NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Resep Pengusir Sepi

Elara berdiri mematung di depan jendela, napasnya tertahan di tenggorokan. Matanya membelalak menatap kaca yang berembun itu.

Jejak tangan itu. Kecil, ramping, dengan jari-jari yang terentang putus asa.

Namun, saat Elara mengedipkan mata dan memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya ke kaca, jejak itu perlahan memudar. Embun baru kembali menutupinya, menyamarkan bukti mengerikan itu seolah-olah tidak pernah ada.

"Cuma embun..." bisik Elara pada dirinya sendiri. Suaranya terdengar tidak meyakinkan, bahkan di telinganya sendiri. "Cuma pola acak yang kebetulan mirip tangan. Nggak mungkin ada orang di luar. Ini lantai dua."

Meski logikanya berusaha membantah, tangannya bergerak cepat menyentakkan tirai jendela hingga tertutup rapat. Bunyi cincin tirai yang bergesekan dengan tiang besi terdengar kasar di telinga.

Elara mundur beberapa langkah, memunggungi jendela itu seolah-olah ada monster yang akan melompat keluar dari balik kain tebal beledu tersebut. Jantungnya masih berdegup kencang, memompa adrenalin yang tidak diinginkan.

Dia butuh cahaya. Dia butuh suara manusia.

Tanpa membongkar kopernya, Elara berbalik dan keluar dari kamar, setengah berlari menuju tangga.

Suara berisik dan aroma bawang putih yang ditumis menyambut Elara begitu ia menuruni tangga. Di dapur yang terletak di bagian belakang villa, kehidupan terasa jauh lebih normal.

"Aduh! Pedes, woy! Mata gue perih!"

Suara Bobi terdengar melengking. Pria itu berdiri di depan talenan dengan kacamata renang, entah dapat dari mana, terpasang di wajahnya. Dia sedang memegang pisau dapur seolah itu adalah senjata biologis berbahaya, mencoba mengiris bawang merah.

"Bobi, lo ngiris bawang apa mau nyelam di Bunaken?" sindir Sarah yang sedang duduk di meja makan, sibuk membersihkan sayuran.

"Ini namanya safety procedure, Sar," balas Bobi sambil mengusap lensa kacamata renangnya yang mulai berembun. "Gue nggak mau nangis cuma gara-gara bawang. Air mata gue terlalu berharga, cuma boleh keluar kalau gue nonton Hachi: A Dog's Tale."

Rian, yang berdiri di depan kompor gas tua, menoleh saat mendengar langkah kaki Elara. Pria itu mengenakan apron biru tua yang entah kenapa terlihat sangat pas di tubuh tegapnya. Di tangannya ada spatula kayu.

"Hai, El," sapa Rian hangat. "Udah beres-beresnya?"

Elara memaksakan senyum, berusaha menyembunyikan getaran di tangannya. Pemandangan Rian yang sedang memasak selalu menjadi obat penenang instan baginya. "Belum. Aku... aku cuma lapar."

"Pas banget," sahut Rian. "Nasi goreng kampung spesial Chef Rian sebentar lagi matang. Duduk gih."

Elara menarik kursi di sebelah Sarah. Kehadiran teman-temannya membuat bayangan jejak tangan di jendela tadi terasa seperti mimpi buruk yang jauh.

"Lo pucat banget, El," komentar Sarah, menatapnya tajam. "Lo sakit?"

"Enggak," Elara menggeleng cepat. Dia tidak ingin menceritakan apa yang dilihatnya. Belum saatnya. Mereka akan menganggapnya gila atau paranoid. "Cuma kedinginan. AC alam di sini nggak main-main."

"Tenang, El," Bobi menyahut sambil memasukkan irisan bawangnya ke wajan dengan gaya melempar bola basket, membuat minyak sedikit memercik. Rian reflek mundur sambil melotot.

"Woi! Hati-hati!" tegur Rian.

"Santai, Bos. Seni memasak itu butuh atraksi," cengir Bobi. Dia lalu menoleh ke Elara. "Nanti malam kita bakar-bakaran di perapian. Gue udah siapin playlist lagu dangdut koplo biar setannya pada joget, nggak jadi nakutin kita."

Elara tertawa lepas. Kali ini tawa yang tulus. "Makasih, Bob. Ide bagus."

Suasana makan malam itu berlangsung hangat. Meja makan kayu panjang yang tadinya terasa terlalu besar untuk empat orang, kini terasa pas. Uap nasi goreng yang mengepul, aroma telur dadar, dan kerupuk yang dibawa Bobi dari Jakarta berhasil mengusir aroma debu tua villa.

Mereka makan sambil bertukar cerita. Tentang pekerjaan Sarah yang membosankan di firma hukum, tentang Bobi yang baru saja diputusin pacarnya karena ketahuan lebih sayang sama kucingnya, dan tentang Rian yang berencana membuka kafe kopi tahun depan.

