NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Panggilan Tugas Terakhir

1 bulan berlalu.... Pada akhir minggu itu, saat adzan Maghrib mulai berkumandang, memecah keheningan sore di rumah besar itu, Maya tersentak dari lamunannya. Dia teringat kembali pada janji yang diucapkannya dalam hati kepada Tuhan, nazar yang ia buat sendiri. Janji itu adalah simpul yang mengikat keraguan dan realita. Keluarga itu telah menawarkan solusi untuk kedua masalah terbesarnya: utang dan bimbingan agama, bahkan tanpa diminta.

Dengan hati yang masih berdebar kencang, namun dengan tekad yang kini membatu, Maya mengambil ponselnya. Dia mencari nama Hana di kontaknya.

Maya menekan tombol panggil. Telepon diangkat setelah dua kali nada sambung.

Hana: "Assalamualaikum, Maya. Tumben nelpon Maghrib-maghrib. Ada apa?" Suara Hana terdengar ceria.

Maya: "Waalaikumsalam, Kak Hana." Suara Maya bergetar sedikit, menahan emosi yang meluap di dadanya.

Hana: "Kamu baik-baik aja, May? Kok suaranya beda?"

Maya menarik napas dalam, memejamkan mata erat-erat, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.

Maya: "Kak, aku... aku sudah pikirkan tawarannya matang-matang selama sebulan ini."

Terdengar keheningan singkat dari ujung telepon sana. Hana tahu persis tawaran apa yang dimaksud Maya.

Hana: "Iya, May. Lalu...?"

Maya: "Aku terima, Kak."

Hanya dua kata, tapi mengandung konsekuensi yang luar biasa. Di kamarnya yang sunyi itu, Maya bisa mendengar suara napas lega Hana.

Hana: "Alhamdulillah! MasyaaAllah, Maya. Saya turut senang mendengarnya. Ini keputusan besar, saya yakin kamu sudah salat istikharah dan mantap."

Maya: "InsyaaAllah, Kak. Aku mantap. Karena semua yang mereka tawarkan itu persis seperti doa yang selama ini aku panjatkan."

Hana: "Baik, baik. Kalau begitu, saya akan segera sampaikan kabar baik ini ke Wawa."

Maya: "Iya, Kak. Tolong sampaikan terima kasihku juga untuk niat baik mereka."

Panggilan telepon berakhir. Maya menurunkan ponsel dari telinganya. Tangannya masih sedikit gemetar. Dia menatap langit-langit kamarnya. Maya telah mengambil langkah pertama menuju takdir yang tak pernah ia bayangkan. Dia akan menjadi Perempuan Kedua.

Di luar, adzan Isya telah selesai berkumandang, digantikan oleh keheningan malam yang hanya diisi oleh suara jangkrik dan lalu lintas yang samar. Babak baru dalam hidup Maya telah resmi dimulai. Kini tugasnya adalah menutup babak lama dengan baik.

Maya mengatur meja makan untuk Kak Laila dan kedua anaknya. Aroma gulai ikan yang dimasaknya memenuhi ruang makan minimalis itu. Kak Laila, yang baru saja pulang dari kantor Telkom dan masih mengenakan seragam kerjanya, duduk dengan senyum lelah. Anak-anaknya sudah lebih dulu duduk dengan antusias.

Setelah memastikan semua hidangan tersaji dan anak-anak mulai makan dengan tenang, Maya berdiri di sisi meja, mengumpulkan keberanian.

"Kak Laila," panggil Maya lembut.

"Ya, May?" Kak Laila mendongak di sela suapan pertamanya.

Maya menarik napas dalam, memantapkan hatinya. "Sebelumnya aku minta maaf, karena sepertinya aku nggak bisa lagi kerja di sini."

Ucapan Maya sukses membuat Kak Laila terkejut, menghentikan gerakan sendoknya. Di mata Kak Laila, Maya adalah pekerja yang baik, rajin, dan jujur. Dia juga nyaman menitipkan ketiga anaknya pada Maya saat dirinya ke kantor.

"Tapi Kakak nggak perlu khawatir, sebelum keluar aku pasti akan melunasi semua sisa hutangku," lanjut Maya cepat, menghindari tatapan terkejut bosnya. "Dan untuk biaya kepulanganku juga Kakak nggak perlu menanggungnya."

Kak Laila meletakkan sendoknya. "Loh, kenapa mau berhenti, Kak? Apa Kak Maya nggak betah lagi kerja di sini? Apa anak-anak nakal sama Kak Maya?" tanyanya beruntun, penuh kekhawatiran.

