NovelToon NovelToon
Object Of Desires

Object Of Desires

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Pengantin Pengganti / Romansa / Kaya Raya
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Elin Rhenore

Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lovely Pervert Husband

Kehangatan menyirami tubuh Vanya, sinar matahari yang sudah meninggi membuatnya bangun. Gadis itu selalu bisa tidur di mana saja, bahkan di tempat asing sekalipun. Tidak ada masalah baginya jika hanya untuk tidur, asalkan menyandarkan kepalanya maka dengan cepat ia akan masuk ke dalam mimpinya dengan lancar. Seperti saat di pesawat semalam, baru saja take off, Vanya sudah bersiap dengan earphonenya, menyandarkan kepalanya dan tidur sampai pesawat akan landing. Tidak peduli apa yang ada di sekitarnya, baginya tidur adalah menghemat energi.

Tapi kali ini tak seperti sebelumnya, saat dia bangun dalam keadaan bingung, kali ini dia tahu betul dimana dirinya berada dan bagaimana dia bisa naik ke ranjang yang empuk itu. Dia sadar memasuki kamarnya di rumah Rendra ini.

"Selamat pagi, Nyonya." Bi Murti menyapa saat Vanya memasuki dapur. Vanya melihat ke sekeliling untuk memastikan keberadaan Rendra di rumah itu.

"Pagi, Bi ... Mas Rendra di mana ya, Bi?"

"Apa kamu sudah merindukanku, Little Cat?" Suara berwibawa itu menggema di seluruh ruangan, anehnya suara itu membuat bulu-bulu halus Vanya meremang, apalagi saat merasakan kehangatan tubuh Rendra tampaknya begitu dekat dengan punggungnya. Vanya hendak melangkah maju tapi tangan kekar Rendra menangkap pinggangnya, lalu mencium puncak kepala Vanya sehingga membuat tubuh perempuan itu menegang, Rendra sedang menunjukkan kemesraan suami istri di depan Bi Murti.

Asisten rumah tangga itu agak terkejut dengan pemandangan romantis tuan dan nyonya rumah. "Ehm, sarapan sudah siap, Tuan dan Nyonya. Saya selesaikan pekerjaan saya yang lain dulu."

Setelah kepergian Bi Murti yang salah tingkah melihat kemesraan tuannya, Vanya langsung menepiskan tangan Rendra agak kasar.

"Apa itu tadi?" Vanya berbalik, mendongak dan menatap dengan mata bulatnya yang berbinar-binar.

"Kepedulian saya pada kerinduanmu di pagi ini, Little Cat." Rendra menjawab acuh tak acuh, lalu berjalan melangkah pergi. Vanya menatapnya heran, sikap Rendra ini sungguh tak bisa ditebak. Kadang ia begitu mendominasi, kadang dia acuh tak acuh seperti sekarang, kadang bisa penuh ancaman, Vanya tidak mengerti dengan tempramen Rendra.

"Tapi untuk apa, Mas?" Vanya menyusul Rendra untuk menuju ke ruang makan. Rendra duduk di ujung, dan Vanya duduk di sampingnya.

"Kamu bilang ingin ikut bermain, jadi harus totalitas."

"Jadi harus berpura-pura di depan Bi Murti."

"Ya." Rendra mengambil roti panggang dan mengoleskan selai, belum sempat memasukkannya ke dalam mulut, Vanya sudah bersuara dengan begitu bersemangatnya.

"Sebelum aku ikut bermain, aku ingin tahu dengan jelas. Sebenarnya mengapa Pak Harun harus membuat perjanjian konyol yang merelakan putri kandungnya untuk menikah denganmu?"

Rendra meletakkan kembali roti panggangnya, nafsu makannya yang tak seberapa itu akhirnya lenyap. Ia menatap Vanya dingin, mengamati perempuan itu dengan seksama. Perempuan itu pintar, tidak mudah dibohongi, jika pengalamannya sedikit lebih lama dia akan menjadi pengacara yang hebat dalam bernegosiasi.

Rendra tiba-tiba berdiri. Membiarkan Vanya menatapnya penuh tanya.

"Kamu mau kabur dan tidak menjawab pertanyaanku lagi, Mas?"

