Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 31
Pada akhir keterusan.
Kavi meminta izin pada mama papanya mengambil libur dua hari ke depan lagi untuk meneruskan bulan madunya bersama Puja.
Aji dan Bening tentu saja menyetujui.
"Tenang aja, urusan pekerjaan, Papa sama Jimmy yang akan handle. Kamu bersenang-senanglah bersama istrimu."
"Iya. Mama tidak sabar ingin menimang cucu."
Kavi menggeleng-geleng lucu mengingat ucapan kedua orang tuanya di line telepon.
"Cucu? Anak?" Membayangkan tubuh gembul bayi dengan wajah dirinya, membuatnya langsung terkekeh. "Gua harus usaha lebih giat lagi kalo gitu."
Tugas pertama tentang perusahaan, selesai. Sekarang yang harus dia lakukan adalah membujuk Puja yang saat ini berdiri diam di serambi, masih merajuk karena tak setuju dengan keputusan liburan mendadak ini.
Kavi tersenyum saat langkahnya sampai di belakang istrinya.
"Sayang." Sembari menyelinapkan kedua tangan ke pinggang hingga perut rata Puja dari belakang, dia menyanggakan kepalanya di pundak wanita itu. "Berhentilah merajuk. Ini bulan madu. Harusnya kamu tuh seneng."
Puja mendesah karena perasaan yang masih kacau. Tapi meskipun kesal terhadap Kavi yang memutuskan sepihak, dia tidak menolak perlakukan manis lelaki itu.
"Pekerjaan aku, gimana aku kasih alasan sama teman-teman divisi saat masuk nanti. Waktu kumpul di resto, kamu sama aku pergi barengan, dari sana bahkan sampai dua hari ke depan, kita juga hilang bersamaan. Gimana aku jelasin sama temen-temenku nanti?"
Pesan yang dikirim Bu Ris pagi tadi membuatnya lumayan stress.
'Puja, apa kamu diculik Pak CEO ke sebuah tempat? Kenapa gak masuk kerja? Kami semua cemas lho!'
Terang saja dia kebingungan, ini adalah pernikahan rahasia, mana bisa bertindak seceroboh ini.
Kavi melepas peluknya lalu membalik hadapkan tubuh Puja jadi lurus padanya. Satu tangannya memegang pundak, satu lainnya membelai rambut panjang yang tak terikat naik dan turun. Bening matanya menatap wajah di depannya penuh cinta.
"Puja ...." Sejenak dia menjeda, raut manis yang tadi, menghilang dari wajahnya, berganti dengan keseriusan. "Sekarang aku gak keberatan semua orang tahu hubungan kita yang sebenarnya." Lalu menyambung di dalam hati, “Termasuk siap dipenggal kepala sama Arjuna pake pedangnya Papa.”
Jantung Puja terentak, mata melebar seperti akan meloncat. “Kenapa?" tanyanya lebih dulu, ingin tahu. “Bukannya kamuー”
"Karena aku udah berubah!" potong cepat Kavi, dari pancaran matanya, dia kelihatan sungguh-sungguh. "Saat itu aku masih berpikir dangkal. Pernikahan ini cuma sementara. Menjaga kerahasiaannya akan mempermudah semua berakhir tanpa melibatkan pers."
Dua belah pipi Puja yang tak lagi gembul dirangkum lelaki itu, lalu melakukan usapan kecil dengan ibu jarinya.
"Tapi sekarang ... aku udah tahu, seberharga ini nilaimu,” akunya. "Dan kamu tahu, penilaian itu kayaknya udah aku rasakan dari dulu, waktu kamu masih sebagai Puja si gembul mata kodok yang seperti baskom."
Pengakuan yang terakhir sedikit sulit dicerna Puja. Dia merasa paham sekaligus tidak di waktu yang bersamaan.
"Ma-maksudnya? Kamu?"
"Ya!" tegas Kavi seolah Puja memahami padahal belum dia jelaskan.
"Waktu lulus SMA dan aku memulai kehidupan baru di universitas, aku merasa ada bagian dalam diri aku yang hilang, seperti ... perasaan kesepian." Sesaat dia menarik napas lalu mengembuskannya berat.
.... "Aku kira bagian yang hilang itu adalah Dia. Tapi kayaknya aku salah. Aku selalu mikirin dia dengan rasa kehilangan. Tapi kehilangan itu ternyata masih terbatas, karena aku akan baik-baik aja setelah itu."
.... "Tapi waktu lihat foto kita berdua di rak buku kamar kamu hari itu ... aku merasakan rindu. Rindu yang aneh. Aku bahkan sesenang itu.” Sempat Kavi tersenyum.
