NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 Proses Menuju Kenyataan

Pagi itu, suasana di rumah Kak Laila masih sepi. Setelah selesai menunaikan ibadah subuh dan merapikan kamar, Maya duduk sebentar di tepian kasur, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi gejolak dari keputusan semalam.

Tiba-tiba, keheningan pecah oleh suara dering ponselnya yang nyaring. Maya terlonjak kaget. Ia meraih ponselnya dan mengerutkan dahi saat melihat nomor baru muncul di layar. Meskipun ragu, ia tetap mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum," sapa Maya hati-hati.

"Waalaikumsalam, Maya. Ini Kak Wawa," jawab suara ramah di seberang sana.

"Maafkan saya menelpon sepagi ini. Saya khawatir nanti mengganggu jam kerja kamu."

"Oh, iya, Kak Wawa. Nggak papa, masih ada waktu sebelum saya mulai bekerja," balas Maya.

Wawa tidak membuang waktu. "Begini, Maya. Semalam kami sudah bicarakan keputusan kamu dengan umma Fatimah. Kalau memang kamu sudah siap, itu artinya kamu dan calon suami kamu sudah bisa saling bertukar biodata."

Proses itu terasa sangat formal. Maya hanya mendengarkan.

"Setelah saling melihat biodata, Kalo pihak suami tetap mau melanjutkan prosesnya, barulah kalian bertukar foto," jelas Wawa.

"Karena jarak tempat tinggal calon suami kamu sangatlah jauh, semua proses itu nantinya akan melalui saya, yang kemudian saya teruskan ke Umma Fatimah, lalu ke suaminya."

Maya menelan ludah. "Apa yang harus saya tulis, Kak?"

"Tulis saja data dasar: usia, nama lengkap, tinggi badan, dan berat badan," instruksi Wawa.

"Apa harus menuliskan juga riwayat penyakit saya, Kak?" tanya Maya, teringat operasi yang baru saja dijalaninya.

"Boleh saja, agar lebih transparan dari awal," kata Wawa. "Nanti kirimkan lewat pesan singkat saja ke saya, biar saya yang teruskan ke Umma Fatimah. Semoga lancar ya prosesnya, Maya."

Setelah itu, keduanya mengakhiri obrolan mereka.

Maya duduk termangu di tepian kasur. Hatinya berdebar-debar hebat. Bukan karena jatuh cinta, bukan pula karena bayangan romansa.

Debaran itu muncul karena campuran rasa takut dan antisipasi. Rasa takut karena proses abstrak ini mendadak menjadi nyata dan formal. Rasa takut akan penghakiman—bagaimana jika orang-orang di sekitarnya, masyarakat luas, atau bahkan keluarganya sendiri, menghakiminya karena pilihan kontroversial ini? Akankah statusnya sebagai "Perempuan Kedua" membuatnya dicap negatif, dianggap melanggar norma sosial yang umum dianut banyak orang?

Antisipasi itu muncul karena finalitas keputusan. Ini adalah jalan yang dipilihnya berdasarkan janji (nazar) kepada Tuhan. Tidak ada jalan mundur lagi. Debaran itu adalah suara kegelisahan tentang lompatan besar yang akan dia ambil ke dalam ketidaktahuan, ke dalam kehidupan sebagai "Perempuan Kedua" yang penuh risiko dan tantangan yang belum terbayang.

Maya meraih ponselnya sekali lagi, membuka aplikasi pesan singkat. Jemarinya ragu di atas layar sentuh. Wawa memintanya mengirimkan data ini, sebuah langkah kecil yang terasa seperti lompatan raksasa menuju pernikahan yang tak terbayangkan.

Dia mulai mengetik, setiap angka dan huruf membawa beban tersendiri.

Nama Lengkap: Maya 

Usia: 25 Tahun

Usia yang masih muda untuk menghadapi kerumitan sebesar ini, pikirnya.

Tinggi Badan: 150 cm

Berat Badan: 40 kg

Angka-angka fisik yang terasa hampa, tidak menggambarkan sedikit pun perjuangan di hatinya.

Kemudian, tiba giliran bagian yang paling sulit. Bagian yang membuatnya menunda pengiriman pesan itu selama beberapa menit, menatap layar dengan nanar. Wawa bilang boleh saja menuliskannya, demi transparansi.

Dengan napas tertahan, Maya mengetik kalimat yang singkat, namun penuh makna:

Riwayat penyakit: Pernah menjalani operasi pengangkatan tumor di payudara.

Jemarinya gemetar saat membaca ulang kalimat itu. Detail intim tentang tubuhnya, tentang kerapuhannya, kini akan dikirimkan kepada orang asing yang mungkin akan menjadi suaminya. Pintu keraguan kembali terbuka sedikit, menyisakan pertanyaan: akankah kejujuran ini membuatnya ditolak?

Namun, dia teringat lagi nazarnya. Janjinya pada Tuhan menuntut kejujuran penuh. Dia harus transparan, risiko ditolak adalah bagian dari ujian itu.

Dengan tekad yang membatu, Maya menekan tombol kirim. Pesan itu melayang di udara digital, membawa serta harapan, ketakutan, dan takdir yang kini berada di tangan orang lain.

