Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Hujan
Namun cinta mereka tidak mendapat restu dari keluarga. Putri dari kepala keluarga Shinomiya, yang kala itu dikenal dengan nama Akari Shinomiya, jatuh cinta kepada seorang pria biasa bernama Haruto.
Haruto bukan berasal dari keluarga bangsawan, bukan pula pejuang atau cendekiawan, melainkan hanya seorang pemuda yang hidup sederhana di desa kecil. Namun, hati Akari memilih Haruto karena kelembutan dan ketulusan pria itu.
Kabar cinta mereka menyebar cepat, memicu amarah besar dari keluarga Shinomiya yang sangat menjunjung kemurnian darah bangsawan. Kepala keluarga saat itu menganggap bahwa penyatuan darah keluarga Shinomiya dengan rakyat biasa adalah penghinaan.
Namun ada satu hal yang lebih ditakuti: dalam silsilah keluarga Shinomiya, ada mitos tua yang mengatakan bahwa jika garis keturunan bangsawan Shinomiya menyatu dengan darah manusia biasa, maka akan lahir seorang anak yang mampu menjembatani dua dunia dunia nyata dan dunia batas.
Akari dan Haruto akhirnya melarikan diri dan hidup bersembunyi, namun seperti takdir yang tidak bisa dihindari, mereka tetap melahirkan seorang anak perempuan. Anak itu tidak lain adalah nenek dari Liliana.
Anak itu dibesarkan jauh dari Jepang, namun garis keturunan Shinomiya tetap melekat. Dalam setiap generasi, muncul satu individu yang mengalami "Tidur Abadi" keadaan tidur panjang yang membawa jiwa mereka mengembara ke dunia lain yang terhubung secara spiritual dengan dunia ini.
"Dan kau, Liliana," suara sang kakek melemah namun penuh tekanan, "…adalah keturunan yang diwarisi kemampuan tertinggi dari garis batas itu."
Liliana hanya bisa menatap sang kakek dengan mata membelalak, tubuhnya gemetar karena mulai memahami semua hal yang pernah ia alami—kenapa ia bisa bersama Sean saat hujan, kenapa hanya saat hujan ia hadir, dan kenapa dunia Sean terasa begitu nyata karena memang itu nyata, namun hanya bisa dijangkau oleh dirinya.
Demian, ayah Liliana, ikut menunduk perlahan. "Ibumu, Kaori, pernah mengalami hal yang sama. Tapi dia tidak pernah kembali seutuhnya setelah kejadian itu dan dia memilih meninggalkan kita mungkin demi melindungimu."
Liliana memejamkan matanya dan gambar-gambar tentang Sean berputar dalam pikirannya. Dia sadar sekarang, bahwa hubungannya dengan Sean bukanlah sebuah kebetulan bukan pula sekadar mimpi.
"Kalau giti, apa aku bisa kembali padanya?" tanyanya lirih.
Sang kakek hanya tersenyum tipis. "Kau bisa tapi hanya dengan pengorbanan, dunia itu tidak menerima siapa pun secara permanen kecuali satu jiwa bersedia mengikatkan takdirnya sepenuhnya."
Suasana dalam ruangan keluarga Shinomiya yang megah itu mendadak mencekam. Teriakan Demian, yang selama ini dikenal sebagai ayah penyayang dan lembut, menggema hingga membuat para pelayan yang berjaga pun berhenti bergerak.
"Apa kau pikir cinta sebanding dengan kehilangan seorang ayah? Apa kau ingin ikut menghilang seperti ibumu, hah!?" bentaknya dengan mata merah penuh amarah dan luka yang telah lama ia simpan.
Liliana terdiam, napasnya tercekat dan matanya membesar, air mata yang sudah menggenang pun tumpah seketika, mengalir deras di pipinya.
Dia tak pernah melihat ayahnya marah seperti ini. Yang ia tahu, selama ini sang ayah selalu menatapnya dengan hangat hingga kini.
"Ayah..." suara Liliana nyaris tak terdengar, bergetar, penuh luka, "...apakah, Ayah pikir Ibu memilih orang lain? Bukan karena dia mencintai kita dan ingin melindungi kita?"
Demian tercekat mendengar putrinya.
"Aku mencintai Sean bukan hanya karena dia baik padaku. Tapi karena dia membuatku merasa utuh, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian dalam dunia yang bahkan aku tidak mengerti."
Kakek Liliana menunduk dalam diam, sementara para pelayan mencoba mendekat namun dihentikan oleh gestur sang kepala keluarga.
Kebenaran yang selama ini terkubur mulai terasa meledak satu per satu.