.... "Aku merasakan deru jantung aku kacau hanya karena mengenang kelakuan bodoh saat merobek foto bagianku yang diberikan Mama hari itu. Dari sana aku sadar, bagian yang kosong itu ... kamu Puja. Gak ada yang recokin aku lagi. Seperti itu.”
Tidak tahu harus menanggapi dengan cara yang bagaimana, Puja hanya diam dalam kebisuan.
“Aku serius, Puja. Beneran itu yang aku rasain.”
Barulah Puja bertanya, “Kamu gak lagi godain aku aja, 'kan?”
Kavi menggeleng seraya membelai dua pipi Puja dengan sapuan halus. “Aku mengatakan yang sebenarnya.”
Walaupun sangat tersentuh, masih ada kegamangan di hati Puja sebenarnya. Sesuatu mendadak kuat, memberi sangkalan yang lebih hebat. Dia mengingat banyak bagaimana sikap Kavi dulu yang kentara sangat membencinya.
"Kamu yakin nilaiku melebihi rasa suka kamu sama Diana? Kamu bahkan jaga dan bela dia dalam situasi apa pun.”
Kavi langsung tercenung diam, beberapa saat untuk mencerna dan menggali pikirannya sendiri tentang masalah itu, tentang arti sebuah nama: Diana Safira.
Perlahan, dua telapak tangannya turun dari wajah Puja, tatapannya mendadak beku. Ingatannya telah sampai ke masa itu, masa yang dia gali dalam ingatan.
“Cabut lu, sono! Ganggu aja!”
Saat itu Kavi sedang berdua bersama Dianaーgadis yang dulu dipacarinya saat SMA.
"Tapi Tante bilang aku harus tetap di dekat kamu."
Puja yang terus ngeyel membuat Kavi meradang.
"Berenti bawa-bawa Mama, Sialan! Emangnya gua orok harus diasuh terus?! Lu bener-bener bikin gua muak, ya!”
"Tapi, Kavi ...."
"Pergi ... atau gua bikin lu nyesel seumur hidup!"
Dialog itu masih begitu nyata di ingatan Kavi.
Setelah mengusir Puja, dia bergandengan mesra dengan Diana. Sementara Puja pergi dengan langkah gontai dan wajah ditekuk. Tas serupa gendut dengan tubuhnya, berisi buku dan beberapa jenis snack ringan, dipeluknya di depan perut.
Setelah detik berlalu, Kavi memandangnya cukup merasa bersalah.
Tapi perasaan itu segera ditepisnya dengan kutipan, 'Orang tua kami yang berteman dekat, kenapa gua yang harus pasrah juga berteman dengan anak yang jelek itu'.
Puja merasakan hatinya berdenyut sakit melihat Kavi yang malah diam, saat ini. Apa yang tadi dia tanyakan seperti mematahtelakkan apa yang beberapa saat lalu pria itu tuturkan dengan penuh perasaan.
"Pada akhir aku cuma ditipu," katanya getir. “Nama Diana pasti jadi sejarah yang akan sulit dilupa di hati kamu.”
Takut lebih sakit lagi, akhirnya Puja memutuskan untuk pergi dari serambi, masuk ke dalam rumah, mungkin untuk berkemas.
Namun baru langkah terayun tiga, Kavi menggamit lengannya, lalu dengan cepat membawa ke dalam pelukan.
Kelakuannya lagi-lagi seperti itu.
"Maafin aku. Maaf." Penyesalan dalam hatinya terasa tak bisa dideskripsikan. Terlalu menumpuk dan rasanya seperti akan meledak.
"Aku nggak menipu kamu. Aku nggak ...." Suaranya bukan tercekat, melainkan Kavi belum bisa menyusun kata. Bingung bagaimana harus menjelaskan.
Cepat Puja menarik diri dari pelukan lelaki itu, Kavi tak lagi menahan.
Kini mereka saling bertatap.
"Seharusnya kita nggak melangkah sejauh ini," kata Puja, ironi, lalu menjauh tanpa menoleh lagi.
Kavi terpekur diam melihat punggung wanita itu.
Namun tepat saat pergerakan Puja mencapai mulut pintu ....
"Puja! Aku yakin, bagian yang hilang dari kesepianku saat itu ... adalah kamu, bukan Diana ... bukan siapa pun.”
perjalanan dan ekspansi bisnis mungkin bisa jadi pembelajaran juga buat pembaca..
tetaplah berkarya dan menjadi yang terbaik.. 👍👍😍🙏
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..