kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kejadian dipagi hari...
Pagi merambat perlahan di kediaman mewah itu. Di ruang televisi yang luas, Maya dan si kembar sudah berkumpul, suara tawa dan obrolan kecil mulai mengisi ruangan.
Tak lama kemudian, Steven, Mark, dan Rico ikut bergabung, menyusul dengan wajah-wajah yang segar dan bersemangat. Mereka terlibat dalam perbincangan ringan, mengisi pagi dengan keakraban.
Sementara itu, di dalam kamar utama yang dipenuhi kehangatan.Rara menggeliat pelan.
Kelopak matanya terbuka, Ia terbangun lebih dulu dari suaminya, Axel.
Rutinitas paginya sudah terpola rapi,ia beranjak dari ranjang yang empuk, melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aroma sabun dan sampo segera memenuhi udara, membersihkan sisa-sisa kantuk.
Setelah merasa segar, Rara keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, namun ia sudah memancarkan aura cerah.
Pandangannya beralih pada Axel yang masih terlelap pulas. Senyum lembut terukir di bibirnya. Ia mendekat, membungkuk sedikit, dan memanggil suaminya dengan suara yang dibuat selembut mungkin agar tidak terlalu mengejutkan.
"Maz... Maz... bangun, sudah jam tujuh. waktunya sarapan tidak enak kalau ditungguin yang lain," bisik Rara, jemarinya perlahan mengelus rambut Axel.
Ada nada canda dalam suaranya, sekaligus sedikit desakan manja.
Axel hanya bergumam pelan, suaranya serak khas orang baru bangun tidur, seperti deru mesin yang baru saja dihidupkan.
"Hmm, iya, sayang," jawabnya, matanya masih terpejam erat, seolah tak rela meninggalkan alam mimpinya.
Sebelum beranjak menuju kamar mandi, Axel membuka matanya sedikit. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya saat melihat Rara.
Dengan gerakan yang masih sedikit kaku karena kantuk, ia mendekat, mencium kening Rara sejenak. "Cupp... Morning kiss dulu, sayang," bisiknya, sebelum berbalik dan melangkah gontai menuju kamar mandi.
Rara tersenyum, pipinya merona tipis. Ia kemudian beranjak ke lemari pakaian, memilihkan kemeja dan celana yang akan dikenakan Axel hari itu.
Dengan hati-hati, ia menaruh pakaian tersebut di atas tempat tidur. Sembari menunggu Axel selesai, Rara merapikan tempat tidur mereka, menarik seprai hingga rapi dan menata bantal-bantal empuk.
Aroma segar dari kamar mandi mulai menyeruak, bercampur dengan wangi parfum Axel yang samar.
Tak berapa lama, terdengar suara ceklek dari pintu kamar mandi. Axel keluar, rambutnya sedikit basah dan wajahnya terlihat lebih segar. Rara dengan sigap menghampirinya, menyerahkan pakaian yang sudah ia siapkan.
"Ini, Maz, bajunya," ucap Rara, senyumnya tak luntur.
Axel menerima pakaian itu, tangannya sempat menyentuh jemari Rara. "Terima kasih, sayang," katanya, tatapannya penuh kelembutan.
Lima menit kemudian, mereka berdua turun, menyusul yang lain di meja makan. Dari arah ruang makan, suara Mark sudah terdengar nyaring.
"Mentang-mentang sudah ada istri, bangunnya telat terus! Laper ini nungguinnya!" Omel Mark, ia mengusap-usap perutnya yang keroncongan, ekspresinya dibuat-buat cemberut, seolah ingin menarik perhatian.
Axel menatap tajam ke arah Mark, alisnya sedikit terangkat. Aura peringatan terpancar jelas dari tatapannya.
Mark yang menyadari tatapan itu langsung "kicep", nyalinya menciut. Ia tahu betul, daripada kena hukuman atau ceramah panjang dari Axel, lebih baik ia diam dan menunggu.
Rara, yang baru saja tiba di ambang pintu ruang makan, tersenyum lebar melihat interaksi mereka. Senyumnya merekah, membuat wajahnya semakin berseri.
"Pagi semuanya!" sapanya ramah, suaranya ceria.
"Pagi, Ra!" jawab serempak mereka, wajah-wajah yang tadinya cemberut kini berubah cerah menyambut kehadiran Rara.
