NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiga Bulan Setelah Akad

Tiga bulan setelah akad itu, hidup Alya berjalan seperti aliran sungai yang tenang di permukaan, tapi deras di bagian dasar. Tidak ada gelombang besar, tidak ada teriakan, tidak ada drama. Namun ada sesuatu yang terus bergerak tanpa suara. Sesuatu yang membuatnya sering terjaga di tengah malam, bertanya pada dirinya sendiri: Apa aku benar-benar cocok hidup di sini? Apa aku sudah menjadi istri yang baik? Apa aku sudah mengenal Ardi, suamiku sendiri?

Bandung memasuki musim penghujan. Setiap pagi udara terasa dingin, kabut tipis menyelimuti halaman rumah kontrakan kecil mereka di daerah Arcamanik. Suara hujan yang menetes dari ujung genting sering menjadi satu-satunya musik yang menemani Alya saat ia menyeduh kopi dan menyiapkan sarapan.

Ardi kini pulang lebih awal daripada bulan pertama pernikahan. Entah karena pekerjaannya sudah mulai stabil, atau memang ia sedang berusaha lebih dekat dengan Alya. Keduanya tidak pernah membahas hal itu, tetapi Alya menyadari sesuatu: Ardi makin sering memperhatikan hal-hal kecil. Cara ia mencatat menu kesukaan Alya. Cara ia menanyakan kabar ibu mertuanya. Dan cara ia diam-diam menghangatkan air jika Alya lupa menyalakan pemanas mandi.

Kelembutan itu perlahan membentuk pola baru, pola yang tidak mereka rancang tetapi hadir dengan sendirinya.

Namun, kebahagiaan itu datang berdampingan dengan bayangan gelap dari rumah masa kecil Alya.

---

Hari itu, Alya baru saja selesai membereskan dapur ketika ponselnya bergetar. Nama ibu, Bu Murni, muncul di layar. Alya langsung merasakan sesuatu menghentak di dada.

“Ibu?” sapanya.

Di seberang sana, suara ibu terdengar lelah. “Alya… Ibu boleh ngomong sebentar?”

Alya menelan ludah. “Ibu di mana?”

“Di rumah. Sendiri.”

Alya langsung tahu nada itu. Nada kosong yang sama seperti hari Bu Murni mengumumkan perceraiannya dengan Pak Rahman. Nada yang mengisyaratkan bahwa ada luka baru yang belum sempat mengering.

“Alya… ayahmu… dia datang ke rumah.”

Dunia Alya seolah berhenti berputar. “Ayah ke rumah? Untuk apa?”

“Dia minta bicara.”

Alya memegang pinggir meja agar tidak goyah. “Ibu baik-baik saja?”

Keheningan panjang menjawab.

“Dia datang bukan untuk minta maaf, Nak,” suara Bu Murni pecah, “…tapi untuk mengabarkan bahwa dia akan menikah lagi.”

Alya memejamkan mata. Hatinya seperti ditarik ke bawah, berat, pahit, dan hancur sekaligus.

“Tolong jangan bilang ini bercanda, Bu…”

“Ibu berharap begitu,” suara Bu Murni gemetar. “Tapi kenyataannya… Ayahmu sudah tunangan dengan perempuan itu.”

Alya menggigit bibirnya sampai terasa asin.

Ayahnya yang menghabiskan 30 tahun bersama ibunya. Ayahnya yang selalu tampak setia. Ayahnya yang dulu tertawa paling keras saat keluarganya bercanda.

Alya tidak tahu mana yang lebih menyakitkan: fakta bahwa ayahnya pergi, atau fakta bahwa ia kini memilih seseorang yang bukan ibunya.

“Bu…” suara Alya bergetar, “…Ibu butuh Alya datang?”

“Tidak perlu. Ibu cuma… harus bilang itu ke kamu dulu. Yang lainnya nanti nyusul.”

Alya mengusap matanya. “Bu jangan sendiri. Alya datang sore ini.”

“Tidak usah. Kamu sudah punya hidup sendiri. Jangan khawatirkan Ibu terus.”

Tapi bagaimana mungkin Alya tidak khawatir?

“Ibu istirahat dulu, ya? Alya telepon lagi nanti.”

Setelah menutup telepon, Alya berdiri lama di dapur, mencoba memahami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika mana pun. Pernikahan orang tuanya seakan semakin jauh dari kata “damai”, dan Alya merasa terjebak antara menerima kenyataan atau menolak kenyataan itu sekuat tenaga.