"Ikut saya." Perintahnya jelas, dan tidak ada kesan dapat ditolak. Vanya pun mengikuti Rendra berdiri dan berjalan di belakangnya, mengekor seperti anak anjing. Mereka menaiki lantai dua, menyusuri lorong dan dua pintu yang salah satunya merupakan kamar Vanya dan satunya lagi Vanya menebak dalam hatinya itu adalah kamar Rendra.

"Ngomong-ngomong Mas, kenapa kita tidak tidur di kamar yang sama?" tanya Vanya begitu saja.

"Saya tidak keberatan jika kamu ingin kita tidur bersama."

"Bukan begitu!" Vanya buru-buru mengelak. Rendra acuh tak acuh.

"Bukankah kamu tidak sabar ingin tidur bersama saya."

"Ih! Mas! Bukan gitu ya!" Vanya berjalan lebih cepat lalu mendahului Rendra dan menghentikan langkahnya sehingga langkah Rendra pun terhenti. Alis Rendra terangkat sembari menatap perempuan yang sedang bersungut-sungut di depannya.

"Maksud aku itu—" belum selesai Vanya dengan kalimatnya, lidahnya kelu karena tiba-tiba saja Rendra mengulurkan tangannya ke depan melewati kepala Vanya, mendadak melangkah dan membuat Vanya terpaksa harus mundur karena jarak mereka yang terlampau dekat.

"Mas, apa yang mau kamu lakukan. Ini masih pagi."

"Memangnya kalau pagi tidak boleh?" Rendra menjawab acuh tak acuh,

"Tidak boleh!" dengan jantung berdegup kencang, Vanya menangkup dadanya menggunakan kedua tangannya seolah-olah menutup bagian tubuhnya yang berharga, ia bahkan menutup matanya. Dia masih perawan, meski mereka menikah tapi dia tidak siap jika harus menyerahkan mahkotanya kepada Rendra.

Lagi-lagi teringat olehnya ciuman panas yang Rendra lakukan di kantornya. Jika Rendra bisa berbuat seperti itu di kantornya pada siang hari yang cerah, maka dia bisa melakukan apapun saat ini, di rumahnya sendiri yang jauh dari keramaian.

"Apa yang kamu pikirkan?" pertanyaan dari suara maskulin itu membuka mata Vanya. Ia sudah tak lagi melihat Rendra di depannya, karena ternyata Rendra hanya mendorong pintu yang ada di belakang tubuh Vanya dan saat ini pria tersebut sedang berdiri di ambang pintu menatapnya tanpa perasaan.

Vanya menggelengkan kepalanya dengan cepat, mengenyahkan pikiran joroknya.

"Tidak ada, tidak ada yang kupikirkan." Vanya langsung menerobos ke dalam ruangan kerja Rendra, meninggalkan Rendra di belakangnya.

"Jika kamu ingin melakukannya pagi ini, saya bisa," ucap Rendra tepat di sisi tubuh Vanya. Perempuan itu langsung menghindar menjauhi Rendra, seluruh tubuhnya merinding saat mendengarnya.

"Me-melakukan apa?"

"Apapun yang kamu pikirkan."

"Me-memangnya aku mikir apa?" tantang Vanya dengan mendongakkan dagunya, Rendra melengkungkan bibirnya. Matanya tertuju pada bibir merona milik Vanya. Ia masih ingat bagaimana bibir itu sempat menolaknya tapi akhirnya ikut menggeliat dalam gairah yang panas di siang hari bolong di depan kantor firma.

Rendra tak menanggapi, tapi ia kemudian duduk di balik meja kerjanya. Membiarkan Vanya menghela nafas lega karena Rendra tidak melakukan aksi di luar kemampuan berpikir Vanya.

"Duduk."

Vanya pun kemudian duduk di seberang Rendra, ia menatap Rendra yang tampak begitu berkuasa di hadapannya. Aura maskulin dan dominan pria itu jelas terpancar, ketampanannya tak bisa ditutupi dengan apapun.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Apa Pak Harun memiliki hutang kepadamu? Tapi tidak mungkin dia membiarkan putrinya menikah denganmu."

"Memangnya apa yang salah dengan saya?"

"Kamu ...." Vanya menatap penuh selidik, begitu lekat. "Kalau dilihat-lihat kamu suka menindas orang lain, kamu ...." Vanya kemudian mencari celah keburukan Rendra yang lain dan pria itu menunggu dengan kerutan di keningnya yang mulai dalam. "Kamu bukan orang yang mudah didekati, kamu selalu muram, tidak murah senyum, kamu punya aura membunuh! Tidak mungkin Alessia akan mau denganmu."

