Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lanxi Melatih Shanmu!
Sore itu, langit di atas hutan berubah menjadi kanvas jingga keemasan, menandakan akhir hari. Di antara pepohonan dengan bayangan yang memanjang, terpapar sebuah pemandangan yang kontras namun harmonis.
Shanmu berdiri menghadap sebuah batu seukuran gubuk kecil. Batu itu, dengan tinggi hampir lima kali tubuhnya dan lebar yang menghalangi cahaya matahari sore, seharusnya mustahil digerakkan manusia biasa. Namun, kedua tangan Shanmu yang besar dan berotot telah mencengkeram sisi-sisinya, jari-jarinya bagai cakar baja menancap ke permukaan kasar.
Dengan napas teratur dan stabil, tanpa raungan atau desahan yang menunjukkan pengerahan tenaga ekstrem, Shanmu mulai mengangkat. Otot-otot di lengan, bahu, dan punggungnya menegang membentuk relief jelas di bawah kain tipis bajunya. Tidak ada keringat deras, hanya kelembapan samar di pelipisnya yang membuktikan usaha itu. Bagi Shanmu, usaha ini terasa ringan, nyaris seperti mengangkat keranjang kayu berisi buah.
Batu raksasa itu perlahan tapi pasti terlepas dari pelukan bumi. Tanah bergetar lemah, mengeluarkan gemuruh rendah. Debu dan serpihan batu beterbangan. Shanmu mengangkatnya setinggi dada, lalu dengan penyesuaian kuda-kuda, mendorongnya hingga seimbang di atas bahu kanannya yang lebar. Ia berdiri tegak di bawah bayangan batu itu, bagai titan yang baru bangun dari tidur. Wajahnya tak menunjukkan ketegangan, hanya konsentrasi mendalam dan kegembiraan bersih. Matanya yang jernih berbinar, sesekali melirik ke arah sosok di bawah pohon besar di pinggir lapangan.
Di sana, Lanxi duduk bersandar pada batang pohon raksasa yang akarnya menjalar seperti ular batu. Gaun birunya yang biasanya anggun kini sedikit tersibak, terlihat santai namun tetap memancarkan aura halus seorang kultivator. Senyum lembut, yang mencairkan sisa keheranan dan keterpukauannya, masih menghiasi bibirnya yang merah muda. Namun di balik senyum itu, di kedalaman matanya yang bagai danau musim semi, pikirannya berputar cepat.
"Shanmu, kau membuatku tak bisa berkata apa-apa," ucap Lanxi, suaranya lembut tertiup angin sore namun penuh makna.
Shanmu tersenyum lebar. "Aku hanya berlatih, Lanxi. Seperti yang kau katakan, aku harus mengenali kekuatanku."
Kalimat polos itu seperti tusukan halus di hati Lanxi. Hanya berlatih. Sebuah latihan yang akan membuat kultivator tingkat Besi bahkan beberapa tingkat Perak terengah-engah, mungkin patah tulang jika memaksakan diri. Dan di sini, seorang pemuda tanpa seberkas Qi, dengan tubuh yang hanya ditempa kerasnya kehidupan, melakukannya dengan santai, hampir tanpa beban.
Pikiran Lanxi berputar cepat, menganalisis, meramalkan, dan khawatir.
Kegembiraannya melihat Shanmu akhirnya menyadari potensinya yang luar biasa adalah nyata. Sebuah bakat fisik murni seperti ini, yang melampaui batas normal manusia dan menyentuh wilayah yang biasanya hanya bisa dicapai dengan bantuan Qi tingkat tinggi, adalah hal yang sangat langka. Mungkin dalam jutaan tahun hanya muncul satu atau dua orang seperti Shanmu. Dan itu didapat bukan dari warisan darah klan besar atau pil langka, melainkan dari tempaan hidup kejam dan sedikit keberuntungan alamiah yang misterius. Ini adalah permata kasar yang tak ternilai.
Tapi sayangnya, dunia ini bukan tempat ramah bagi permata kasar. Terutama permata yang tak sesuai dengan kotak yang sudah ditentukan.
Jika Shanmu hanya dibiarkan seperti ini, pikir Lanxi sambil matanya mengikuti gerakan Shanmu yang perlahan berjalan berputar dengan batu raksasa di pundaknya, itu akan menjadi pemborosan tragis. Bakat sebesar ini harus diasah, dilatih, diarahkan. Tubuhnya adalah senjata paling alami, tetapi tanpa teknik dan disiplin, ia hanya akan menjadi banteng kuat yang mudah dijerat.
Namun, jalan untuk melatihnya penuh duri.
Membawanya ke Sekte Langit Biru secara resmi? Itu mustahil. Alasan formalnya jelas. Shanmu tidak memiliki akar spiritual, tidak bisa menyerap Qi. Bagaimana mungkin seorang tukang sapu, orang biasa, diizinkan berlatih di area pelatihan murid? Ia akan menjadi bahan cemoohan, olok-olok, dan lebih buruk lagi, kecurigaan. Leng Zuan dan anak buahnya pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk menghina Shanmu lebih dalam, atau bahkan melukainya dengan dalih latihan.