"Bukan, bukan, bukan itu, Kak, alasannya," Maya menghentikan ucapannya sejenak, mencari kata yang tepat. "Aku... aku mau nikah, Kak."

Maya kemudian menceritakan soal tawaran menjadi istri kedua secara singkat, se ringkas mungkin tanpa menyentuh aspek yang terlalu pribadi. Kak Laila hanya mengangguk-angguk saat mendengarnya, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi penuh pertimbangan.

"Kakak yakin?" tanya Kak Laila setelah Maya selesai bicara. "Rumah tangga yang nggak berpoligami aja banyak lika-likunya, Kak, apalagi berpoligami. Tapi kalau Kakak sudah mengambil keputusan, nggak apa-apa, aku nggak punya hak untuk terus menahan Kak Maya di sini, meskipun kami menyukai Kak Maya dan merasa nyaman dengan Kak Maya."

Kak Laila tersenyum tulus, ada nada sedih di suaranya. "Semoga Kak Maya bisa bersabar nanti menghadapi setiap ujian pernikahan, ya."

Dia mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan. "Padahal akhir tahun kami mau liburan ke Hongkong, aku mau ajak Kak Maya juga, tapi Kak Maya udah mau berhenti," godanya.

Maya hanya tersenyum tipis menanggapi godaan Kak Laila.

"Oh iya," tambah Kak Laila tiba-tiba,

"Guru ngaji Kakak yang di sini, Abdullah, kalau nggak salah ya namanya, dia suka kan sama Kak Maya? Meskipun terkesan hanya bercanda waktu bilang pengen punya istri yang shalihah seperti Kak Maya, tapi menurut aku itu ungkapan hati dia loh, Kak. Kenapa nggak pilih dia aja? Dia masih single lho, ganteng juga kok, serasi banget Abdullah spek ustadz sama mualaf."

Maya terdiam, tidak bisa menjawab. Rasanya terlalu panjang jika harus menceritakan atau menjelaskan kepada Kak Laila kenapa dirinya memilih jalan menikah menjadi "Perempuan Kedua" yang rumit itu, alih-alih memilih Abdullah yang masih lajang dan sederhana.

Keheningan melingkupi meja makan itu sejenak, hanya diisi oleh suara dentingan sendok anak-anak. Maya menunduk, keputusannya sudah bulat, dan dia siap menghadapi konsekuensinya.

Setelah selesai merapikan meja makan, Maya melangkah lesu ke kamarnya di belakang rumah untuk beristirahat. Pintu kamarnya tertutup rapat, meredam sisa hiruk pikuk dari rumah besar itu. Maya duduk di tepian kasur, keheningan malam terasa memekakkan telinga.

Pikirannya kembali berputar pada ucapan Kak Laila soal Abdullah. Ya, Abdullah adalah guru mengaji Maya selama ia bekerja di sana. Kak Laila, yang sangat baik hati dan tidak pernah menganggap rendah Maya, memberikan waktu khusus agar Maya bisa belajar mengaji di masjid raya depan rumahnya. Karena hubungan baik mereka, Maya pun selalu terbuka soal gurauan Abdullah yang ingin menikahinya.

Hati Maya kembali ragu. Perkataan Kak Laila ada benarnya. Abdullah adalah pria lajang, baik, dan paham agama. Secara logika, dia adalah pilihan yang jauh lebih mudah, lebih aman, dan lebih konvensional daripada memasuki rumah tangga yang sudah berjalan sebagai "Perempuan Kedua".

Namun, masalahnya adalah janji Maya dengan Tuhan.

Keraguan itu seperti bisikan lembut yang bertentangan dengan gema nazarnya yang sudah bulat. Di satu sisi, ada jalan yang lurus dan terang bersama Abdullah. Di sisi lain, ada jalan berliku penuh risiko, namun terasa seperti jalan takdir yang sudah dijanjikan oleh Yang Maha Kuasa melalui terkabulnya doa-doa spesifiknya.

Maya merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang redup. Pertarungan batinnya belum sepenuhnya usai, namun keputusan telah dibuat. Dia memejamkan mata, memohon kekuatan untuk tetap teguh pada jalan yang dipilihnya, jalan yang akan membawanya menjauh dari kehidupan lamanya di rumah ini.

Dia yakin ini adalah takdir terbaik yang Allah gariskan untuknya, sebuah jawaban doa yang sempurna. Namun, dalam keheningan yang tersisa, Maya sama sekali tidak menyadari bahwa "niat murni" yang membuatnya terharu itu hanyalah awal dari drama rumah tangga yang sesungguhnya, sebuah kenyataan yang jauh lebih pahit daripada sekadar dilema memilih antara dua pria.

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!