NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:492
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Gamelan Tanpa Penabuh

Kirana tahu ia tidak bisa melawan. Ia membalikkan badan, lari sekuat tenaga ke arah gelap, jauh dari dapur dan Kucing Hitam itu, menuju tempat yang ia ingat paling sepi di rumah: Gamelan Tanpa Penabuh.

Gamelan itu diletakkan di sebuah ruangan kecil di antara Pendopo dan Paviliun belakang, ruangan yang selalu gelap dan berbau dupa dingin. Kirana ingat pernah mendengar gamelan itu berbunyi di tengah malam, tetapi tidak pernah ada yang terlihat memainkannya.

Ia berlari melintasi koridor. Di belakangnya, ia mendengar suara Nyi Laras yang kini berteriak marah dari Pendopo, diikuti suara gesekan keras batu hitam yang bergeser.

"Gendong! Tangkap dia! Jangan biarkan Waris itu kotor!" teriak Nyi Laras.

Gendong. Itu pasti nama makhluk yang menjelma menjadi kucing hitam tanpa ekor itu.

Kirana mencapai ruangan Gamelan. Ia masuk dan menutup pintu kayu geser itu, tetapi ia tahu kunci pintu itu rapuh. Ia harus bersembunyi.

Ruangan itu dipenuhi alat musik: gong, kendang, dan bilah bilah saron. Bau dupa dan kunyit menyengat. Kirana merangkak di bawah deretan saron, bersembunyi di antara kaki kaki penyangga kayu.

Suara langkah kaki berat (para penagih utang) terdengar di koridor utama, diikuti suara Nyi Laras yang berteriak.

"Dia di Pendopo! Cepat! Periksa Pendopo, dia mengunci kita!"

"Tidak, Bu! Pintu belakang sudah terkunci! Dia tidak mungkin keluar!" Itu suara Gendong.

Kirana menahan napas. Ia mendengar perdebatan mereka. Nyi Laras berhasil mengelabui tamu tamunya, tetapi Kirana tahu Nyi Laras akan segera menyadari dia tidak ada di Pendopo.

Tiba tiba, udara di sekitar Kirana menjadi dingin menusuk.

Dung! Klenang! Thok!

Gamelan mulai berbunyi. Bilah saron di atas kepala Kirana bergetar hebat. Itu bukan dimainkan manusia. Itu acak, keras, dan memekakkan telinga, seolah banyak tangan tidak terlihat memukul semua instrumen secara bersamaan.

"Aku tahu kau di sana, Kirana!" Nyi Laras berteriak dari luar. "Kau pikir bunyi gamelan ini akan menenggelamkan rengekanmu? Ini lagu penyambutan untuk yang akan datang!"

Gamelan itu bergetar semakin kencang, hingga terasa seperti gempa kecil. Kirana harus keluar, atau gendang telinganya akan pecah.

Kirana bangkit dari persembunyiannya. Dalam kepanikan, matanya menoleh ke arah gong besar yang diletakkan di sudut.

Gong itu sangat tua. Di tengahnya, terukir relief seorang wanita dengan perut besar, dikelilingi oleh ular.

Di samping gong, Kirana melihat sesuatu yang aneh. Itu adalah selembar kain batik usang yang terlipat rapi, diletakkan di atas sebuah buku yang terselip di bawah kendang.

Kirana harus mengambilnya. Ia merangkak menuju gong, menghindari pukulan bilah saron yang bergetar sendiri.

Ia meraih kain batik itu. Kain itu berbau melati yang menyengat, sangat kuat hingga ia hampir mual. Di dalam lipatan kain, ada sesuatu yang keras.

Saat ia membukanya, ia menemukan benda yang mirip dengan Kunci Emas di Leher Ibu yang ia lihat sebelumnya—tetapi ini adalah kunci perak yang berkarat, berukirkan simbol bulan sabit.

Ia juga meraih buku yang terselip di bawah kendang. Itu adalah buku harian tua.

Kreek!

Pintu ruangan Gamelan didorong dengan paksa.

Nyi Laras berdiri di ambang pintu. Di belakangnya, wajah Kucing Hitam (Gendong) menyeringai, matanya kuning.

"Kau pikir kunci itu bisa menyelamatkanmu? Kunci perak itu hanya membuka pintu bagi mayat, Kirana. Bukan jalan keluar!" Nyi Laras melangkah masuk, diikuti Gendong.

Kirana tidak punya waktu untuk memproses kata kata itu. Ia harus melarikan diri.

"Dimas akan kembali dengan Penangkal! Kau tidak akan bisa mengambil bayiku!" teriak Kirana, mencoba mengalihkan perhatian Nyi Laras.

Nyi Laras berhenti. Wajahnya yang sebelumnya marah, kini tampak geli.

"Penangkal Kuningan Tujuh Lapis? Ya, aku yang menyuruhnya. Aku butuh itu. Bukan untuk dirimu, Kirana," kata Nyi Laras, menunjuk ke perut Kirana. "Aku butuh itu untuk melindungi Waris ini dari para penagih utang di belakangku itu. Mereka hanya butuh uang, tetapi mereka tidak akan segan melukai bayiku kalau mereka curiga kau berbohong."

"Kau gila!"

"Aku hanya seorang ibu yang melindungi investasi terbaiknya," Nyi Laras mendekat, tangannya terulur. "Sekarang, berikan kunci perak itu. Kau tahu di mana ia membukanya."

Kirana terpojok. Ia melihat ke belakang, ke arah Paviliun yang gelap. Kunci Peraknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!