Mereka pun beriringan menuju meja makan, Rara tak lupa langsung mengambil tempat di samping Axel, siap memulai hari dengan sarapan bersama orang-orang terdekatnya.
Di meja makan yang luas, aroma harum masakan pagi menyeruak, mengundang selera.
Rara, dengan senyum ramah yang tak pernah luntur, menoleh pada Bi Inah yang sedang membantu menata hidangan.
"Pagi, Bi... sini, ikut sarapan sama kita," ajak Rara, suaranya lembut dan tulus, ia menunjuk kursi kosong di sampingnya.
Baginya, Bi Inah bukan sekadar pekerja, melainkan bagian dari keluarga.
Bi Inah tersenyum hangat, menggelengkan kepala dengan sopan.
"Terima kasih, Nak Rara, baik sekali. Tapi Bi Inah nanti saja bareng sama maid yang lain," tolaknya secara halus, pandangannya penuh hormat.
Ia tahu tempatnya, meskipun Rara selalu memperlakukannya dengan begitu baik.
Mereka mulai menyantap sarapan dengan tenang. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring porselen terdengar sesekali, memecah kesunyian yang nyaman.
Obrolan ringan dan tawa kecil sesekali muncul, menciptakan suasana keakraban yang hangat.
Satu per satu, piring-piring tandas, menunjukkan betapa nikmatnya hidangan pagi itu. Setelah selesai, mereka beranjak dari meja makan, melanjutkan kumpul santai mereka di ruang televisi, tempat yang lebih nyaman untuk bercengkerama.
Saat mereka menikmati waktu santai, suasana tiba-tiba berubah serius ketika Axel berbicara.
Tatapannya tegas, tertuju pada Rico. "Rico, perketat keamanan untuk acara nanti malam," perintah Axel, suaranya mengandung otoritas yang tak terbantahkan. "Karena Rara akan aku ajak." Ada nada protektif yang jelas dalam ucapannya.
Axel tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun; dia mengantisipasi segala hal yang tidak diinginkan, setiap potensi ancaman yang mungkin mengintai. Keselamatan Rara adalah prioritas utamanya.
Rico langsung berdiri tegak, merespons tanpa keraguan. "Baik, Tuan," jawabnya dengan tegas, mengangguk yakin akan tugas yang diemban.
Axel kemudian beralih menatap Maya dan Vanya, kedua mata mereka menyiratkan kesiapan.
"Maya, Vanya, kalian harus siap mendampingi Rara. Jangan biarkan dia sendirian," ucapnya dengan nada yang sama tegasnya, namun tersirat harapan besar pada mereka.
"Siap, Tuan!" jawab Maya dan Vanya serempak, mengangguk mantap, mengerti betul betapa pentingnya peran mereka.
Pandangan Axel kini beralih pada Mark, yang sedang asyik memainkan ponselnya. "Dan kamu, Mark, mau di sini atau ikut kita?" tanya Axel, nadanya sedikit lebih santai, namun tetap mengandung pilihan.
Mark langsung mengangkat kepalanya, melempar ponselnya ke samping. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Ikut, gue! Jenuh sendirian di sini," jawab Mark bersemangat, melambaikan tangannya seolah sedang melepas beban. Ia memang tidak betah berdiam diri terlalu lama.
Tiba-tiba, dari arah pintu utama, terdengar sebuah suara familiar yang sangat percaya diri, menyapa mereka dengan riang. "Pagi semuanya! Cowok ganteng sudah datang!" ucap suara itu, disusul dengan kemunculan sosok seorang pemuda yang berdiri tegap di ambang pintu.
Dengan gestur dramatis, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, seolah berharap ada yang segera datang memeluknya, menunjukkan betapa ia merindukan perhatian.
Mark, yang selalu punya cara sendiri untuk menyambut, langsung meraih bantal sofa terdekat dan dengan akurat melemparnya ke arah Bara, sosok yang baru saja datang itu.
Bantal itu mendarat tepat di wajah Bara, menyebabkan tawa pecah di antara mereka. Bara hanya terkekeh, tidak terkejut sama sekali dengan sambutan khas Mark.
