NovelToon NovelToon
Obsesi Cinta Tuan Gumiho

Obsesi Cinta Tuan Gumiho

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Beda Usia / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:9.6k
Nilai: 5
Nama Author: Heryy Heryy

Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.

Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.

Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.

Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.

apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

༿BAB༌༚12

Malam itu, setelah Yoo In-a tertidur di kursi kecil di kamar nya, Park Sung-ah tetap berdiri di depan jendela kontrakan yang sempit.

Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang bersinar lembut, tapi dia tidak bisa menikmatinya. Pikirannya hanya terisi dengan kejadian malam itu—ketika dia mencium Kim Min-seok, dosen sejarahnya yang selalu terlihat dingin dan misterius.

Setiap detilnya muncul di benaknya dengan jelas: sentuhan bibirnya yang lemah, wajah Min-seok yang tercengang, dan perasaan kebingungan yang dia rasakan setelah itu.

"Dia pasti berpikir aku bodoh banget," gumamnya sendiri dengan suara yang serak, menangis lagi. Dia merasa malu dan bersalah—bagaimana dia bisa melakukan hal seperti itu pada dosennya? Bagaimana dia akan menghadapi dia di kelas besok? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya tidak bisa tidur.

Dia kembali ke tempat tidur, berbaring dengan mata terbuka. Dia berguling-guling, mencoba menemukan posisi yang nyaman, tapi tidak berhasil.

Setiap kali dia menutup mata, dia melihat bayangan bibir Kim Min-seok, dan hati dia berdebar kencang.

Dia juga mulai memikirkan—kenapa akhir-akhir ini Min-seok sering memperhatikannya di kelas? Kadang-kadang dia melihatnya menatapnya dengan tatapan yang tidak jelas, atau menyebut namanya untuk menjawab pertanyaan meskipun ada banyak mahasiswa lain yang mengangkat tangan. Apa itu karena kejadian malam itu? Atau ada alasan lain?

Tanpa dia sadari, dia berguling terlalu keras dan terjatuh dari tempat tidur dengan bunyi thump yang cukup keras untuk mengguncang lantai kamar.

Suaranya cukup keras untuk membangunkan In-a, yang bangun dengan terkejut, rambutnya kacau dan mata masih kabur karena tidur.

"Sung-ah! Kamu baik-baik saja? Kenapa terjatuh? Tuhanku, kamu tidak terluka ya?" tanya In-a dengan suara yang lemah, langsung melompat dari kursi dan mendekati dia.

Sung-ah berdiri dengan lemah, wajahnya memerah karena malu dan kepalanya sedikit berdenyut sakit. "Aku baik-baik saja, In-a.

Cuma salah posisi tidur doang—aku terlalu banyak berguling," jawab dia dengan senyum lemah, meskipun hatinya masih penuh dengan kekhawatiran yang membuat dada terasa sesak.

In-a memeluknya erat, memeluk tubuhnya yang gemetar dengan penuh perhatian. "Jangan pikirkan banyak ya, Sung-ah. Besok kita bicara dengan dia bersama. Semuanya akan baik-baik saja—dia pasti orang yang memahami," ucapnya dengan suara yang menenangkan, membelai punggung Sung-ah dengan lembut sampai dia merasa sedikit tenang.

Kemudian, In-a kembali ke kursinya dan tertidur lagi, tapi Sung-ah tetap tidak bisa tidur. Dia hanya bisa berbaring dan memikirkan tentang besok—tentang kelas, tentang Min-seok, dan tentang semua yang akan terjadi.

Malam itu terasa begitu panjang, seolah-olah waktu berhenti berjalan, dan matahari tak akan pernah terbit lagi.

Paginya, matahari menyinari kamar melalui jendela yang terbuka sedikit, menyebarkan cahaya hangat ke lantai. Sung-ah membuka mata dengan lambat, kepalanya terasa sangat pusing dan lelah karena semalaman tidak bisa tidur.