---

Saat Ardi pulang sore itu, ia menemukan Alya duduk di sofa, menatap lantai. Tidak menangis, tidak marah—justru lebih menakutkan: hening.

Ardi melepaskan sepatu dan mendekat. “Kamu kenapa?”

Alya butuh beberapa detik untuk mengendalikan suara. “Ayah… datang ke rumah.”

Ardi langsung tahu apa yang dimaksud. “Ke rumah Ibu?”

Alya mengangguk. Ardi duduk di sebelahnya. Tidak menyentuh, hanya dekat.

“Dia bilang… dia mau nikah lagi,” ucap Alya lirih.

Ardi tidak terkejut. Mungkin ia sudah menduga dari cerita-cerita sebelumnya. Tapi ia tidak memotong. Ia menunggu.

“Aku kira… dia cuma butuh waktu. Mungkin masalah Ibu dan Ayah bisa pelan-pelan membaik.”

Ardi menghela napas pelan. “Alya… kadang orang dewasa itu merusak dirinya sendiri tanpa sadar. Dan kita yang jadi anak cuma bisa melihat sambil berharap semuanya berubah.”

Alya menunduk, menatap tangannya sendiri. “Aku benci karena aku merasa marah… tapi di saat yang sama aku merasa… kecewa banget.”

“Itu wajar,” ucap Ardi. “Kamu kehilangan gambaran keluarga yang kamu bangun sejak kecil. Wajar kalau hancur rasanya.”

Alya menutup wajah dengan kedua tangannya. “Aku capek, Di…”

Ardi akhirnya menyentuh punggung Alya. Pelan. Seperlunya. Hangat.

“Kamu nggak sendiri,” katanya.

Kali ini, Alya tidak menarik diri. Ia membiarkan dirinya tersandar ke Ardi, meski hanya sebentar. Meski hanya untuk memastikan bahwa di tengah semua retakan itu, ada satu hal yang tidak runtuh: seseorang yang mencoba menjadi tempat singgahnya.

---

Malamnya, ketika Alya sudah lebih tenang, Ardi membuatkan teh hangat. Tidak istimewa, hanya teh celup biasa, tapi aromanya menenangkan.

“Kalau kamu mau ke rumah Ibu besok, aku bisa antar,” ujar Ardi sambil menaruh gelas di meja.

Alya menggeleng. “Nggak usah. Ibu pasti nyuruh aku balik lagi nanti. Dia nggak mau nyusahin.”

Ardi duduk di kursi berseberangan. “Alya… kamu bukan nyusahin. Kamu anaknya.”

Alya nyaris tersenyum. “Kamu ngomongnya gampang.”

Ardi tertawa kecil. “Emang. Tapi aku serius.”

Mereka menatap satu sama lain beberapa detik. Hening, tapi tidak lagi dipenuhi jarak.

“Ardi…” Alya memanggil, suaranya lebih lembut. “…makasih.”

Ardi mengangkat alis. “Untuk apa?”

“Untuk ada.”

Ardi menahan napas sesaat, lalu mengangguk. “Aku akan ada terus. Meskipun kamu belum sepenuhnya nerima kehadiran aku di hidup kamu.”

Alya menunduk malu. “Bukan gitu…”

“Nggak apa-apa. Kita nikah karena dijodohkan. Kita butuh waktu.”

Alya mengangguk pelan.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Alya merasa pernikahannya bukan hanya tempat ia berteduh dari badai keluarganya.

Pernikahan itu mulai terlihat sebagai sesuatu yang mungkin bisa tumbuh.

Tidak sempurna. Tidak tiba-tiba indah. Tapi tumbuh

Perlahan.

Seperti dua orang asing yang mulai belajar berjalan ke arah yang sama.

---

Alya menatap ke luar jendela sebelum tidur. Hujan masih turun, menari di atas jalanan. Di kejauhan, lampu-lampu kota menyala seperti titik-titik harapan kecil.

“Tiga bulan setelah akad…” gumam Alya dalam hati.

“Dunia mungkin sedang berantakan. Tapi mungkin… hidupku pelan-pelan menemukan jalannya sendiri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Alya tidur tanpa terbangun tiba-tiba.

Karena meski rumah masa kecilnya retak, rumah yang sedang ia bangun bersama Ardi mulai menunjukkan fondasi yang lebih kuat dari sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!