Ia melangkah masuk, mencari tempat duduk. Akhirnya, Bara menjatuhkan dirinya di antara Vanya dan Vanya, membuat kedua gadis itu terpaku sejenak karena kehadiran mendadak Bara yang kini mengapit mereka.
Angin musim dingin berderu di luar, menyapu salju yang tak henti-hentinya turun, namun di dalam ruangan, kehangatan perapian tak mampu mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Mark, dengan gerakan tangkas yang tak terduga, meraih lengan Bara, menariknya kuat hingga tubuh Bara terhuyung dan ambruk ke lantai kayu, menimbulkan bunyi gedebuk yang lumayan keras.
"Gak seneng banget lihat temannya bahagia?" Bara mendesis, suaranya dipenuhi gerutu yang tertahan, matanya menatap Mark dengan nyalang, seolah ada bara api yang siap membakar. Perasaannya campur aduk; ada rasa malu karena terjatuh, namun lebih dominan kemarahan atas tindakan impulsif Mark.
Axel, yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menggelengkan kepalanya pelan. Senyum tipis yang tadi sempat menghiasi bibirnya kini memudar, digantikan tatapan penuh pengertian yang diarahkan pada Bara.
Ia tahu betul bagaimana Bara selalu menyimpan emosinya dalam-dalam.
"Gimana, Bar? Jadi ikut kan nanti malam?" tanya Axel, mencoba mencairkan suasana. Nada bicaranya lembut, penuh bujukan.
Bara bangkit, mengusap lututnya yang sedikit ngilu. "Gimana mau ikut, xel? Gue sudah tidak punya klan, lagipula... mana mungkin dapat undangan," ucap Bara. Suara terakhirnya terdengar serak, dipenuhi nada sendu yang susah payah ia sembunyikan.
Di balik kata-katanya, tersimpan rasa sakit yang mendalam karena merasa ditinggalkan, diasingkan.
Kehilangan identitas klannya terasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya.
"Sudah, ikut saja," balas Rico, suaranya santai namun ada ketegasan di dalamnya. Ia tahu betul Bara hanya butuh sedikit dorongan.
Axel mengangguk-angguk, setuju dengan Rico. Senyumnya kini kembali merekah, seolah meyakinkan Bara bahwa kehadirannya malam nanti sangat mereka harapkan.
Karena badai salju di luar tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, akhirnya mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan bersantai.
Suasana perlahan mencair. Tawa dan obrolan ringan mulai mengisi ruangan, sejenak melupakan ketegangan yang baru saja terjadi.
Rara, yang sejak tadi duduk diam menyimak, tiba-tiba merasa tenggorokannya kering. Ia ingin mengambil minuman di meja seberang.
Saat berdiri, kepalanya mendadak terasa berputar. Pandangannya menggelap, dan sensasi pusing yang memualkan melanda. Kakinya lemas, tubuhnya limbung.
Vanya, yang duduk di dekatnya, adalah yang pertama menyadari ada yang tidak beres. Dengan sigap, ia menjulurkan tangannya, berhasil menangkap tubuh Rara sesaat sebelum gadis itu jatuh terempas ke lantai. "Rara!" seru Vanya panik, suaranya sedikit bergetar.
Maya, yang sedang asyik membaca buku, langsung tersentak kaget mendengar seruan Vanya. Matanya membelalak melihat Rara tergeletak tak sadarkan diri di pelukan Vanya.
Darah seolah berhenti mengalir dalam nadinya. Dengan panik, mereka berdua membntu vanya mengangkat tubuh Rara yang lemas dan membaringkannya perlahan di sofa terdekat.
Wajah Rara pucat pasi, bibirnya sedikit membiru.
Di ruangan kerjanya, Axel sedang sibuk dengan dokumen dokumen penting perusahaan yang ada di canberra. ditemani oleh para cowok lainnya yang sedang berdiskusi ringan.
"Vany, tolong panggilin Tuan Axel!" perintah Maya, suaranya bergetar menahan tangis.
Ia menoleh ke arah Bi Inah, asisten rumah tangga yang baru saja masuk. "Bi... Bi Inah, tolong ambilkan minyak kayu putih, cepat!"
Bi Inah, yang melihat kekacauan dan kepanikan di wajah Maya, langsung memegang dadanya. "Astagfirullah! Nak Rara kenapa?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Gak tahu, Bi, tiba-tiba pingsan," balas Maya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tanpa banyak bicara, Bi Inah langsung bergegas menuju lemari obat, mengambil kotak P3K yang selalu tersedia.
