Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: RUANG TUNGGU DAN GEJOLAK MASA LALU
Angin dari arah Sungai Mahakam berembus lebih kencang sore itu, membawa aroma air tawar dan lumpur yang khas. Namun, bagi Firman, udara yang ia hirup terasa seperti bara api. Di depannya, Andre berdiri dengan napas memburu, wajah perlentenya yang biasanya tampak angkuh kini terlihat berantakan karena frustrasi.
"Gue nggak bisa nikah sama cewek yang setiap malam menangisi mantannya, Fir! Lo denger nggak?!" suara Andre menggelegar, mengalahkan suara deru mesin kapal klotok yang melintas di kejauhan.
Firman mengepalkan tangannya di dalam saku jaket. Potongan-potongan kertas undangan yang baru saja ia buang ke sungai seolah menertawakannya dari dasar Mahakam. Ia baru saja mencoba melepas, tapi takdir seolah menyeretnya kembali ke lumpur yang sama.
"Terus urusannya sama gue apa, Andre?" suara Firman terdengar rendah, dingin, namun ada getaran halus di sana yang menunjukkan betapa kerasnya ia menahan diri. "Gue sudah pergi. Gue sudah menghilang dari hidup kalian selama setahun. Apa lagi yang lo mau?"
"Gue mau lo bicara sama dia! Kasih tahu dia kalau lo sudah benci sama dia, kalau lo sudah punya penggantinya! Lakukan apa pun supaya dia berhenti menyebut nama lo!" Andre melangkah maju, mencengkeram kerah jaket Firman.
Firman menatap mata Andre dengan sorot yang mematikan. "Lepasin tangan lo sebelum gue buat lo makin nggak pantas berdiri di altar."
Ketegangan itu memuncak. Beberapa orang yang sedang duduk di kursi beton Tepian Mahakam mulai menoleh, berbisik-bisik melihat dua pria dewasa yang nyaris baku hantam. Namun, di tengah bara emosi itu, sebuah suara yang tenang dan jernih memecah segalanya.
"Mas Firman? Ada apa ini?"
Firman menoleh. Di sana, beberapa meter dari mereka, Yasmin berdiri. Dia memegang payung lipat dan tas jinjingnya. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, hanya keteduhan yang anehnya sanggup mendinginkan suasana seketika.
Andre perlahan melepaskan cengkeramannya pada jaket Firman, matanya menatap Yasmin dengan bingung. "Siapa lo? Temennya Sarah?"
"Saya Yasmin, teman Mas Firman," jawab Yasmin tenang. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di samping Firman. Ia bisa merasakan hawa panas yang terpancar dari tubuh Firman hawa penuh amarah dan luka.
Yasmin menatap Andre dengan tatapan profesional seorang dokter yang sedang menghadapi pasien agresif. "Mas Andre, saya rasa membentak orang di tempat umum tidak akan menyelesaikan masalah pernikahan Anda. Jika Anda merasa calon istri Anda belum selesai dengan masa lalunya, maka itu adalah urusan komunikasi Anda berdua. Menyeret orang dari masa lalu hanya akan membuat keadaan semakin rumit."
Andre terdiam. Ia merasa terintimidasi oleh ketenangan perempuan ini. "Lo nggak tahu apa-apa, cewek cantik. Sarah itu..."
"Saya tahu tentang luka, Mas," potong Yasmin lembut. "Dan saya tahu kalau memaksa seseorang untuk kembali atau membenci orang lain itu tidak akan menyembuhkan siapa pun. Sekarang, tolong tinggalkan Mas Firman. Dia sedang dalam proses penyembuhan, dan Anda baru saja merusak hari yang sudah dia bangun dengan susah payah."
Andre mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit kusut. Ia melirik Firman dengan sinis. "Oke. Gue pergi. Tapi ingat Fir, kalau pernikahan gue batal gara-gara lo nggak mau bicara sama dia, gue nggak akan tinggal diam."