"Oh, jadi di matamu saya adalah orang yang mengerikan seperti itu?"

Vanya mengangguk kuat.

"Lalu orang yang seperti apa yang bisa menjadi menantu Pak Harun itu?"

"Seharusnya orang yang baik, orang yang menunjukkan kredibilitas yang tinggi, bertanggung jawab, orang cermat, cerdas, tidak licik seperti kamu mas."

"Tapi sayangnya, tujuan utama saya bukan menikahi Alessia. Saya memang ingin menikah dengan kamu."

Deg!

Tidak mungkin. Vanya merasa jantungnya seperti berhenti berdetak begitu saja. Dunianya seolah-olah berhenti dengan tatapannya mengarah kepada Rendra. Apa sebenarnya yang diinginkan pria itu?

Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Vanya meraih kesadarannya kembali. Dan dengan kembalinya kesadarannya, amarahnya memuncak. Dia berdiri dengan mata merah terarah pada Rendra.

"Apa maksudnya itu?"

"Saya tidak pernah ingin menikah dengan Alessia. Semuanya sudah diatur. Kamu adalah istri yang saya inginkan."

"Aku tidak mengerti." Vanya berjalan melangkah mendekat ke tempat Rendra duduk, pria itu duduk dengan tenang di kursinya sembari menatap ke Vanya, tatapannya begitu dalam, ada sejuta makna di dalamnya.

"Kenapa kamu melakukan ini padaku?"

"Mas! Kenapa?!" Vanya meninggikan suaranya, nafasnya memburu, ia benar-benar marah.

Tentu saja ia marah, ia merasa bahwa harga dirinya telah dihancurkan oleh pernikahan palsu ini, pernikahan yang bahkan tidak pernah ia impikan dalam hidupnya. Jika mampu Vanya ingin melemparkan sandalnya ke kepala Rendra agar pria itu sadar. Awalnya ia berpikir karena masalah yang terjadi oleh keluarga Murya, tapi sekarang Rendra mengaku bahwa memang pernikahan itu terjadi karena keinginannya. Vanya sungguh tidak mengerti jalan pikiran pria tampan yang begitu dingin seperti batu obsidian itu.

Ketegangan itu berlangsung cukup lama sampai Rendra akhirnya membuka laci mejanya dan mengambil sebuah amplop cokelat. Setelahnya memberikan amplop tersebut kepada Vanya.

"Kamu cerdas dan pintar, pelajari saja semua yang ada di dalam amplop tersebut, semua jawaban ada di dalamnya. Setelah itu kita bisa bicara lagi."

Vanya memandangi amplop cokelat yang kini berada di tangannya. Tidak mempedulikan Rendra yang sudah beranjak hendak pergi. Amarahnya sedikit mereda.

"Mas, kamu mau kemana?" tanyanya saat ia menyadari pergerakan Rendra.

"Saya mau kerja, saya bukan pengangguran."

Vanya menghela nafasnya, bicara dengan Tuan Rendra Adiatmaharaja ini memang menguras tenaga ya!

"Baiklah, aku akan pelajari ini."

"Jangan pergi ke mana-mana."

"Bahkan untuk membeli kebutuhanku?"

"Kirim pesan ke saya, tulis semua kebutuhan kamu."

"Baik."

Rendra hendak melangkah pergi lagi, namun setelah beberapa langkah ia berhenti lagi. "Tidak semua orang di dunia ini menyukaimu, ada sebagian yang rela menjadikan kamu tameng untuk kepentingan mereka."

Belum sempat Vanya mencerna semua perkataan Rendra, pria itu sudah melenggang pergi meninggalkan Vanya bergelut dengan amplop cokelat tersebut.

*

Rupanya berenang membuat perut Vanya terasa lapar, selesai membersihkan dirinya ia pun langsung menuju ke dapur untuk mencari makanan. Ada banyak sekali bahan makanan yang siap untuk dimasak. Tapi Vanya hanya bisa melihatnya, meski ia jago dalam berbelanja tapi ia sangat tidak mahir dalam memasak.