Vany berdiri di ambang pintu ruangan kerja Axel, napasnya tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. Jemarinya gemetar saat mengetuk. "Permisi, Tuan," ucapnya, suaranya sedikit pecah.
Rico, yang tadinya sedang mengobrol ringan dengan Bara, mengerutkan kening melihat ekspresi Vanya yang tegang.
"Kamu kenapa, Vany? Tegang gitu?" tanyanya, ada nada khawatir dalam suaranya.
"Tuan Axel... Rara pingsan!" Vany akhirnya mampu mengeluarkan kalimat itu, suaranya nyaris seperti jeritan.
Axel yang tadinya tenang, mendadak tersentak kaget. Darah seolah berdesir dingin di sekujur tubuhnya.
Semua dokumen di mejanya seolah tak berarti lagi. Tanpa pikir panjang, ia langsung berdiri, kursinya berdecit mundur, dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya, melangkah tergesa menuju ruang tamu tempat Rara terbaring.
Jantungnya berdebar kencang, dipenuhi ketakutan yang mencekik.
Sesampainya di sana, Axel berlutut di samping sofa. Wajah Rara yang pucat pasi membuat hatinya mencelos.
Dengan gemetar, ia mengelus pipi Rara, sentuhannya selembut mungkin, seolah takut melukai.
"Sayang... kamu kenapa?" bisiknya, suaranya dipenuhi kecemasan yang mendalam. Ia ingin sekali Rara membuka mata dan menjawabnya.
"Mark! Cepat periksa Rara!" perintah Axel, suaranya tegang namun penuh otoritas. Matanya tak lepas dari Rara, namun otaknya bekerja cepat.
Mark, yang juga terkejut, segera berlari menuju kamar dia. Meskipun sedang dalam masa liburan dan seharusnya bersantai, nalurinya sebagai dokter membuat ia selalu siap.
Sebuah tas berisi peralatan medis portabel selalu ia bawa ke mana pun. Tak butuh waktu lama, Mark kembali dengan tas medis di tangan, langsung berlutut di sisi lain sofa.
Dengan cekatan dan profesional, Mark mulai memeriksa kondisi Rara. Ia meraba denyut nadi di pergelangan tangan Rara, memeriksa pupil mata, dan mendengarkan detak jantungnya.
Wajahnya serius, memancarkan fokus penuh. Axel dan Rico menatapnya penuh harap, menunggu setiap gerakannya dengan cemas.
Tak lama kemudian, kelopak mata Rara mulai mengerjap pelan, berusaha terbuka. Sebuah desahan lega kecil meluncur dari bibir Axel.
Rara akhirnya membuka matanya sepenuhnya, menatap Axel dengan pandangan samar.
"Kepala Rara pusing banget, Maz," ucap Rara, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar, seolah setiap kata membutuhkan usaha besar.
Axel segera merengkuh tangan Rara, menggenggamnya erat. "Apa mau ke RS, sayang?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
Mark, yang masih berlutut, mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik. "Ra, kamu terakhir haid kapan?" tanyanya, tatapannya lekat, mencoba menemukan petunjuk.
Rara mencoba mengingat, namun kepalanya masih berputar. Ia menggelengkan kepala pelan, tanda ia tidak ingat atau tidak yakin. Sebuah kilatan pemahaman muncul di mata Mark.
"Rico, tolong belikan tespek ke apotek," perintah Mark, suaranya kini lebih lugas. "Sekalian tebus obat ini juga, ya." Ia menuliskan sesuatu di sebuah resep kecil dan menyerahkannya pada Rico.
Axel mengerti maksud dari tespek itu, sebuah harapan besar tiba-tiba membuncah dalam dirinya. Dengan hati-hati, ia menggendong tubuh Rara yang masih lemah, memindahkannya dari ruang tamu ke kamar tidur mereka, agar Rara bisa beristirahat dengan lebih nyaman.
Ia membaringkan Rara di ranjang. Tangannya mengelus lembut rambut Rara, tatapannya dipenuhi kasih sayang dan harapan yang tak terhingga.
