Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Hal Besar Apa?
...•••Selamat Membaca•••...
Rayden Maula memilih satu mobil dengan Archer dan Vanessa. Tujuan mereka kali ini jelas ke klub malam yang sangat megah di Rusia tentunya. Di bangku tengah, Maula dan Vanessa meracau tiada henti yang membuat kedua pria itu hanya senyum-senyum, keakraban mereka hanya terjalin dalam waktu singkat.
Mood Maula yang tadinya hancur, kini mulai membaik lagi, begitu pun dengan Vanessa. Semenjak kenal Maula, dia merasa jauh lebih berwarna lagi.
Klub malam Volchitsa, markas utama Archer yang menjadi tempat dia melepaskan lelah selama ini, dulu Rayden juga sering ke sini jika dia bosan di rumah atau lelah habis melakukan tugas berat.
Lantai VIP dibatasi kaca satu arah, menghadap langsung ke lantai dansa. Lampu kristal bergoyang di langit-langit, dengan sorotan lampu ungu keperakan. EDM atau Electronic Dance Music pelan mengisi udara di klub itu, tapi kedap suara di ruang VIP membuat percakapan dua mafia kakak beradik ini terdengar sangat jelas.
Maula dan Vanessa merasa aman kalau ke klub begini ditemani suami masing-masing. Pelayan datang membawakan pesanan makanan premium untuk tamu di private room seperti mereka.
Sebagai tamu eksklusif, sajian yang terhidang cukup membuat perut seketika meronta ingin diisi. Rayden mencubit ujung hidung Maula saat mata istrinya itu berbinar menatap makanan, padahal semua makanan tersebut sudah sering dia nikmati. Entah karena dia saat ini memang lapar atau bagaimana, Rayden tak peduli, yang terpenting baginya Maula bahagia.
Archer memotong perlahan steak wagyu A5 yang masih mengepulkan uap. Di sampingnya, Vanessa, mengenakan gaun beludru merah darah, menyibakkan rambutnya sambil menyeruput anggur merah tua keluaran 1985.
Rayden, lebih tenang dan penuh kalkulasi, menaburkan sedikit garam laut ke atas piring berisi foie gras panggang dan risotto saffron. Maula, anggun dalam balutan gaun hitam berlengan terbuka, menyantap sushi toro dengan sumpit perak, sesekali menatap suaminya dengan senyum yang nyaris tak terbaca.
Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Hanya bunyi garpu dan gelas, musik jazz elektronik mengalun pelan, dan pandangan mereka yang saling memahami karena ini bukan sekadar makan malam, ini adalah pertemuan dua kerajaan gelap, yang kekayaannya bisa menjatuhkan pemerintahan, dan cintanya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang hidup di sisi bayangan dunia.
“Ini kali pertama aku merasakan makan satu meja denganmu, Archer.” Archer terdiam sejenak lalu tersenyum, selama ini memang hubungannya dengan Rayden cukup buruk, selain karena sudut pandang Archer pada Rayden, juga karena Rayden adalah anak haram dari ayahnya.
“Nikmati saja, sudah lama juga kan tidak makan tanpa beban begini,” balas Archer dengan senyum penuh ketulusan.
“Aku juga kali pertama makan satu meja tanpa beban dengan Vanessa, apa kita berdua ditakdirkan untuk bersama ya?” ledek Maula yang membuat Vanessa terkekeh.
“Mungkin ya, bisa kali kalau besok kita ke klub lain tapi hanya berdua.” Archer dan Rayden langsung menatap istri mereka masing-masing.
“TIDAK BISA!” jawab mereka serentak yang membuat Maula dan Vanessa kembali tertawa.
Vanessa tertawa kecil pada komentar Maula tentang sommelier yang terlalu cerewet, sementara Archer dan Rayden saling bertukar pandang di atas rim gelas cognac.
Malam itu, kekuasaan bukan dibicarakan dengan suara keras, melainkan melalui cita rasa truffle, keheningan yang dipilih, dan tatapan yang tajam di antara suap demi suap hidangan yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.