Setelah Andre masuk ke dalam mobilnya dan pergi menjauh, keheningan menyelimuti Firman dan Yasmin. Firman masih berdiri mematung, menatap permukaan sungai yang kini mulai gelap karena matahari sudah tenggelam sepenuhnya.
"Mas..." Yasmin memanggil pelan.
"Kenapa kamu masih di sini, Yas? Kenapa kamu harus melihat aku di posisi paling memalukan seperti tadi?" tanya Firman tanpa menoleh. Suaranya terdengar pecah.
"Nggak ada yang memalukan dari menjadi manusia yang pernah terluka, Mas Firman," Yasmin mendekat, namun ia tetap menjaga jarak yang sopan jarak "level" yang mereka sepakati. "Saya tadi cuma mau jalan-jalan sebentar setelah shift di RS, nggak sengaja melihat kalian."
Firman tertawa getir. Tawa yang terdengar lebih menyakitkan daripada tangisan. "Ternyata benar kata orang. Masa lalu itu seperti bayangan. Semakin kamu lari menuju cahaya, bayangan itu justru semakin panjang mengikuti di belakang."
Ia duduk di kursi beton, menumpukan sikunya di lutut dan menyembunyikan wajahnya di telapak tangan. "Dia masih menangisiku, Yas. Setelah apa yang dia lakukan... dia masih menangisiku. Apa aku harus merasa menang? Atau aku harus merasa seperti pecundang karena ternyata aku pun masih tergetar mendengarnya?"
Yasmin ikut duduk di sampingnya. Ia tidak menyentuh Firman, tapi kehadirannya terasa seperti pelukan yang tidak kasat mata. "Mas merasa goyah karena Mas masih punya hati. Itu manusiawi. Tapi ingat apa yang Mas lakukan tadi? Mas sudah merobek undangannya. Mas sudah memutuskan untuk selesai."
"Tapi kenyataannya nggak semudah itu, Yasmin! Satu kalimat dari Andre tadi merusak semua logika yang aku bangun selama setahun! Aku ingin menemuinya, aku ingin bertanya kenapa dia menangis sekarang setelah dia membuangku dulu. Tapi di sisi lain, aku benci diriku sendiri karena masih peduli," Firman mengangkat wajahnya, matanya merah menahan emosi.
Yasmin menatap Firman dengan saksama. "Mas Firman, dalam dunia medis, ada yang disebut dengan phantom pain. Rasa sakit yang dirasakan pada anggota tubuh yang sebenarnya sudah tidak ada, sudah diamputasi. Apa yang Mas rasakan sekarang adalah phantom pain emosional. Sarah adalah anggota tubuh yang sudah hilang dari hidupmu, tapi ingatanmu masih mengirimkan sinyal sakit."
Firman terdiam mendengarkan metafora itu. Phantom pain. Ya, itu sangat akurat.
"Jangan biarkan rasa sakit palsu itu membuatmu kembali ke meja operasi yang salah, Mas," lanjut Yasmin. "Kalau Mas menemuinya sekarang, Mas hanya akan membuka luka lama tanpa benar-benar menyembuhkannya. Biarkan dia dengan pilihannya. Andre benar dalam satu hal: itu masalah komunikasi mereka berdua. Mas sudah bukan lagi bagian dari narasi itu."
Firman menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang masih tidak beraturan. "Kamu selalu punya jawaban untuk semuanya, ya? Apa semua dokter kedokteran jiwa belajar cara bicara seperti ini?"
Yasmin tertawa kecil, suara yang selalu berhasil membuat Firman merasa sedikit lebih ringan. "Saya bukan dokter jiwa, Mas. Saya dokter umum. Tapi saya punya banyak 'jam terbang' dengan luka saya sendiri. Saya belajar kalau kita nggak bisa mengontrol apa yang orang lain lakukan pada kita, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita meresponsnya."
Mereka terdiam cukup lama, mendengarkan suara riak air Mahakam yang menabrak pinggiran beton. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya kuning keemasan di atas air.
