SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: TEMBOK ES
Lokasi proyek Green Valley Residence terletak di kawasan Sentul, Bogor. Perjalanan dari kantor memakan waktu hampir satu setengah jam dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang padat. Laura menyetir mobilnya sendiri—Toyota Fortuner putih yang dia beli dua tahun lalu dengan hasil kerja kerasnya.
Di kursi penumpang, tumpukan dokumen dan blueprint tertata rapi. Laura sudah mempersiapkan segalanya sejak pagi. Dia bahkan datang ke kantor jam enam pagi untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Presentasi dengan investor pagi tadi berjalan lancar, meski Laura hampir tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang ke survei sore ini. Ke Julian.
Ponselnya berdering. Panggilan dari nomor tidak dikenal.
Laura mengaktifkan handsfree. "Halo?"
"Miss Laura? Julian Mahardika." Suara itu—suara yang membuat jantung Laura berdegup kencang—terdengar jelas melalui speaker mobil. "Saya dan tim sudah di lokasi. Anda di mana?"
Laura melirik jam di dashboard. Pukul tiga kurang sepuluh. "Saya sudah dekat, Pak Julian. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."
"Baik. Kami tunggu di pintu gerbang utama."
Sambungan terputus. Singkat. Profesional. Dingin.
Laura menarik napas panjang. Tangannya mencengkeram setir lebih erat.
Sepuluh menit kemudian, mobilnya memasuki area proyek Green Valley. Lahan luas terbentang—sebagian masih berupa tanah kosong, sebagian lagi sudah mulai ada pondasi rumah-rumah. Di pintu gerbang sementara yang terbuat dari pagar besi, Laura melihat dua mobil hitam terparkir.
Dan di sampingnya, berdiri Julian bersama tiga orang lainnya.
Laura memarkirkan mobilnya di samping mobil hitam tersebut. Dia mematikan mesin, menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu turun.
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah dan rumput. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan cahaya keemasan yang hangat.
"Afternoon, Miss Laura," sapa Julian saat Laura mendekat. Dia mengenakan kemeja lengan panjang biru muda—lengan bajunya digulung hingga siku—dan celana kargo hitam. Sepatu boots kokoh. Sangat berbeda dari penampilan formalnya di kantor kemarin.
Dan entah kenapa, penampilan kasual ini membuat Julian terlihat lebih... manusiawi. Kurang dingin. Meski matanya tetap tajam, tetap penuh kewaspadaan.
"Sore, Pak Julian," jawab Laura, menjaga suaranya tetap profesional. Dia mengenakan celana panjang hitam, blouse putih, dan sneakers—outfit yang dia pilih khusus untuk survei lapangan.
Julian menunjuk tiga orang di sampingnya. "Ini Adrian, Kepala Operasional. Rendra, spesialis sistem keamanan elektronik. Dan Dimas, ahli strategi taktis."
Laura mengangguk pada mereka semua, tersenyum ramah. Mereka membalas dengan sopan.
"Saya sudah membawa blueprint dan data geologi seperti yang diminta," ujar Laura, mengambil folder tebal dari mobilnya.
"Bagus." Julian menerima folder itu, membukanya sekilas. "Kita akan keliling lokasi dulu. Saya perlu melihat langsung medan, elevasi, titik blind spot potensial."
Mereka mulai berjalan menyusuri area proyek. Julian memimpin di depan dengan langkah pasti, matanya terus mengamati sekeliling dengan seksama. Laura berjalan di sampingnya, menjelaskan setiap detail proyek saat Julian bertanya.
"Cluster A akan dibangun di area ini," jelas Laura, menunjuk area di sebelah kiri. "Lima belas unit rumah tipe minimalis modern. Target market menengah ke atas."
Julian berhenti, menatap area tersebut dengan intens. "Tidak ada pagar pembatas antar cluster?"
"Ada. Tapi rendah. Sekitar satu meter. Lebih bersifat estetik daripada keamanan."
"Harus ditinggikan," ujar Julian tegas. "Minimal satu setengah meter. Dan tambahkan sensor gerak di sepanjang pagar. Kalau ada yang mencoba memanjat, alarm langsung berbunyi di pos keamanan terdekat."
Laura mencatat dengan cepat di tablet-nya. "Noted."
Mereka melanjutkan survei. Julian bertanya tentang segala hal—dari sistem drainase hingga jalur kabel listrik, dari titik tertinggi hingga area yang rawan banjir saat hujan. Pertanyaan-pertanyaannya detail, menyeluruh, menunjukkan betapa seriusnya dia menangani pekerjaan.
Laura menjawab setiap pertanyaan dengan data yang sudah dia hafalkan. Profesionalisme mereka berdua tidak bisa diragukan.
Tapi di balik semua itu, Laura merasakan sesuatu yang aneh. Ada ketegangan di udara. Ketegangan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Setiap kali mereka berdiri terlalu dekat, Laura bisa merasakan kehangatan tubuh Julian. Setiap kali jari mereka tidak sengaja menyentuh saat Julian menunjuk sesuatu di blueprint, Laura merasa seperti tersengat listrik. Setiap kali mata mereka bertemu—meski hanya sekilas—Laura harus memaksa dirinya untuk tidak mengalihkan pandang terlalu cepat.