Rayden duduk santai sambil memainkan cincin nikah di jarinya. Archer, lebih berotot dan garang, dengan jas wol hitam Rusia dan vodka di tangan, menyandarkan diri di sofa besar.
Selesai makan, Vanessa meminta untuk ditemani ke toilet oleh Maula.
“Aku saja,” tawar Archer.
“Sama Maula saja, dia juga mau ke toilet.”
“Hati-hati.”
Vanessa dan Maula saling bergandengan tangan ke toilet, seperti dua sahabat yang tidak mau dipisahkan.
Rayden menyeringai melihat keramaian di bawah sana. “Malam di Moskow tak pernah berubah. Dingin di luar, panas di dalam. Seperti kau, Archer.”
Archer tertawa pelan lalu, meneguk vodka miliknya. “Setidaknya aku tidak menyembunyikan ketegangan di balik dasi mahal seperti kau. Bagaimana Napoli?”
Rayden mengangkat alis dan berkata, “Panas. Terlalu banyak polisi. Tapi... juga terlalu banyak orang bodoh yang mau mati demi membeli senjata.”
Archer mengangguk, “Gudang di Vladivostok penuh. Kita butuh perputaran cepat. Kalau dikirim ke Suriah atau Afrika, perlu jalur bersih dan cepat. Dan hanya pelabuhanmu yang bisa itu, adik kecil.”
Rayden tertawa ringan dan membalas,“Adik kecil? Aku sudah bunuh lebih banyak jenderal NATO daripada yang kau ingat, bratri.”Rayden membuka dokumen dari ponselnya lalu menunjuk peta.
“Dengar, aku punya koneksi baru di Tripoli dan Benghazi. Senjata ringan masuk lewat laut, lalu lewat darat ke Sudan atau naik lagi ke Mesir. Kau kirim kontainermu ke Albania, aku urus sisanya.”
Archer menatap serius, nada hangat tapi tajam, ciri khasnya.
“Kau yakin orang-orang Libya-mu bisa dipercaya? Aku tidak mau senjata kita jatuh ke tangan bocah 15 tahun yang main perang-perangan. Senjata ini punya nilai… dan reputasi.”
Rayden mencondongkan badan dengan tatapan serius.
“Aku kontrol siapa yang dapat. Kita bukan pedagang pasar malam, kita arsitek konflik. Kita tidak jual peluru tapi kita jual kekuatan. Apa kau meragukan pekerjaanku selama ini? Reputasiku cukup baik dalam berbisnis.” Archer dan Rayden diam sejenak mencerna dan memperhatikan peta tersebut lalu Archer tersenyum samar.
“Itulah mengapa aku suka kerja sama denganmu. Kau mungkin lebih cerewet, tapi matamu tajam.”
“Dan aku suka kerja denganmu karena kau tak pernah panik. Saat dunia terbakar, kau tetap tenang seperti es. Tapi satu hal…” ia menatap langsung mata Archer.
“Jangan kirim barang dari Murmansk lagi. Pelabuhan itu bocor. Aku curiga ada mata-mata Inggris. Pindahkan semuanya ke Arkhangelsk dan aku akan urus clearance-nya.” Archer mengangguk dalam, kemudian mengambil selembar foto satelit dari dalam jas yang dia kenakan saat ini.
“Sudah aku duga. Itu sebabnya aku suruh Ivan ledakkan gudang lama minggu lalu. Tidak ada yang bisa dicuri dari mayat.” Rayden tertawa puas dengan jawaban dan kesigapan Archer.
“Kita ini bukan pebisnis. Kita pembuat dunia dan dunia baru tidak dibangun dengan kompromi tapi dengan mesiu. Cukup beberapa langkah dan kau menang tapi yang terpenting, taktik.”
Archer menjatuhkan foto ke meja, lalu mengangkat gelas vodka. “Untuk perang yang kita kendalikan dan dunia yang kita bentuk dari balik bayangan gelap.”
Rayden ikut mengangkat gelas anggurnya juga, “Dan untuk darah yang kita bagi, yang membuat kita lebih dari sekedar mafia. Kita keluarga.”