"Yas," panggil Firman tiba-tiba.
"Ya?"
"Terima kasih. Untuk tadi. Untuk nggak membiarkan aku memukul pria itu," ucap Firman tulus.
"Sama-sama. Lagipula, tangan seorang jurnalis harusnya dipakai untuk menulis kebenaran, bukan untuk memukul orang yang sedang panik karena ketidakmampuannya sendiri," balas Yasmin dengan senyum manis.
"Besok... aku ada tugas liputan ke sebuah panti asuhan di pinggiran kota. Katanya ada dokter relawan di sana yang sedang melakukan pemeriksaan gratis. Apa itu kamu?" tanya Firman, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih netral.
Yasmin sedikit terkejut, lalu mengangguk. "Iya, itu panti asuhan binaan RS saya. Jadi, Mas Firman yang ditugaskan meliput?"
"Sepertinya begitu. Editor saya bilang ini untuk rubrik sosial minggu depan."
"Wah, dunia memang sempit ya, Mas," Yasmin berdiri, merapikan tasnya. "Kalau begitu, sampai bertemu besok di lapangan. Dan tolong... malam ini tidurlah tanpa memikirkan parfum vanila atau air mata siapa pun. Pikirkan saja draf artikelmu."
Firman melihat Yasmin berjalan menuju mobilnya. Ada sesuatu yang berbeda di dalam dada Firman. Rasa sesak akibat Andre tadi masih ada, tapi intensitasnya berkurang. Kehadiran Yasmin seperti sebuah antiseptik perih saat dioleskan karena kejujurannya, tapi perlahan-lahan memberikan rasa dingin yang menenangkan.
Malam itu, Firman kembali ke kosannya. Ia mandi lama, membiarkan air dingin membasuh sisa-sisa amarahnya. Saat ia hendak tidur, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi WhatsApp.
Bukan dari Sarah. Bukan dari Andre.
Yasmin: Mas Firman, jangan lupa minum air putih yang banyak. Marah itu menguras energi dan dehidrasi bisa membuatmu makin emosional. See you tomorrow.
Firman tidak membalas, tapi ia tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk terangkat sedikit. Ia meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Untuk pertama kalinya dalam setahun, ia tidak bermimpi tentang altar yang hancur. Ia bermimpi tentang sebuah panti asuhan, cahaya matahari yang cerah, dan seorang perempuan dengan stetoskop yang tersenyum padanya.
Namun, di belahan kota yang lain, Andre duduk di dalam mobilnya yang gelap, menatap layar ponselnya. Ia sedang mengirimkan pesan singkat kepada seseorang.
Andre: Gue sudah ketemu dia. Dia sudah punya cewek lain, Sar. Cantik. Namanya Yasmin. Jadi berhentilah mengharapkan dia kembali.
Di sebuah kamar mewah yang penuh dengan dekorasi pernikahan, seorang perempuan bernama Sarah membaca pesan itu dengan air mata yang kembali mengalir. Ia meremas kain gaun pengantin putih yang tergantung di dekatnya.
"Gak mungkin... Firman gak mungkin melupakan aku secepat itu," bisiknya lirih.
Drama baru baru saja dimulai. Dan "Teman Level" yang dibangun Firman dan Yasmin akan segera menghadapi badai yang sesungguhnya.
Ternyata Andre sengaja memanas-manasi Sarah dengan menyebut nama Yasmin. Keesokan harinya di panti asuhan, liputan Firman tidak berjalan semulus yang ia bayangkan. Seorang perempuan cantik dengan tatapan penuh tuntutan tiba-tiba muncul di tengah acara pemeriksaan kesehatan. Sarah datang untuk membuktikan sendiri apakah Firman benar-benar sudah berpindah hati. Bagaimana reaksi Yasmin saat harus berhadapan langsung dengan "hantu masa lalu" Firman di saat mereka baru saja mulai merasa nyaman satu sama lain?