ke papa?" Martin menggendong putra kecilnya. "Ayo jagoan, sama papa juga ya. Kita ambil balon yang lain," bujuknya keluar dari dapur.
Setelah persiapan untuk acara kecil Rindu usai, tak lama, Bu Juwita hadir dengan dandanan elegan serta dua kotak besar.
"Bagaimana kabar Mama? Rasanya, udah cukup lama Mama gak ke sini?" ucap Martin menyambut sang ibu.
"Iya nih, mama pusing gara-gara ulah adik kamu. Dia ngilang terus."
"Marvel? Kenapa lagi dia? Aku juga sudah lama tak melihat dia," ucap Martin lagi.
"Bukan Marvel ...."
"Lalu? Meisya?" Martin memastikan apakah tebakannya benar.
"Iya ...."
"Bukan kah dia masih kuliah?"
"Dia kabur. Dan sekarang mama pusing nyari dia ke mana. Mana Marvel disuruh bantuin nyari malah santui bilang gak usah dicari lagi. Kalau kamu, kan kamu udah memiliki keluarga. Tak enak mama suruh pergi ke Singapur buat nyariin dia."
Lalu, raut wajah Bu Juwita berubah seketika ketika melihat Rindu yang berlari kecil balik dari taman.
“Selamat ulang tahun, cucu Nenek yang paling manis!” serunya sambil memeluk Rindu dan berbisik pada Naila.
“Waduh, menantu piliha mama memang tak ada duanya. Terima kasih ya, udah membuat mereka bahagia."
Naila tersenyum malu, hatinya terasa hangat dan sangat bersyukur karena ibu mertuanya tidak seperti mertua yang ada si sinetron yang ia tonton.
Setelah Rindu meniup lilin dan keluarga kecil menikmati santapan, sebuah mobil sporty berhenti di depan rumah. Marvel turun, disusul seorang gadis muda dengan rambut diikat santai, wajahnya manis tapi tajam.
"Astaga, Meisya? Kamu udah sampai di sini ternyata?"
'Ya ampuuun, dia si hoodie pink'