Proses telah dimulai. Tidak ada jalan kembali.

Setelah mengirimkan pesan singkat tersebut, Maya menarik napasnya dalam-dalam, menghembuskan kecemasan yang sempat mencengkeram dadanya. Jemarinya yang tadi gemetar kini terkepal sebentar, seolah mengumpulkan kembali fokusnya.

Tidak ada waktu untuk melamun atau memikirkan kemungkinan penolakan. Tugasnya sebagai pekerja di rumah Kak Laila—masih harus ditunaikan.

Maya melangkah keluar dari kamar kecilnya dan memasuki dapur besar yang sunyi. Seketika, ia tenggelam dalam kesibukan. Suara panci beradu, air mulai mendidih, dan aroma bawang putih yang ditumis memenuhi ruangan. Ia memotong sayuran dengan gerakan cepat dan terampil, menyiapkan sarapan pagi untuk Kak Laila sekeluarga.

Dalam kesibukan itu, pikiran Maya teralih sepenuhnya dari ponselnya. Fokusnya kini hanya pada pekerjaan di hadapannya, berusaha memberikan yang terbaik selama ia masih berada di rumah yang penuh kebaikan ini. Pagi itu, Maya bekerja dengan ketenangan seorang profesional, tidak lagi memikirkan apapun soal takdirnya yang baru saja dikirim via pesan singkat, setidaknya untuk saat ini.

...----------------...

Waktu berlalu cepat. Matahari sudah mulai meninggi saat Maya menyelesaikan tugas terakhirnya: mencuci piring sarapan. Dia mengeringkan tangannya dan akhirnya melirik ponselnya yang tergeletak di meja konter dapur.

Ada sebuah notifikasi pesan baru dari nomor Wawa tadi pagi.

Jantung Maya kembali berdebar, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Dia membuka pesan itu dengan tangan sedikit gemetar.

[Dari Kak Wawa]:

Assalamualaikum Maya, Alhamdulillah datamu sudah diterima dengan baik. Ummu Fatimah dan suaminya sudah melihatnya dan sepakat untuk melanjutkan prosesnya.

Sekarang, ini biodata lengkap dari calon suami:

Nama Lengkap: Riski

Usia: 37 Tahun

Tinggi Badan: 168 cm

Berat Badan: 83 kg

Jumlah Anak: 3

Nanti saya akan kirimkan foto terbarunya di pesan selanjutnya, setelah kami menerima fotomu. Proses selanjutnya menunggu dari pihak sana setelah melihat fotomu. Doakan lancar ya.

Maya membaca pesan itu berulang kali. Mereka sepakat melanjutkan prosesnya. Tidak ada penolakan karena riwayat operasinya. Rasa haru dan lega bercampur aduk.

Maya menatap nama dan angka di layar ponselnya, membaca pesan dari Wawa berulang kali. Riski, 37 tahun, 168 cm, 83 kg, dengan tiga anak. Angka-angka itu mulai membentuk sosok abstrak di benaknya.

Namun, satu angka menohok hatinya: 37 tahun.

Usia itu persis sama dengan usia Madhan, mantan kekasihnya, pria yang menjadi alasan awalnya ia menjadi mualaf. Pria yang meninggalkannya karena perjodohan.

Hatinya terasa nyeri, sebuah sengatan tajam dari luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan tentang Madhan, tentang harapan yang pernah mereka bangun di awal perjalanan spiritualnya, kembali terkuak. Ironis sekali, takdir seolah mempermainkannya dengan menghadirkan sosok lain dengan usia yang sama, dalam skenario pernikahan yang jauh lebih rumit.

Maya menghela napas, berusaha mengusir bayangan Madhan. Masa lalu adalah masa lalu. Keputusan telah dibuat.

Pesan dari Wawa selanjutnya meminta foto terbaru. Maya membuka galeri ponselnya. Matanya tertuju pada sebuah foto lama, diambil beberapa bulan lalu, sebelum ia memutuskan berhijab penuh. Di foto itu, rambut panjang Maya yang indah terlihat tergerai bebas, dengan senyum manis yang tulus di wajahnya.

Foto itu adalah representasi dirinya yang dulu, yang bebas, yang penuh harapan.

Dengan hati-hati, Maya memilih foto itu. Ada sedikit keraguan lagi—apakah dia harus mengirim foto berhijab atau tidak? Tapi dia memilih transparansi. Dia ingin dilihat apa adanya, baik rupa maupun masa lalunya (yang diisyaratkan melalui rambut panjangnya).

Jemarinya menekan tombol kirim.

Foto dirinya yang tanpa hijab, menunjukkan rambut panjangnya dan wajah manisnya, meluncur ke dalam keheningan digital, menuju penilaian seorang pria asing yang akan menjadi suaminya.

Tidak ada jalan kembali lagi. Maya hanya bisa menunggu. Dia tidak tahu bahwa keputusan transparannya itu, memperlihatkan rambut panjangnya yang indah dan wajah manisnya yang tanpa hijab, akan menjadi pemicu sebuah konflik tak terucap di kemudian hari—sebuah detail kecil yang akan kembali menghantuinya saat dia menjadi "Perempuan Kedua" di rumah tangganya yang baru.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!