Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 18
Sore menjelang malam ketika Bianca menutup laptopnya. Ruang kerja mulai lengang, sebagian lampu sudah dimatikan. Ia meraih ponselnya, ragu sejenak, lalu membuka kolom pesan yang namanya masih terasa asing baginya Sadewa.
Jarinya mengetik perlahan.
> Dewa, aku pulang agak larut malam ini. Kantor mengadakan makan malam penyambutan untuk karyawan baru.
Pesan terkirim.
Tidak ada balasan.
Bianca menatap layar beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan. Ia sudah menduga. Sadewa bukan tipe yang akan bertanya atau menunjukkan kepedulian setidaknya untuk saat ini.
“Bianca, ayo,” panggil salah satu rekan kerjanya. “Kita sudah booking tempatnya.”
Bianca tersenyum dan mengangguk. “Iya.”
Mereka berlima berjalan keluar gedung bersama-sama. Dua perempuan yang berjalan di sisi Bianca adalah Nadira dan Kirana keduanya sebaya dengannya, sama-sama enerjik dan ramah. Sementara dua laki-laki di depan mereka, Arman dan Reza, terlihat lebih dewasa, pembawaan mereka santai namun profesional empat tahun lebih tua dari Bianca, senior di departemen yang sama.
Restoran Jepang yang mereka tuju terletak tak jauh dari kantor. Begitu pintu kayu geser dibuka, aroma khas shoyu dan grilled teriyaki langsung menyambut. Interiornya hangat, dominasi kayu dengan lampu kuning temaram.
“Wah, tempatnya cozy banget,” ujar Bianca jujur.
“Makanya dipilih di sini,” kata Kirana sambil tertawa. “Biar karyawan baru betah.”
Mereka duduk lesehan di satu ruangan semi privat. Menu dibagikan, obrolan pun mulai mengalir ringan tentang pekerjaan, kantor, hingga kehidupan pribadi yang masih aman untuk dibicarakan.
“Bianca, kamu lulusan Stanford beneran?” tanya Arman sambil tersenyum kagum.
Bianca mengangguk kecil. “Iya. S2.”
“Gila sih,” Reza menimpali. “Pantesan pas rapat tadi kamu kelihatan tenang banget.”
Bianca tertawa pelan. “Aku malah deg-degan setengah mati.”
Makanan datang satu per satu sushi, ramen, tempura, yakiniku. Tawa mulai pecah, suasana menghangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bianca merasa normal. Bukan sebagai istri pengganti. Bukan sebagai perempuan yang dikorbankan. Tapi sebagai Bianca arsitek, rekan kerja, teman baru.
Namun di sela tawa itu, ponselnya bergetar.
Pesan masuk.
Dari Sadewa.
> Jangan pulang terlalu malam.
Hanya itu.
Singkat. Datar.
Bianca menatap layar, lalu tersenyum tipis senyum yang sulit diartikan. Ada sedikit kaget, sedikit lega, dan entah kenapa… sedikit hangat.
Ia membalas singkat.
> Iya.
Ponsel kembali ia simpan. Bianca menatap teman-temannya yang sedang tertawa karena candaan Reza. Malam itu, di restoran Jepang yang hangat, Bianca tidak tahu bahwa di tempat lain di balik ketenangan kota ada seseorang yang mulai memperhatikannya dengan niat yang tidak sederhana.
Dan tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya menuju kehidupan baru mulai menarik perhatian yang salah.
Malam semakin larut ketika notifikasi di ponsel Sadewa berbunyi. Ia masih duduk di balik meja kerjanya, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Laporan keuangan terbuka, tapi sejak tadi tidak satu angka pun benar-benar ia baca.
Nama Raka muncul di layar, disusul pesan singkat.
> Bro, ke club yuk. Kepala gue mau pecah.
Belum sempat Sadewa membalas, pesan lain masuk dari Dimas dan Arvin. Isinya senada. Ajakan berkumpul. Ajakan melarikan diri dari pikiran masing-masing.
Sadewa menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit ruang kerja. Rumah atau lebih tepatnya apartemen rasanya terlalu sunyi malam ini. Terlalu banyak ruang untuk berpikir. Terlalu banyak bayangan yang tidak ingin ia hadapi.
> Gue ikut, balasnya singkat.
Pukul sembilan tepat, Sadewa menutup laptopnya. Bunyi klik terdengar tegas, seolah menandai keputusannya untuk berhenti peduli setidaknya malam ini. Ia meraih jaket, kunci mobil, lalu keluar tanpa menoleh ke arah kamar tamu. Ia tidak bertanya apakah Bianca sudah pulang. Ia tidak ingin tahu.
Mesin mobil menyala. Sadewa mengemudi menembus jalanan kota yang dipenuhi lampu malam. Pikirannya kosong, hanya suara mesin dan musik pelan yang menemani.
Club itu terletak di kawasan elit gedung tinggi dengan lampu neon yang berkilau mencolok. Karena club tersebut milik teman lamanya, Sadewa bahkan tidak perlu antre. Ia langsung masuk lewat pintu samping yang dijaga ketat.
Dentuman musik menghantam begitu pintu terbuka. Cahaya lampu berwarna-warni menari di udara, aroma alkohol dan parfum bercampur pekat.
Sadewa melangkah menuju ruangan VIP di lantai atas tempat yang sudah terlalu familiar baginya.
Dan benar saja.
Di dalam ruangan, ketiga temannya sudah berkumpul.
Raka duduk santai dengan satu botol minuman di tangan, Dimas bersandar di sofa sambil tertawa kecil, sementara Arvin yang paling pendiam sedang menuang minuman ke gelas kristal.
“Wah, pengantin baru datang,” celetuk Raka sambil menyeringai begitu melihat Sadewa.
Sadewa tidak membalas. Ia hanya membuka kancing jasnya, lalu duduk di sofa seberang mereka.
“Minum,” ujar Dimas sambil mendorong gelas ke arah Sadewa. “Lo kelihatan butuh ini.”
Sadewa meraih gelas itu, meneguk isinya tanpa basa-basi. Cairan pahit membakar tenggorokannya, tapi ia tidak bereaksi.
“Jadi,” Raka bersandar ke depan, nada suaranya dibuat santai tapi jelas mengandung rasa ingin tahu, “istri baru lo ke mana? Kok lo malah nongkrong sama kita?”
Sadewa mengangkat sudut bibirnya, senyum tipis tanpa emosi.
“Urusannya masing-masing.”
Faris melirik Sadewa sekilas. “Lo baik-baik aja, Wa?”
Sadewa tertawa pendek tawa hambar.
“Kelihatan baik gak?”
Tidak ada yang menimpali. Musik terus berdentum, tapi di antara mereka tercipta jeda sunyi yang aneh. Ketiganya tahu malam ini Sadewa bukan datang untuk bersenang-senang.
Ia datang untuk melupakan.