Pernah suatu kali saat dirinya merantau untuk sekolah, ia lapar di kamar kosnya, saat itu ia ingin sekali makan makanan rumahan seperti yang sering dimakan saat tinggal di rumah neneknya, ia membeli semua bahan yang tertulis di resep yang ia dapatkan dari Google, ia meracik semua bahannya dan memasaknya dengan panduan resep. Ia pikir itu adalah mahakaryanya dalam bidang kuliner, namun saat ia memasukkan sesendok ke dalam mulutnya, detik berikutnya makanan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Benar-benar tidak bisa diterima oleh palette lidahnya.

Vanya menutup kulkas besar itu, kemudian membuka pintu kulkas yang lain dan menemukan banyak snack langsung bisa dimakan, ia mengambil dua bungkus besar dan mengapitnya di dadanya lalu ia pergi ke ruang keluarga.

Televisi dinyalakan oleh Vanya, ia memilih channel Netflix dan memilih film yang hendak ia tonton. Vanya memilih film komedi. Sepanjang film diputar Vanya seringkali tertawa terbahak-bahak, namun setelah film menjelang ending, bukan tawa yang terdengar hingga ke tempat Shouta yang bertugas menjaganya hari ini tapi air mata. Saat filmnya selesai, Vanya memutar film yang lain. Terus begitu sampai ia memutar 3 film dan tanpa sadar Vanya tertidur di sofa ruang keluarga itu.

Saat langit sudah gelap, langkah kaki Rendra seperti tergesa-gesa keluar dari garasi mobilnya dan menemui Shouta yang berjaga di pintu depan rumahnya. Ia melihat pemuda itu terlihat lelah tapi masih sempat melengkungkan bibirnya menyambut atasannya kembali, yang berarti tugasnya hari ini sudah selesai.

"Terima kasih, lo udah kerja keras hari ini." Rendra menepuk pundak Shouta hangat.

"Sama-sama bang, ini udah menjadi tugas saya."

"Ini di luar jobdesk lo, lain kali kalo lo kerja di tempat orang jangan mau disuruh kerja di luar jobdesk," tutur Rendra sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, ia mengeluarkan sebuah black card dan memberikannya pada Shouta.

"Ini beli apapun yang lo butuhin, terima kasih sekali lagi. Lo boleh pulang."

"Wah, makasih bang. Saya akan ingat nasehat abang."

"Oke, gue masuk dulu." Rendra melangkah masuk, tapi tak berselang lama ia berhenti dan kembali memanggil Shouta. "Shou, gue butuh lo cari bodyguard. Dua orang, yang bener-bener kompeten buat Vanya."

"Siap, Bang."

"Oke, terima kasih." Rendra pun kemudian tak sabar untuk masuk ke dalam rumahnya.

Ia hendak menaiki tangga dan pergi ke kamar istrinya tapi saat melintasi ruang tengah rumahnya ia mendengar samar-samar suara yang berasal dari ruang keluarga. Tak hanya itu ia juga melihat ruangan yang biasanya gelap itu masih menyala lampunya. Rendra yang tergelitik hatinya untuk memastikan pun pergi ke ruang keluarga. Di sana ia menemukan smart Tvnya sedang memutar film, lalu pandangannya jatuh pada sosok yang meringkuk di atas sofa dengan mata terpejam. Rendra pun berjalan ke arah sosok tersebut, ia melihat kedamaian terlukis di wajah itu. Seolah-olah tidur adalah tempat yang paling nyaman untuknya.

Rendra duduk jongkok di depan Vanya, mensejajarkan pandangan matanya pada mata yang sedang menjelajah mimpi itu.

"Kamu suka sekali tinggal di mimpi kamu itu ya?" gumam Rendra sembari mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah ayu milik istrinya.

"Eeeunngghhh." Vanya melenguh, tubuhnya menggeliat, matanya yang semula terpejam itu perlahan terbuka, samar-samar melihat ada sosok di hadapannya terlihat seperti bayangan hitam. Saat itu juga Vanya terlonjak kaget sampai terduduk. Ia tidak mengatakan apapun tapi jelas terlihat dari bola matanya yang hampir keluar dari tempatnya itu ia sangat terkejut seperti melihat hantu.

Rendra pun sama, ia terlonjak kaget sampai tubuh bagian belakangnya menabrak sudut meja. "Erghhh," erangnya pelan.

"Mas Rendra? Itu kamu?" Vanya mencoba memastikan pandangannya tak salah. Setelah menyadari bahwa sosok hitam seperti bayangan hantu itu adalah Rendra.