Matanya menjadi sayu dan merah, dan wajahnya pucat seperti kertas. Dia bangun dengan lemah, kakinya terasa lemah dan goyah. Dia mandi dengan cepat menggunakan air dingin untuk menyegarkan diri, lalu mengenakan baju seragam kampus yang sederhana—kemeja putih dan celana biru tua yang sudah agak usang.

Di meja, dia melihat catatan kecil yang ditulis In-a dengan tulisan yang rapi: "Aku tunggu kamu di kelas ya. Jangan khawatir—aku selalu ada di sampingmu! Bawa semangatnya ya!"

Sung-ah tersenyum lemah melihat catatan itu, merasakan sedikit kehangatan di hati. Dia mengambil tasnya yang penuh dengan buku dan catatan kuliah, lalu pergi ke kampus dengan langkah yang lemah.

Jalan ke kampus terasa sangat panjang, dan dia merasa semua orang melihatnya—seolah-olah mereka tahu apa yang telah dia lakukan malam itu. Dia selalu terasa cemas ketika berada di tengah orang banyak, tapi hari ini perasaannya itu semakin besar, membuat dia ingin menyembunyikan diri di sudut yang gelap.

Ketika dia tiba di depan gerbang kampus yang ramai, dia melihat seseorang yang dia kenal—Baek Yi-jin, berdiri bersama dengan Chae Soo-ri di dekat pohon bunga yang mekar.

Yi-jin mengenakan baju kemeja biru yang rapi dan celana jeans, rambutnya teratur dengan rapi. Soo-ri mengenakan baju dress putih yang cantik dengan tali di pinggang, rambutnya tergulung indah dan dihiasi dengan bunga mawar merah.

Mereka terlihat begitu bahagia bersama—bergandengan tangan, tersenyum lebar, dan berbicara dengan suara yang ceria. Sung-ah merasa hati dia sedikit tersayat, seolah-olah ada jarum yang menusuknya, tapi dia mencoba menyembunyikannya dengan senyum lemah.

Yi-jin melihatnya dan mendekati dia dengan cepat, meninggalkan Soo-ri sebentar. "Sung-ah! Kamu baik-baik saja? Aku sudah mencari mu beberapa hari yang lalu, tapi tidak ketemu—telpon mu selalu mati," tanya dia dengan suara yang lemah, wajahnya penuh dengan kekhawatiran yang sepertinya tulus.

Sung-ah mengangguk perlahan, menundukkan kepala agar Yi-jin tidak melihat air mata yang mulai menetes. "Aku baik-baik saja, Yi-jin. Maaf ya kalo membuat mu cemas—malam itu batre telpon ku habis dan aku terlalu lelah untuk mengisi ulang," jawab dia dengan suara yang serak.

Yi-jin tersenyum lebar, wajahnya penuh dengan kebahagiaan. "Terima kasih banyak ya, Sung-ah. Karena bantuan mu, aku bisa memberikan hadiah yang bagus ke Soo-ri—dia suka banget! Dan... aku ingin memberitahu mu bahwa aku sudah mengungkapkan perasaan ku ke dia kemarin malam, dan dia mau bersama aku," ucapnya dengan suara yang ceria, menunjuk ke arah Soo-ri yang tersenyum dan mengangguk ketika melihat mereka.

Sung-ah merasa hati dia hancur sepenuhnya, tapi dia tetap tersenyum sekuat mungkin. "Selamat ya, Yi-jin. Kamu berdua cocok banget—semoga bahagia selalu," katanya dengan suara yang serak, berusaha tidak menangis di depan dia.

Soo-ri mendekati mereka dan memegang tangan Yi-jin dengan erat. "Terima kasih juga ya, Sung-ah. Hadiahnya benar-benar cantik—aku senang banget. Kamu benar-benar temen yang baik buat Yi-jin," ucapnya dengan senyum lemah.