Archer & Rayden bersulang pelan
“Za semyu,” ucap Archer dengan bahasa Rusia (untuk keluarga).
“Per la famiglia,” balas Rayden dengan bahasa Italia. (untuk keluarga).
...***...
Di dalam toilet, Vanessa memberikan beberapa foto pada Maula.
“Aku sengaja memotretnya agar kau bisa melihat isi dokumen ini. Semua berkaitan dengan identitas suamimu dan juga suamiku.” Maula menatap Vanesaa dengan lekat.
“Kenapa kau bisa tiba-tiba menyelidiki Isabella begini?” tanya Maula heran.
“Semenjak aku masuk ke mansion itu sebagai istri Archer, Mommy selalu memberikan aku satu butir obat setiap malam, dia bilang obat itu sebagai vitamin untuk menyuburkan rahim karena dia ingin segera memiliki cucu. Awalnya aku tidak masalah, tapi aku selalu merasa aneh ketika minum pil itu, aku tidak memiliki gairah sama sekali untuk berhubungan dengan Archer dan hal tersebut justru memperburuk rumah tanggaku. Aku mulai menyelidiki pil itu, sayangnya pihak rumah sakit di negara ini tidak mau memeriksanya setelah tahu bahwa aku ini menantu Isabella. Aku tidak putus asa dan terus membuntuti dia kalau di mansion, sampai saat aku memergoki dia memasuki ruangan di lantai enam, yang ada di ujung lorong dengan pintu besi dan di jaga oleh delapan pria bersenjata. Aku penasaran dan ketika semua lengah, aku menaburkan obat yang bisa membuat penjaga tertidur, aku masuk setelah berhasil mendapatkan duplicate kunci ruangan tersebut dan di dalam sana begitu banyak foto, dokumen bahkan rencana yang ingin dia lakukan. Tapi yang menjadi target utamanya adalah Victory dan Archer. Aku bukan dari kalangan mafia dan detektif Maula, aku tidak mengerti semua itu dan ini alasan aku memberitahumu.” Maula mengangguk karena melihat isi ruangan tersebut memang cukup rumit untuk orang awam seperti Vanessa.
“Kau sudah beritahu Archer?”
“Archer sangat mencintai ibunya, aku takut ini akan merusak hatinya.”
“Apa Archer tahu ruangan itu?”
“Tidak. Soalnya saat aku coba pancing dia, dia bilang lantai enam di mansion hanya digunakan sebagai gudang oleh Mommy. Dijaga ketat karena semua barang-barang berharga ayahnya. Itu saja dan sepertinya Archer memang tidak tahu dan bahkan tidak mau tahu.” Maula mengangguk pelan.
“Apa dia tidak pernah periksa?”
“Pernah aku tanyakan, Archer bilang, Mommy itu suka menyendiri dan paling memiliki privasi. Jadi dia meminta ruang privasi di lantai enam yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun termasuk Archer.”
“Berarti memang ada hal besar di sana dan melihat foto ini, aku yakin kalau memang Isabella merencanakan sesuatu untuk suamiku.”
“Suami kita, bukan hanya suamimu. Karena nama dan foto Archer di ruangan tersebut juga ditandai dengan silang berwarna merah dengan coretan ‘Dead’.”
Maula semakin penasaran, ini seakan bukan hal kecil untuk dia ketahui. Sejauh ini Archer tampak seperti anak kesayangan oleh Isabella.
“Ini menarik.”
“Kau mau membantu aku kan, Maula?”
“Iya, apa kau bawa obatnya?” Vanessa mengangguk cepat lalu memberikan pil yang Isabella berikan setiap hari padanya.
“Aku sengaja tidak meminumnya, biasanya dia akan menunggu aku sampai menelan obat ini dan tadi dia cukup lengah. Makanya aku bisa simpan.” Maula mengambil pil tersebut untuk dia periksa ke rumah sakit.
“Kita saling membantu ya.” Vanessa mengangguk dan tersenyum, dia memeluk Maula dengan hati penuh kelegaan.
...•••Bersambung•••...