Demian perlahan mundur satu langkah, tubuhnya gemetar menahan emosi yang meledak dari rasa kehilangan, ketakutan, dan pertanyaan yang tak pernah ia dapatkan jawabannya. "Aku hanya tidak ingin kehilangan lagi!"
"Ayah tidak akan kehilanganku," balas Liliana dengan air mata yang masih terus jatuh. "Tapi jika aku tidak kembali kepada Sean, aku akan kehilangan diriku sendiri."
Kata-kata itu menancap tajam di hati semua yang hadir. Sebuah keputusan yang tidak mudah, namun Liliana telah memilih jalannya. Jalan menuju cinta, meskipun berarti menantang batas antara dua dunia.
Melihat ayahnya terjatuh dengan tubuh yang bergetar karena tangis, Liliana segera berlari menghampiri Demian.
Dia berlutut di hadapan pria yang membesarkannya dengan penuh kasih, lalu menggenggam tangan ayahnya yang gemetar.
"Ayah, aku tidak akan pernah meninggalkan ayah dan aku akan tetap menjadi putri Ayah, walaupun jiwaku juga memilih untuk bersatu dengan dunia lain dan dengan Sean."
Demian mengangkat wajahnya perlahan, mata yang basah memandang Liliana dengan getir. "Kalau begitu berjanjilah pada ayah, Liliana, janji pada Ayah bahwa kau tidak akan menghilang dan kalau kau benar-benar harus kembali ke dunia itu setidaknya biarkan sebagian dari dirimu tetap ada di dunia ini."
Liliana mengangguk tegas, menahan air mata. "Aku janji, Ayah. Aku akan tetap ada. Entah bagaimana caranya, aku akan temukan jalan agar dua dunia itu bisa terhubung.
Agar Ayah tahu aku tidak pernah benar-benar pergi.
Sang kakek yang menyaksikan semua itu hanya bisa menunduk haru, lalu berdiri perlahan dengan dibantu tongkatnya.
"Kita akan membantumu, Liliana," ucapnya penuh tekad. "Keluarga Shinomiya memiliki sejarah yang dalam soal batas antara dunia ini dan dunia yang tak kasatmata.
Kalau cintamu benar, maka leluhur kita akan membantu kita membukakan jalan."
Liliana menatap kakeknya, lalu ayahnya, dan mengangguk penuh semangat. Ia kini tak hanya membawa cintanya sendiri, ia membawa harapan dan ikatan keluarga yang tak akan ia abaikan.
Setelah Liliana dengan penuh keyakinan memberitahu bahwa dirinya pernah berada di Jepang dan bahwa penulis buku berjudul "Dia yang Memberiku Semangat" dengan nama penulis Sean adalah orang yang dia cintai, keluarga Shinomiya segera bertindak.
Kakek Liliana memerintahkan seluruh jaringan keluarga dari detektif pribadi hingga koneksi dalam dunia penerbitan dan literasi, untuk melacak keberadaan penulis tersebut.
Seluruh data perpustakaan, penerbit besar, catatan penulis independen, hingga jejak digital di forum dan media sosial diakses secara menyeluruh. Mereka bahkan menyusuri toko-toko buku lokal dan internasional, berharap menemukan informasi sekecil apa pun tentang keberadaan penulis bernama Sean.
Namun, 24 jam telah berlalu dan hasilnya, tidak ada, tidak ada penulis bernama Sean yang pernah menerbitkan buku berjudul Dia yang Memberiku Semangat.
Bahkan buku itu sendiri seolah tak pernah tercatat dalam katalog manapun. Seakan-akan buku itu hanya ada di dalam dunia mimpi.
Liliana duduk diam di pojok ruangan dengan buku itu di pelukannya, matanya tampak kosong menatap ke depan.
Hatinya mulai diliputi rasa takut. Jika dunia Sean tidak tercatat di dunia ini, mungkinkah semua yang dia alami hanya mimpi panjang di masa tidurnya?
"Aku tidak salah, Sean itu nyata!" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Demian dan sang kakek hanya bisa diam, saling bertukar pandang, bingung dan prihatin.
"Jika dunia itu benar-benar ada." gumam kakeknya, "Maka kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar sejarah keluarga."
Liliana memejamkan mata, dan dalam keputusasaan, dengan suara pelan namun tulus, dia berkata:
"Jika hujan bisa membawaku padanya aku mohon, hujanlah sekali lagi..."
Namun langit musim panas tetap terang, bahkan tak ada awan tipis yang melintas.
Dan harapan Liliana mulai perlahan pudar.