Sung-ah mengangguk, lalu berjalan cepat menjauh dari mereka, tidak bisa lagi melihat mereka bersama. Dia pergi ke kelas sejarah dengan langkah yang cepat, hati dia penuh dengan kesedihan dan kekhawatiran yang semakin membanjiri dirinya.

Di kelas, In-a sudah menunggu dia di kursi biasa mereka di baris kedua dari depan. Dia duduk di samping In-a, matanya menunduk ke meja, tidak berani melihat ke depan.

Beberapa menit kemudian, pintu kelas terbuka dan Kim Min-seok masuk. Dia mengenakan jas hitam yang rapi dan kemeja putih yang bersih, dasi hitam yang rapi di lehernya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya, tapi wajahnya tetap dingin dan misterius seperti biasa.

Sung-ah merasa hati dia berdebar kencang, jantungnya seolah-olah akan melompat keluar dari dada, dan dia tidak berani melihatnya.

Min-seok berjalan ke depan kelas, menatap semua mahasiswa dengan tatapan yang tenang. Saat dia melihat Sung-ah, dia berhenti sebentar—hanya sesaat saja—dan mata dia terlihat sedikit berkilau, tapi kemudian dia kembali ke tatapan yang biasa.

Kemudian, dia mulai mengajar seperti biasa, suara dia tenang dan jelas, menjelaskan tentang sejarah dinasti Joseon dengan detail yang sangat rinci. Sung-ah mencoba memperhatikan pelajaran, mencoba menulis catatan, tapi dia tidak bisa.

Bayangan bibir Min-seok selalu muncul di benaknya, dan dia selalu merasa bahwa Min-seok sedang memperhatikannya, bahkan ketika dia sedang menjelaskan materi ke seluruh kelas.

Namun, ada sesuatu yang aneh—sangat aneh. Min-seok bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa malam itu. Dia tidak melihatnya dengan tatapan yang berbeda, tidak menyebut namanya lebih sering dari biasanya, dan tidak mengatakan apa-apa yang mengingatkannya pada kejadian yang membuat hati Sung-ah berdebar kencang.

Sung-ah merasa bingung—kenapa dia bertindak seperti itu? Apakah dia lupa semuanya karena malam itu juga terlalu gelap? Atau dia sengaja menyembunyikannya karena merasa malu? Atau mungkin... apa yang dia rasakan malam itu benar-benar hanya mimpi?

Selama kelas, Sung-ah tidak bisa tenang. Dia bergoyang-goyang di kursinya, menundukkan kepala, dan kadang-kadang melihat ke arah Min-seok dengan cepat, hanya untuk segera menundukkan kepala lagi ketika dia merasa mata Min-seok menatapnya.

In-a menyentuh tangannya dengan lemah, memberikan tekanan perlahan sebagai tanda dukungan. "Tenang, Sung-ah. Kamu bisa lakukan ini," bisik In-a dengan suara yang lemah, membuat Sung-ah merasa sedikit lebih kuat.

Setelah kelas selesai, semua mahasiswa keluar dari kelas dengan cepat, berbicara dan tertawa. Sung-ah berdiri dengan lemah, hatinya penuh dengan keberanian yang tiba-tiba—keberanian yang dia dapatkan dari kehadiran In-a dan dari keinginan untuk mengetahui kebenaran.

Dia tahu bahwa dia harus bicara dengan Min-seok, minta maaf, dan jelaskan semuanya. Dia tidak bisa menyembunyikan ini selamanya—dia akan bertemu dia di kelas setiap hari, dan perasaan malu dan bersalah itu akan terus menyakitkan dia.

"In-a, aku akan ke ruang kantor dia. Aku ingin bicara dengan dia sendirian—jangan khawatir, aku akan baik-baik saja," katanya dengan suara yang lemah, melihat In-a dengan mata yang penuh harapan.

In-a mengangguk perlahan, wajahnya penuh kekhawatiran tapi juga percaya. "Baiklah, Sung-ah. Tapi hati-hati ya. Jika ada masalah, panggil aku segera—aku akan menunggu di luar gedung," ucapnya dengan suara yang menenangkan.