"Dan lo, El," Rian menatap Elara di sela suapannya. Cahaya lampu kuning membuat mata cokelat pria itu terlihat lebih dalam. "Gimana progres novel lo? Masih macet?"

Elara mengaduk nasinya pelan. "Begitulah. Aku kayak kehilangan... rasa. Menulis romance rasanya jadi hambar."

"Makanya cari pacar," celetuk Bobi dengan mulut penuh. "Gimana mau nulis cinta kalau hati lo sepi kayak kuburan jam dua pagi?"

"Bobi!" tegur Sarah sambil menendang kaki Bobi di bawah meja.

"Aww! Sakit, Sar! Kan bener! Riset lapangan itu perlu," bela Bobi sambil mengusap betisnya.

Rian hanya tersenyum tipis, tapi matanya tidak lepas dari Elara. "Nulis itu soal perasaan, El. Mungkin kamu cuma butuh suasana baru. Atau... seseorang yang baru?"

Kalimat itu menggantung di udara. Elara merasakan pipinya memanas. Apakah itu kode? Atau Rian hanya bicara sebagai teman yang suportif? Batas antara keduanya selalu kabur bagi Elara.

"Mungkin," jawab Elara singkat, menghindari tatapan Rian.

Tiba-tiba, lampu di ruang makan berkedip sekali.

Bzzt.

Gelap total selama dua detik.

Hening. Sendok dan garpu berhenti berdenting.

Lalu lampu menyala lagi, tapi kali ini sedikit lebih redup dari sebelumnya.

"Oke..." gumam Bobi pelan, matanya melirik ke langit-langit. "Itu tadi cuma tegangan turun kan? Bukan hantu yang lagi main sakelar?"

"Listrik di sini emang nggak stabil, Bob. Kan kita di gunung," kata Rian rasional, meski Elara melihat otot rahang Rian sedikit menegang. Pria itu waspada.

"Iya, lagian badai di luar makin kenceng," tambah Sarah, menunjuk jendela dapur yang gelap gulita. Angin memang terdengar menderu lebih hebat, menggoyangkan pepohonan di luar sana.

TENG!

Suara itu datang dari ruang tengah. Keras dan jelas.

Semua orang tersentak. Bobi bahkan nyaris menjatuhkan sendoknya.

Itu suara denting piano. Satu nada rendah. Sama persis seperti yang didengar Elara tadi sore.

"Kalian denger itu?" tanya Sarah, suaranya sedikit bergetar.

"Piano..." bisik Elara.

"Siapa yang main piano?" tanya Bobi, wajahnya yang tadi jenaka kini berubah pucat. "Kita berempat di sini semua."

"Mungkin kucing," kata Rian, berdiri dari kursinya. "Atau tikus yang lari di atas tutsnya. Biar gue cek."

"Jangan!" cegah Elara reflek, memegang lengan Rian. "Jangan ke sana sendirian."

Rian menatap tangan Elara yang mencengkeram lengannya, lalu menatap mata gadis itu yang penuh ketakutan. Perlahan, dia meletakkan tangan hangatnya di atas tangan Elara.

"Gue nggak akan kenapa-napa, El. Kita cek bareng-bareng kalau gitu. Bob, bawa senter."

"Kenapa gue harus bawa senter? Kenapa nggak bawa panci aja buat tameng?" protes Bobi, tapi dia tetap berdiri, mengekor di belakang Sarah yang berlindung di balik punggung Rian.

Mereka berempat berjalan perlahan meninggalkan dapur, menuju ruang tengah yang remang-remang. Bayangan furnitur yang tertutup kain tampak seperti monster yang sedang berjongkok.

Rian mengarahkan cahaya senter ponselnya ke arah piano di sudut ruangan.

Piano itu masih di sana. Namun, ada yang berbeda.

Kain penutup yang tadi sore sudah dirapikan kembali oleh Elara, kini sedikit tersingkap di bagian ujung kanan. Menampakkan deretan tuts piano yang menyeringai dalam kegelapan.

Dan di atas lantai, tepat di bawah bangku piano, tergeletak sebuah benda yang memantulkan cahaya senter Rian.

Rian mendekat dan memungutnya.

"Apaan tuh, Yan?" tanya Bobi dari jarak aman.

Rian membalikkan badannya, memperlihatkan benda itu kepada mereka.

Sebuah metronom tua dari kayu. Jarumnya masih bergoyang pelan ke kiri dan ke kanan, meski tidak mengeluarkan suara tik-tok.

Kiri... kanan... kiri... kanan...

"Siapa yang nyalain metronom ini?" tanya Rian, nada suaranya serius.

Tidak ada yang menjawab. Udara di ruang tengah itu tiba-tiba terasa turun sepuluh derajat lebih dingin. Elara memeluk tubuhnya sendiri, menatap metronom yang bergerak dalam bisu itu. Dia tahu, musiknya baru saja dimulai...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!