Dan yang lebih aneh: Laura merasa Julian juga merasakannya. Ada sesaat—sangat singkat—ketika Julian menatapnya sedikit lebih lama dari yang diperlukan. Saat alis Julian mengerut seolah dia mencoba mengingat sesuatu. Saat Julian membuka mulut seolah mau bertanya sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, tapi kemudian menutupnya lagi.
Tapi mungkin itu hanya wishful thinking Laura. Mungkin dia hanya membayangkan hal-hal yang tidak ada.
"Miss Laura, bisa tolong jelaskan rencana sistem air bersih?" Adrian bertanya, memecah moment canggung antara Laura dan Julian.
Laura berdehem, mengalihkan fokusnya. "Tentu. Kami akan menggunakan dua sumber..."
Survei berlanjut selama hampir dua jam. Matahari sudah mulai condong ke horizon saat mereka akhirnya kembali ke pintu gerbang.
"Kami butuh waktu tiga hari untuk menyusun proposal detail," ujar Julian saat mereka berdiri di samping mobil masing-masing. "Termasuk rekomendasi penambahan dan modifikasi sistem keamanan."
"Tidak masalah," jawab Laura. "Saya tunggu proposal-nya."
Julian mengangguk. Dia menatap Laura sejenak—tatapan yang membuat Laura merasa seperti Julian sedang menganalisisnya, membaca sesuatu di balik wajah profesionalnya.
"Miss Laura," Julian berbicara pelan, hanya untuk Laura. Tim-nya sudah masuk ke mobil, memberi mereka privasi. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Jantung Laura berhenti.
Waktu seakan berhenti.
Itu adalah pertanyaan yang Laura sudah bayangkan jutaan kali. Pertanyaan yang dia harapkan dan takuti secara bersamaan.
"Bertemu?" Laura memaksa suaranya tetap tenang, netral. "Maksud Anda kemarin di meeting?"
"Tidak." Julian menggeleng sedikit. "Maksud saya... sebelum itu. Wajah Anda terasa familiar. Seperti pernah saya lihat di suatu tempat."
Laura merasa dadanya sesak. Ini kesempatannya. Kesempatan untuk mengatakan: Ya, kita satu kampus. Kita pernah satu mata kuliah. Aku mengenalmu selama empat tahun, meski kamu tidak pernah benar-benar melihatku.
Tapi kata-kata itu застряла di tenggorokannya.
Karena apa gunanya? Apa gunanya mengingatkan Julian tentang masa lalu yang bahkan tidak penting baginya? Apa gunanya membuat dirinya sendiri terlihat... desperate?
"Mungkin salah lihat, Pak Julian," jawab Laura dengan senyum yang dia buat-buat. "Jakarta kecil. Mungkin kita pernah berpapasan di suatu tempat."
Julian menatapnya lebih lama. Di matanya, Laura melihat keraguan. Tapi kemudian Julian mengangguk perlahan. "Mungkin."
Hening sejenak.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ujar Laura, membuka pintu mobilnya. "Terima kasih untuk survei hari ini, Pak Julian."
"Terima kasih kembali, Miss Laura."
Laura masuk ke mobilnya, menutup pintu, dan memasang sabuk pengaman dengan tangan yang bergetar. Dia menyalakan mesin dan mulai menjauh, meninggalkan Julian yang masih berdiri di sana.
Baru setelah mobilnya keluar dari gerbang proyek, baru setelah dia yakin sudah cukup jauh dan tidak ada yang bisa melihatnya, Laura menepi ke pinggir jalan.
Dan menangis.
Air matanya mengalir tanpa bisa dia tahan. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun Julian ada di hidupnya, meski hanya di pinggiran. Sepuluh tahun Laura mengingat setiap detail tentangnya. Dan Julian... Julian bahkan tidak yakin apakah mereka pernah bertemu.
Laura memukul setir mobilnya dengan frustasi. Bodoh. Dia bodoh. Bodoh karena masih menyimpan harapan. Bodoh karena masih mencintai seseorang yang tidak mengenalnya.
Ponselnya berdering. Pesan dari nomor yang tidak disimpan—tapi Laura tahu itu dari kantor Sentinel.
Terima kasih atas kerja sama hari ini. Proposal akan kami kirim paling lambat Jumat sore. - Julian Mahardika.
Pesan formal. Dingin. Profesional.
Seperti tembok es yang Julian bangun di sekitar dirinya.
Dan Laura tidak tahu bagaimana cara melewati tembok itu.
Atau apakah dia bahkan punya hak untuk mencoba.
Dia menyeka air matanya, menarik napas dalam-dalam, dan kembali menyetir. Lalu lintas Jakarta malam hari menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang familiar.
Tapi di dalam mobilnya yang sunyi, Laura merasa lebih kesepian daripada sebelumnya.
Karena kadang, hal yang paling menyakitkan bukanlah ditolak.
Tapi tidak pernah dilihat sejak awal