"Ya ampun, apa kamu baik-baik saja?" Vanya beranjak dari sofa dan membantu Rendra untuk berdiri. "Kamu ngapain sih mas, pake acara nakut-nakutin aku begitu. aku pikir aku lagi ketindihan. Duh, ngeri banget tahu!" omel Vanya sambil membantu Rendra duduk di sofa.

"Siapa yang nakut-nakutin kamu, saya cuma memastikan kamu tidur beneran atau pura-pura." Rendra berdalih.

"Mana ada aku pura-pura tidur, aku ketiduran pas nonton film," lanjut Vanya. "Coba aku lihat, apa ada lukanya."

"Nggak perlu. Kamu jangan tidur sembarangan lagi."

"Memangnya kenapa, toh ini rumah aku." Vanya sudah menyadarinya, dia adalah pemilik atas rumah mewah yang diberikan oleh Rendra padanya sebagai mahar pernikahan palsu mereka.

"Terserah kamu saja," ujar Rendra sambil menyandarkan punggungnya pada sofa. "Kemarilah!" Rendra meminta Vanya duduk di sampingnya.

"Apa?"

"Duduk di sini," ucap Rendra sambil menunjuk tempat kosong di sisi tubuhnya.

Tepat setelah itu Vanya teringat pada pesan whatsapp Rendra sore tadi, Vanya membeku ditempatnya, apa Rendra bersungguh-sungguh ingin membuktikan kelelaki-annya sekarang? Astaga, wajah Vanya langsung panas membayangkan adegan-adegan pembuktian itu di kepalanya.

Wajah Rendra menunjukkan ketidaksabarannya, ia mengulurkan tangannya untuk menarik Vanya duduk di sampingnya.

"Apa yang kamu lakukan mas? Kamu tidak berencana untuk melakukannya malam ini kan?! Aku ... aku ... sungguh aku ...." Vanya tergagap dengan wajah memerah. Rendra menatapnya keheranan, ia ingin meminta Vanya duduk di sampingnya untuk membicarakan tentang isi amplop cokelat yang dia berikan tadi pagi, tapi kenapa gadis itu malah meronta seolah-olah dia akan memperkosanya, apalagi sampai wajahnya memerah.

"Tentu saja aku harus menyelesaikannya malam ini." Rendra menjawab lagi, dan membuat wajah Vanya semakin merah.

"Tapi ... aku belum siap." Vanya menatap Rendra dengan memohon. "Bagaimana kalau membuktikan kelelaki-anmu itu lain waktu?"

"Hah?" Untuk sesaat Rendra tertegun mendengar ucapan Vanya, rupanya gadis itu memikirkan tentang pesan mereka tadi sore. Rendra mengangkat tipis ujung bibirnya. Lalu ia mendekatkan dirinya pada Vanya yang tampak seperti udang rebus di sampingnya.

"Mas ... please, aku belum siap." Vanya berusaha untuk mundur. Rendra pantang mundur, ia terus mendekat sampai Vanya berada di ujung sofa. Vanya sudah tidak bisa pergi, tubuhnya hampir terhimpit di antara sofa dan tubuh besar Rendra.

Pria itu mencondongkan wajahnya pada wajah Vanya, merasakan tiap hembusan nafas hangat Vanya, menikmati kegugupan perempuan itu, menikmati setiap detik mata Vanya yang menatap ke arah lain.

"Apa kamu memikirkannya sepanjang waktu?" bisik Rendra dengan suara rendah.

"Enggak, ya, mas! Untuk apa aku memikirkan hal begituan?" Vanya menggunakan kedua telapak tangannya untuk menahan tubuh Rendra.

"Hal begituan apa?" Rendra semakin menggoda Vanya. Ia meraih dagu Vanya menggunakan satu tangannya, membuat wajah perempuan itu menghadap ke arahnya. "Tatap saya, katakan hal begituan apa yang kamu maksud, Little Cat?"

Vanya menatap wajah Rendra, pandangan matanya tertuju pada mata Rendra yang tampak seperti cokelat panas. Lalu pandangan matanya turun pada bibir sensual Rendra, bibir hangat yang telah mencuri ciumannya beberapa hari yang lalu.

"Kamu menginginkannya?"

"Hah? Apa? Meninginkan apa, Mas?" Vanya terkejut seperti seorang maling yang terpergok. Buru-buru ia mengangkat pandangannya.

"Kamu menginginkan bibirku."