"Kamu bikin Maz kaget, sayang," ucap Axel, suaranya melembut, ada senyum tipis di bibirnya.
"Semoga hasilnya sesuai yang kita inginkan, ya, sayang." Kalimat terakhir itu diucapkan dengan penuh harapan, sebuah doa yang tulus dari lubuk hatinya.
Rara menatap Axel, senyum tipis juga terukir di wajahnya. "Semoga ya, Maz," balasnya, ada secercah harapan yang sama di matanya.
Axel kemudian menyelimuti tubuh Rara dengan selimut tebal, memastikan Rara hangat dan nyaman, lalu duduk di samping ranjang, menjaga kekasih hatinya.
Axel duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan Rara yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kekhawatiran, tak ingin sedikit pun berpaling.
"Sekarang kamu istirahat, ya, sayang, biar cepet enakan," perintah Axel, suaranya melembut, mengusap perlahan rambut Rara.
Rara memejamkan mata sejenak, wajahnya masih pucat. Ia merasakan kehangatan sentuhan Axel. "Temenin, Maz," rengek Rara, suaranya parau dan manja, jari-jemarinya membalas genggaman Axel lebih erat, seolah tak ingin dilepaskan.
Axel tersenyum tipis, mengangguk. "Iya, Maz temenin, sayang," janjinya, suaranya menenangkan. Ia tak akan pergi ke mana pun.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, perut Rara terasa bergejolak hebat. Rasa mual yang menusuk datang menyerang tanpa ampun.
Rara meronta, tangannya mencengkeram sprei. Tanpa sempat berkata apa-apa, ia turun dari ranjang, berlari terhuyung-huyung menuju wastafel yang ada di dalam kamar mandi.
"Huek... huek..." Suara muntah keras terdengar, memilukan. Rara membungkuk di atas wastafel, tubuhnya bergetar hebat. Segala isi perutnya seolah ingin keluar.
Axel, dengan sigap dan tanpa ragu, langsung menyusul. Ia memegang erat bahu Rara, satu tangannya dengan lembut memijat tengkuk Rara, berusaha memberikan sedikit kenyamanan.
"Gimana, sayang? Sudah enakan belum?" tanyanya, suaranya dipenuhi kecemasan dan simpati.
Ia menatap Rara yang terengah-engah, air mata mengalir dari sudut matanya, bukan karena sakit, melainkan karena rasa tak nyaman yang luar biasa.
Rara mencoba menjawab, namun tubuhnya terasa sangat lemas. Pandangannya mulai buram. Dalam dekapan Axel, Rara merasakan dunia berputar, dan kesadarannya meredup. Ia kembali tak sadarkan diri, tubuhnya terkulai lemas di pelukan Axel.
Melihat Rara pingsan lagi, kepanikan Axel memuncak. "Mark! Mark!" teriaknya, suaranya pecah, memenuhi seluruh kamar.
Ia mengangkat tubuh Rara yang lemas, membaringkannya kembali ke ranjang dengan hati-hati.
Mark, yang mendengar teriakan panik Axel, langsung berlari masuk ke kamar tanpa permisi, kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. Ia melihat Rara yang terbaring tak sadarkan diri dan Axel yang terlihat sangat cemas.
"Rara habis muntah dan tak sadarkan diri lagi, Mark," jelas Axel, suaranya tercekat, ia menatap Mark penuh harap, mencari jawaban.
Mark segera mendekat memeriksa kondisi Rara dengan cepat.setelah beberapa saat ia menegakkan tubuhnya.Tatapannya beralih pada Axel penuh keyakinan.
"firasat gue istri kamu hamil xel."suaranya tenang namun jelas."ini gejala morning sickness yang terjadi pada awal kehamilan.kita tunggu rico dulu bawa alatnya.
Axel terdiam jantungnya berdegup kencang.firasat mark seolah mengabulkan harapan mereka.sebuah harapan besar bercampur kecemasan memenuhi benaknya.
"Maya tolong bikinin air jahet anget y."perintah mark."untuk mengurangi mualnya kalau Rara sadar nanti".
Maya yang melihat kejadian itu dari tadi tak perlu disuruh dua kali dengan sigap ia berbalik berlari menuju dapur untuk membuatkan air jahet anget yang mark minta.pikirannya dipenuhi doa semoga dugaan mark benar adanya..
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu