NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batu dan Kerinduan

Di ujung dunia, terselip sebuah desa yang tak tercatat di peta mana pun, terkurung oleh barisan gunung biru yang seakan menyentuh langit. Desa itu bernama Dusun Sunyi, dan kedamaiannya adalah kedamaian yang lahir dari keterlupaan, bukan dari kemewahan. Kehidupan mengalir bagai sungai kecil yang jernih, tenang, dan sederhana. Di balik kabut pagi yang selalu menyelimuti lembah, berdiri sebuah gubuk bambu yang reyot, teronggok di sudut paling sepi bagai seorang tua yang menunggu ajal. Di sanalah Shanmu, seorang pemuda enam belas tahun, menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian. Kesendirian yang ia alami bukanlah takdir bawaan lahir, melainkan luka yang menganga.

Delapan tahun yang lalu

Pada malam yang gelap gulita tanpa bulan, orang tuanya pergi. Mereka menghilang bagai ditelan bumi, tanpa sepatah kata perpisahan, tanpa pelukan terakhir, hanya meninggalkan bocah delapan tahun yang terbangun di rumah kosong dengan hati yang hancur berantakan. Sejak saat itu, Shanmu hidup menjadi sebatang kara. Ia meminta-minta belas kasih, bekerja pada Kepala Desa untuk sepotong nasi dan tempat bernaung. Tugasnya menyapu halaman, membersihkan kandang, atau membantu membawa hasil panen warga yang hanya cukup untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Namun, kehidupan yang keras menempa tubuh dan jiwanya. Menginjak usia dua belas tahun, ia tak lagi menjadi bocah yang hanya bisa menerima belas kasihan. Dengan sebilah pacul tua dan semangat besi, ia membuka sepetak tanah di lereng gunung, menanam sayuran untuk mengisi perutnya. Kadang, dengan tombak kayu buatannya sendiri, ia memberanikan diri masuk ke hutan belantara untuk berburu. Daging buruannya ia jual kepada warga, sementara kulit dan tulangnya ia simpan untuk keperluan sendiri. Pekerjaan terberatnya adalah mencari dan memanggul batu gunung. Batu-batu besar dan kokoh itu ia angkat dari perut bumi, ia pahat kasar, lalu ia pikul menuruni gunung yang terjal untuk memenuhi pesanan warga, dijadikan alas meja, fondasi rumah, atau batu nisan.

Lima tahun menjalani kehidupan bagai binatang buruan, memeras keringat setiap hari, tubuhnya yang dahulu kurus kering berubah menjadi kuat dan kokoh. Otot-ototnya membesar, bagai akar pohon beringin yang melilit erat pada batangnya. Setiap pukulan paculnya, setiap angkatan batu beratnya, adalah sebuah tempaan. Di balik fisiknya yang perkasa, tersimpan sebuah jiwa yang terluka. Di malam-malam sunyi, saat angin gunung berbisik melintasi celah-celah bambu gubuknya, kerinduan akan sosok ayah dan ibu membakar hatinya. Namun, kerinduan itu berbalut racun kebencian. Bagaimana mungkin mereka tega meninggalkannya? Bagaimana mungkin kasih sayang orang tua bisa semudah itu terputus?

Kedamaian palsunya pecah pada suatu sore yang biasa. Sinar matahari jingga menyapu pelataran rumah Kepala Desa ketika Shanmu, usai menurunkan seikat kayu bakar, diajaknya duduk di bawah pohon beringin tua. Sang Kepala Desa, lelaki tua yang wajahnya penuh kerut bagai peta kehidupan, tiba-tiba bercerita tentang sesuatu yang asing.

"Shanmu, anakku," suaranya parau, berbisik bagai takut didengar angin. "Di luar sana, jauh melampaui gunung-gunung ini, ada sebuah dunia yang lain. Dunia di mana manusia bisa mengendalikan angin dan hujan, memanjangkan usia hingga ratusan bahkan ribuan tahun."

Shanmu mengerutkan kening, tangannya yang biasanya memegang pacul atau batu kini mengepal tanpa sadar.

"Di dunia itu," lanjut sang tua, matanya berkaca-kaca memandang ke arah puncak gunung, "ada mereka yang disebut Kultivator. Mereka bukanlah manusia biasa. Dengan sekali kibasan lengan, sebuah pohon besar bisa tumbang bagai dilanda topan. Dengan sekali hentakan kaki, bumi bisa bergetar. Bahkan, katanya, ada yang bisa mengarungi langit biru, terbang bagai burung elang, melintasi awan dengan anggunnya."

Setiap kata yang meluncur dari mulut Kepala Desa bagai petir di siang bolong menyambar relung jiwanya yang paling dalam. Jantung Shanmu berdebar kencang, darahnya berdesir penuh keheranan dan ketakjuban. Manusia yang bisa terbang? Menumbangkan pohon dengan sekali kibas? Itu adalah dongeng yang terlalu ajaib untuk dipercaya, namun terasa begitu nyata diucapkan oleh sang Kepala Desa yang bijak.

Dan kemudian, seperti kilatan cahaya di kegelapan, sebuah pemikiran liar menyusup ke benaknya. Orang tuanya. Mereka yang menghilang begitu saja tanpa jejak, bagai menguap ditelan malam.

Mungkinkah…? Mungkinkah mereka adalah bagian dari dunia itu? Mungkinkah mereka adalah Kultivator yang pergi untuk mengejar sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh manusia biasa? Mungkinkah itu alasan mereka meninggalkannya? Karena dunia seorang Kultivator terlalu berbahaya bagi seorang anak kecil?

Pertanyaan-pertanyaan itu bagai belati, mengoyak-ngoyak hatinya. Antusiasme yang awalnya membara tiba-tiba disiram oleh air keraguan dan kepahitan lama. Sejak sore itu, Shanmu sering terduduk termenung di batu besar di depan gubuknya. Matanya yang tajam memandang langit, seolah-olah mencari jejak seseorang yang sedang melayang di atas awan. Perkataan Kepala Desa terus bergema di kepalanya, membangunkan sebuah kerinduan sekaligus ambisi baru.

Waktu berlalu...

Pagi ini, kabut masih menyelimuti lembah ketika Shanmu membuka matanya. Udara dingin menusuk tulang, tapi tidak semengerikan beban di hatinya. Ada pesanan batu gunung dari keluarga Old Zhang di ujung desa, untuk dijadikan meja di halaman mereka. Seharusnya batu itu sudah diantar dua hari lalu, tetapi kegelapan pikiran Shanmu membuatnya menunda. Hari ini, dengan tekad mengusik kesedihannya, ia akhirnya bergerak.

Kakinya yang telanjang melangkah mantap menyusuri jalan setapak yang licin oleh embun pagi. Pepohonan tinggi di sisi jalan seakan membungkuk menghormati keteguhan hatinya. Setibanya di sebuah tebing kecil di kaki gunung, matanya menatap sebongkah batu besar yang setinggi dadanya, terkubur setengah di dalam tanah. Batu itu berwarna abu-abu gelap, permukaannya kasar dan tidak beraturan, dipenuhi lumut dan jalur akar-akar kecil.

Shanmu tidak ragu. Ia membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkeram erat kedua sisi batu. Otot-otot di lengannya menegang, urat-urat di lehernya membesar. Dengan desisan napas, ia mengerahkan seluruh tenaga yang telah terakumulasi dari tahun-tahun kerja kerasnya. Batu itu bergerak, tanah di sekitarnya retak, dan dengan satu tarikan dahsyat, batu seberat ratusan kilo itu terlepas dari pelukan bumi.

Dengan gerakan terlatih, ia memutar badannya dan mendorong batu besar itu ke atas bahunya. Beban yang akan membuat kebanyakan pria desa terjepit itu kini bertengger di pundaknya bagai mainan. Napasnya sedikit tersengal, tetapi tubuhnya tetap tegak. Butiran keringat sudah membasahi pelipisnya, namun sorot matanya tajam, menatap jalan di depannya.

Satu langkah, dua langkah. Ia mulai menuruni gunung, setiap jejak kakinya meninggalkan lekukan dalam di tanah. Batu besar di pundaknya bagai mahkota penderitaan dan kekuatannya. Di balik beban fisik itu, pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan dirinya bukan memikul batu, tetapi mengendalikan pedang yang melayang di angkasa. Ia membayangkan dirinya bukan seorang pemuda desa miskin, tetapi seorang Kultivator perkasa yang bisa menerobos langit, mencari jawaban, dan mungkin… menemukan dua sosok yang telah merenggut kedamaian hidupnya.

Dan di kedalaman jiwanya, sebuah tekad mulai bersemi, sekeras batu gunung yang ia pikul. Suatu hari, ia akan meninggalkan desa sunyi ini. Ia akan memasuki dunia luas itu, dunia Kultivator, untuk menemukan kebenaran, dan mungkin, untuk menemui orang tuanya sekali lagi, untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang telah menghantuinya selama delapan tahun.

"Mengapa?"

Keesokan paginya, kabut putih masih menyelimuti lembah bagai selimut kesedihan yang tak mau pergi. Shanmu duduk di atas batu besar di depan gubuknya, tubuh perkasanya membungkuk bagai gunung yang runtuh. Matanya yang biasanya tajam bagai elang kini redup, menatap kosong ke arah puncak gunung yang tersembunyi di balik kabut. Pikiran tentang dunia Kultivator dan orang tuanya masih berputar-putar di kepalanya bagai roda pedati yang tak berhenti, menggilas setiap secercah kedamaian yang tersisa. Kerinduan dan kebencian itu telah menjadi beban yang lebih berat dari batu gunung mana pun.

Tiba-tiba, langkah kaki yang tenang mendekat. Kepala Desa, dengan wajahnya yang berkerut penuh kebijaksanaan, datang dan duduk di sampingnya. Aroma tanah dan usia tua menyertai kehadirannya.

"Anakku," suara tua itu pecah, lembut namun berwibawa, "matahari terus terbit, sungai terus mengalir. Dunia tidak berhenti hanya karena satu pikiran yang mengganggu." Tangannya yang berurat dan kasar menepuk punggung Shanmu dengan gerakan yang menghibur Shanmu.

"Terkadang, jawaban tidak datang dengan dipaksa. Terkadang, kita hanya perlu hidup dengan tenang, dan biarkan takdir berbicara pada waktunya."

Kata-kata itu, sederhana namun penuh makna, bagai embun penyejuk di tanah gersang. Shanmu mengangkat kepalanya. Ia melihat ke dalam mata tua itu, mata yang telah menyaksikan begitu banyak kehidupan dan kematian, mata yang tidak pernah menghakiminya. Perlahan, seperti es yang mencair di bawah sinar matahari pagi, sudut bibir Shanmu berkerut, membentuk senyuman tipis. Itu adalah senyuman pertama dalam beberapa hari terakhir, ringan, namun tulus. Beban di hatinya tidak serta merta hilang, tetapi setidaknya, ia tidak lagi merasa sendirian memikulnya.

Melihat perubahan pada diri Shanmu, Kepala Desa pun tersenyum. "Baiklah, sekarang saatnya untuk bekerja. Pak Tua Uwe memesan dua puluh ekor kelinci. Katanya untuk pesta besar keluarganya. Dia menjanjikan bayaran yang mahal, cukup untukmu hidup selama sebulan tanpa perlu memikirkan batu atau pacul."

Mendengar itu, semangat Shanmu langsung berkobar. Pekerjaan berburu kelinci, meski membutuhkan ketangkasan, jauh lebih ringan daripada memanggul batu. Dan bayaran yang ditawarkan memang menggiurkan. Dengan cepat ia mengangguk, "Baik, Kepala Desa! Aku akan segera berangkat."

Dengan hati yang lebih ringan, Shanmu menyiapkan tombak kayu runcing dan beberapa tali, lalu memasuki hutan belantara di balik bukit. Sinar matahari pagi menembus kanopi daun, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari-nari di tanah basah. Shanmu bergerak dengan lincah, bagai harimau muda yang mengintai mangsanya. Setiap langkahnya ringan dan hati-hati, matanya yang tajam mengamati setiap gerakan di balik semak belukar.

Satu per satu, kelinci-kelinci itu berhasil ia dapatkan. Dengan keahliannya, ia melempar tombak kayu dengan akurat, atau menjerat mereka dengan tali yang ia pasang di jalur lintasan mereka. Pada tengah hari, ia telah berhasil menangkap sepuluh ekor. Ia memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon oak besar. Duduk bersandar pada batang pohon, ia mengunyah roti jagung keras dan sepotong daging asap bekalnya, menikmati kedamaian hutan yang sesungguhnya. Kicau burung dan desir angin seakan membisikkan lagu penghibur bagi jiwanya yang terluka.

Setelah perut kenyang dan tenaga pulih, ia kembali melanjutkan perburuan. Sore hari mulai menyingsing ketika kelinci kedua puluh, seekor kelinci besar berbulu kecoklatan, akhirnya terjerat talinya. Senyum kepuasan menghias wajah Shanmu. Ia mengikat semua hasil buruannya dengan rapi pada sebuah tongkat panjang yang ia pikul di bahu. Dengan langkah gembira, meski lelah, ia berbalik arah, menuju desa yang kini terasa lebih hangat di pikirannya.

Namun, saat ia mendekati pinggiran Dusun Sunyi, sebuah keanehan mulai merayap di hatinya. Biasanya, pada sore seperti ini, asap membumbung dari cerobong setiap rumah, dan suara anak-anak bermain serta para ibu memanggil anaknya untuk makan akan memenuhi udara. Hari ini, sunyi. Sunyi yang tidak wajar, sunyi yang mencekam.

Langkahnya semakin pelan, jantungnya mulai berdebar tidak karuan. Dan kemudian, pandangannya mencapai pemandangan di depan desa.

Dunia Shanmu runtuh dalam sekejap.

Dusun Sunyi, desa yang tadi pagi masih ia tinggalkan dalam damai, kini telah berubah menjadi neraka di bumi. Pagar bambu berantakan, rumah-rumah kayu dan bambu hangus atau hancur berantakan. Asap hitam masih membumbung dari puing-puing, menebarkan bau hangus yang menusuk hidung. Tapi yang paling mengerikan adalah pemandangan di antara puing-puing itu.