"Mas kamu gila ya! Enggak!" Vanya yang panik berusaha untuk mengelak dengan memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya semakin merah. Seketika itu juga Vanya mendorong keras tubuh Rendra. Bisa-bisanya pria itu mengatakan hal yang memalukan dengan wajah datar dan acuh tak acuh seperti itu, seolah-olah Vanya begitu putus asa untuk dicium olehnya.

Rendra yang terdorong itu mundur menegakkan tubuhnya, senyum samar di bibirnya hilang.

"Jadi kamu tidak ingin membuktikan kelelaki-an saya?"

"Ih Ya ampun. Dasar mesum! Mas Rendra Mesum!" Vanya beranjak dari tempatnya, namun saat ia berdiri tangannya kembali ditarik oleh Rendra hingga ia kembali terduduk. Vanya sudah mengantisipasi keadaan dengan menutup bibirnya, ia masih ingat saat Rendra memagut bibirnya dengan brutal tanpa pemberitahuan waktu itu, hal itu tak akan terjadi lagi. Vanya menguatkan tekadnya.

"Tenang, Anantari. Kenapa kamu panik, takut?"

"Tidak ada, siapa yang takut?!"

Kali ini Rendra terkekeh geli mendengarnya, saat itu Vanya termenung sesaat sambil menatap Rendra. Ini pertama kalinya ia melihat Rendra tertawa meski itu hanya tawa mengejek. Tapi ia melihat Rendra cocok dengan tawanya, terlihat lebih manusiawi dan tampan.

"Saya tidak berniat melakukannya malam ini."

"Jadi kamu akan melakukannya lain waktu, 'kan? Jangan mimpi deh mas! Kamu nggak akan bisa maksa saya."

"Kenapa kamu pikir saya akan memaksa kamu?"

"Karena ciuman waktu itu."

"Kamu masih mengingatnya."

Vanya menggelengkan kepalanya keras. "TIDAK!"

"Karena ingatanmu bagus, bagaimana kalau—" belum sempat Rendra menyelesaikan kalimatnya, Vanya segera menutup bibir pria itu. Rendra langsung meraih tangan Vanya lembut, ia menurunkan tangan perempuan itu. "Dengarkan dulu perkataan saya."

"Aku tidak akan mendengarkan kalau kamu mau bilang sesuatu yang mesum."

Rendra hanya tersenyum samar.

"Kamu sudah baca isi amplop itu?"

...*Bersambung*...

1
👣Sandaria🦋
wah pasti kasusnya seheboh kasus Jessica Kumalawongso. live lho🤔😅
Elin Rhenore: terima kasih
total 1 replies
👣Sandaria🦋
baca satu bab, Kakak. asik nih cerita pengacara saling bakutikam di ruang sidang, kemudian saling bakugoyang di ranjang👍😆
Elin Rhenore: terima kasih kakak /Hey/
total 1 replies
d_midah
selain cantik, yang aku bayangin pipinya yang gemoy☺️☺️🤭
Tulisan_nic
sidangnya siaran langsung apa gimana Thor?
Elin Rhenore: sidangnya siaran langsung, karena sifatnya terbuka untuk umum.
total 1 replies
Tulisan_nic
Baca bab 1 udah keren banget,aku paling suka cerita lawyer² begini.Lanjut ah
Elin Rhenore: terima kasih yaaa, semoga sukaa
total 1 replies
Ayleen Davina
😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025
Hallo Kak. Semangat berkarya ya 🫶
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: seru ceritanya 🫶
total 2 replies
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
"istri saya" kulanjutin dah😂
Mei Saroha
ayooo kakak othorr lanjutkaann... yukkk bisa yuukkk
Elin Rhenore: sabar yaaaa hehehehe
total 1 replies
Mei Saroha
rendra bertekad untuk lindungi Vanya..
Mei Saroha
alurnya keren thorr
semangat nulisnyaa yaaaa
Mei Saroha
hareudangg euyyy
Mei Saroha
morning wood itu apa kak 😃😀😁
Mei Saroha
apakah keluarga rendra membunuh orangtua Vanya?
Siti Nina
Lanjut thor jgn di gantung cerita nya
Siti Nina
Nah lho perang akan segera di mulai
Siti Nina
Oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Meleleh gak tuh mendengar ucapan Renrda manis banget
Mei Saroha
wahh.. ini masuk KDRT bukan sih
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!