Sung-ah tersenyum lemah, lalu berjalan ke ruang kantor Min-seok yang terletak di lantai atas gedung kuliah. Jalan ke sana terasa sangat panjang, tangannya gemetar dan kering, dada terasa sesak karena napas yang pendek.

Ketika dia tiba di depan pintu ruang kantor yang berwarna coklat tua, dia melihat Min-seok baru saja masuk ke dalamnya—dia melihatnya dengan jelas: Min-seok membuka pegangan pintu, masuk ke dalam ruang kantor, dan menutup pintu dengan hati-hati, seolah-olah tidak ingin mengganggu orang lain.

Sung-ah mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dia mengetuk pintu dengan lemah, suaranya terasa kecil dan tidak pasti. "Dosen Kim? Bolehkah aku masuk? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," katanya dengan suara yang serak, harap dia mendengar.

Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, lebih kuat kali ini, jari-jari dia terasa sakit karena mengetuk pintu yang keras. "Dosen Kim? Maaf mengganggu, tapi aku ingin bicara dengan mu sebentar—itu penting," katanya lagi, suaranya sedikit lebih tegas.

Masih tidak ada jawaban. Sung-ah merasa heran—dia jelas-jelas melihat Min-seok masuk ke dalam ruang kantor ini hanya beberapa detik yang lalu. Bagaimana bisa dia tidak mendengar ketukan pintu? Atau apakah dia sengaja tidak mau menjawab? Dia memutar pegangan pintu dengan hati-hati, dan ternyata pintu tidak terkunci—dia bisa membukanya dengan mudah.

Dia membuka pintu dengan perlahan, lalu memasuki ruang kantor. Dan ketika dia melihat ke dalam, dia merasa terkejut sepenuhnya—ruang kantor itu kosong.

Tidak ada orang di dalamnya. Meja kerja Min-seok bersih dan rapi, dengan buku-buku sejarah yang tersusun rapi, catatan kuliah, dan gelas air yang masih penuh.

Kursinya kosong, dan pintu ke teras di bagian belakang ruang kantor juga tertutup rapat. Tidak ada tempat sembunyi di dalam ruang kantor yang tidak terlalu besar—hanya meja, kursi, dan rak buku yang penuh dengan buku-buku sejarah.

Sung-ah berdiri di tengah ruang kantor, mata terbuka lebar dan mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Dia merasa pusing dan bingung—dia jelas-jelas melihat Min-seok masuk ke dalam ruang kantor ini.

Dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dimana dia sekarang? Bagaimana dia bisa menghilang begitu cepat? Ada apa yang tidak beres di sini? Perasaan heran yang besar menyelimuti dirinya, membuat dia lupa sejenak tentang niatnya untuk minta maaf.

Dia hanya berdiri di sana, melihat sekeliling ruang kantor yang kosong, dan memikirkan—apakah yang dia lihat tadi hanya khayalan? Atau ada sesuatu yang aneh yang dia tidak mengerti?

1
𝓪𝓻𝓽𝓾𝓻 𝚝𝚎𝚖
crezy up thr
Almahira
🤭🤭🤭 kisss lagi🤭
𝓪𝓻𝓽𝓾𝓻 𝚝𝚎𝚖: ko kamu gak ada novel?
total 1 replies
Almahira
gue juga pengen 😭
Almahira
wah nafsunya memuncak, nih dosen 🤭
Almahira
wah udah Kiss kissan aja
Almahira
kaya adegan sinetron aja🤣
Almahira
pasti nangis lah jadi cewek kalo di kasih harapan palsu 😭😭
Almahira
wah di kasih harapan palsu,😭😭😭
Almahira
seneng banget tuh 🤭🤭
Almahira
kalau kaya gitu visualnya saya juga mau
Han Sejin: haaa🤣
total 1 replies
🐌KANG MAGERAN🐌
semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!