Mayat. Mayat bergelimpangan di mana-mana.

Tubuh-tubuh tak bernyawa itu berserakan. Beberapa memiliki luka sayatan yang dalam dan bersih, bagai ditebas oleh pedang yang sangat tajam. Yang lain memiliki luka-luka tumpul yang menghancurkan tulang dan daging, seakan-akan dihantam oleh kekuatan dahsyat yang tak terbayangkan. Ada pula yang tubuhnya hangus terbakar, atau terpotong-potong dengan cara yang tidak alami. Darah telah merembes ke tanah, mengering menjadi warna coklat gelap yang mencolok, menodai kedamaian desa yang dulu.

Shanmu berdiri membeku, bagai patung batu. Napasnya tertahan, darahnya seakan membeku di pembuluhnya. Matanya, dengan pandangan kosong dan tidak percaya, menyapu setiap sudut pemandangan mengerikan itu. Ia melihat Old Zhang, yang pesanan batunya belum sempat ia antar, terbaring dengan dada terkoyak. Ia melihat ibu-ibu yang biasa memberinya makanan, anak-anak yang biasa berlarian di jalan, semuanya tak bernyawa.

Lalu, pandangannya tertuju ke sebuah titik tak jauh dari depan rumah Kepala Desa.

Di sana, tergeletak tubuh lelaki tua yang tadi pagi masih menenangkannya dengan kata-kata bijak. Kepala Desa. Orang yang telah menjadi sandaran hidupnya, figur yang paling mendekati seorang ayah baginya.

Tubuhnya tergeletak di atas tanah, tetapi kepalanya... terpisah. Kepalanya yang berambut putih itu terlempar beberapa langkah jauhnya, wajahnya yang bijak masih membeku dalam ekspresi ketakutan dan keterkejutan yang terakhir. Mata tuanya yang penuh kebijaksanaan itu kini terbuka lebar, kosong, menatap langit sore yang mulai memudar tanpa jawaban.

"Tidak..."

Desisan itu keluar dari bibir Shanmu, lemah, bagai angin yang sekarat. Kakinya lunglai, dan ia jatuh berlutut di tanah. Rasa sakit yang begitu dalam, lebih tajam dari pedang mana pun, lebih menghancurkan dari pukulan godam apa pun, merobek jiwanya. Tangisnya tersedak-sedak, namun air mata tidak kunjung keluar, terperangkap oleh betapa tidak nyatanya semua ini.

Dua puluh ekor kelinci yang terikat erat di pundaknya tiba-tiba terasa begitu tidak berarti, begitu hina. Kegembiraannya tadi, harapannya untuk bayaran yang mahal, semuanya berubah menjadi lelucon yang kejam dan pahit. Ia telah pergi berburu dengan senyuman, sementara desanya, orang-orang yang ia cintai, dihancurkan hingga rata dengan tanah.

Malam turun dengan cepat, menyelimuti desa yang telah menjadi kuburan massal. Shanmu masih terduduk di sana, dikelilingi oleh kematian dan kehancuran. Hatinya yang dulu dipenuhi kerinduan dan kebencian pada orang tuanya, kini hancur berkeping-keping, digantikan oleh rasa sakit yang tak terperi dan sebuah kehampaan yang luas.

Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, mengungkap kembali pemandangan mengerikan itu dalam cahaya yang kejam, Shanmu akhirnya bergerak. Dengan tubuh yang terasa seperti bukan miliknya sendiri, ia mulai bekerja. Ia menggali. Dengan paculnya, dengan tangannya, ia menggali kuburan massal di tepi desa. Satu per satu, dengan penuh penghormatan dan hati yang hancur, ia memindahkan mayat-mayat itu, termasuk tubuh tanpa kepala Kepala Desa yang ia satukan kembali dengan penuh kesungguhan.

Setiap mayat yang ia angkat adalah sebuah kenangan. Setiap kuburan yang ia tutup adalah sebuah potongan jiwanya yang ikut terkubur. Pekerjaan itu memakan waktu sepanjang hari, hingga matahari kembali condong ke barat. Ketika tanah terakhir diratakan, dan sebuah batu nisan besar dari batu gunung yang ia pahat kasar dengan tangannya sendiri didirikan, Shanmu berdiri sendirian di depan kuburan massal itu.

Dia adalah satu-satunya yang selamat. Satu-satunya saksi dari pembantaian tak berperikemanusiaan ini. Semua yang ia kenal, semua yang ia miliki, telah hilang.

1
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
HUOKIO
Pulang dulu antarkan anak ny. Malah gosip
HUOKIO
Lanjutkan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!