Dan jika ia, Lanxi, bersikeras dan mencoba menjelaskan kebenaran di balik Shanmu? Bahwa pemuda ini, tanpa Qi, memiliki kekuatan fisik yang mungkin setara atau melebihi Pejuang Perak? Mereka akan menganggapnya gila. Atau yang lebih berbahaya, mereka akan menjadi penasaran. Rasa ingin tahu seorang kultivator terhadap sesuatu yang melampaui pemahaman biasa sering berubah menjadi keinginan untuk memilikinya, atau menelitinya.
Itulah bencana sesungguhnya. Jika rahasia tubuh Shanmu terbongkar dan menarik perhatian, ia tidak akan lagi menjadi Shanmu si tukang sapu yang polos. Ia akan menjadi subjek penelitian, buruan para kultivator tua yang haus rahasia umur panjang atau kekuatan instan, atau bahkan target para alkemis yang ingin mengekstrak esensi dari tubuhnya untuk dibuat pil. Klan-klan besar akan ingin merekrutnya sebagai senjata manusia, atau justru memusnahkannya sebagai ancaman potensial. Dalam dunia kultivasi yang kejam, keunikan tanpa perlindungan adalah kutukan.
Sekarang Lanxi mengevaluasi. Jika Shanmu bertarung sungguhan dengan seorang Pejuang Perak sepertinya, meski kekuatannya mengerikan, itu akan sia-sia belaka. Pejuang Perak bukan hanya soal kekuatan dan kecepatan. Itu tentang pengendalian Qi, teknik bertarung rumit, senjata bertenaga Qi, dan persepsi yang sudah melampaui manusia biasa. Shanmu mungkin bisa melempar batu sebesar rumah, tapi bagaimana jika lawannya terbang tinggi dan menyerang dari jarak jauh dengan energi? Bagaimana jika lawannya menggunakan teknik ilusi atau mengunci ruang geraknya dengan tekanan domain awal? Shanmu, dengan semua kekuatan fisiknya, masih seperti bayi yang menggenggam pedang besar. Ia bisa menghancurkan, tetapi juga mudah dilukai.
Lanxi menghela napas panjang, suaranya hampir tak terdengar. Angin sore membelai rambutnya yang hitam. Keputusannya telah bulat. Ia tidak bisa membiarkannya. Ia harus melakukan sesuatu. Dan satu-satunya jalan aman, untuk saat ini, adalah melatih Shanmu sendiri, secara diam-diam.
Alasannya sederhana dan kompleks sekaligus. Ia mengagumi Shanmu. Bukan lagi sekadar rasa penasaran atau belas kasihan. Ia mengagumi ketekunan polosnya, kesederhanaan hatinya yang tetap bersih meski dunia memperlakukannya dengan kejam, dan sekarang, potensi luar biasa yang bersembunyi di balik semua itu. Ia mengaguminya lebih dari apapun yang ia temui di sekte, di antara para murid yang sibuk berpolitik dan saling sikut untuk sumber daya. Di mata Lanxi, cahaya yang dipancarkan Shanmu lebih murni, lebih berharga.
"Shanmu," panggil Lanxi, suaranya lebih tegas sekarang. "Turunkan batunya. Ada sesuatu yang ingin kuajarkan padamu, sebelum hari benar-benar gelap."
Shanmu, yang tampak asyik dengan bebannya, segera mematuhi. Dengan hati-hati ia menurunkan batu raksasa itu, menempatkannya kembali ke lubang asalnya dengan gemuruh halus.
"Apa itu, Lanxi? Teknik baru?" tanyanya dengan semangat, matanya berbinar.
"Ya. Teknik untuk bergerak." Lanxi berdiri, menyapu debu halus dari gaunnya. "Kau memiliki kekuatan dan kecepatan luar biasa. Tapi itu tidak terkontrol, tidak terarah. Seperti air bah yang menghancurkan segala sesuatu di jalannya. Aku akan mengajarkanmu cara menyalurkan air bah itu menjadi aliran yang kuat dan terfokus."
Ia mulai menjelaskan Langkah Angin Puyuh. Teknik ini bukan gerakan dasar yang diajarkan pada murid baru. Ini adalah sesuatu yang istimewa, hadiah dari gurunya yang diperoleh dari menjelajahi reruntuhan kuno di dekat Kota Mata Angin. Berbeda dengan Langkah Angin biasa yang mengandalkan penyaluran Qi ke titik-titik tertentu di kaki untuk meningkatkan kecepatan dan membuat langkah ringan, Langkah Angin Puyuh memiliki prinsip lebih dalam. Ia meniru pusaran angin, di mana gerakan tidak hanya lurus, tetapi berputar, tak terduga, dan menggunakan momentum lawan atau lingkungan untuk menciptakan ledakan kecepatan serta perubahan arah tiba-tiba. Ia membutuhkan pemahaman intuitif tentang aliran energi, bahkan energi alam sekitarnya.
Lanxi mendemonstrasikannya. Dengan mengedarkan Qi biru pucat di sekeliling kakinya, tubuhnya tiba-tiba bergerak. Ia tidak hanya melesat lurus. Ia berputar, membentuk lingkaran sempurna di udara, lalu tiba-tiba berbelok sembilan puluh derajat tanpa mengurangi kecepatan, meninggalkan jejak bayangan tipis seperti kabut. Lalu, dengan menapakkan kaki pada sebuah batu kecil, tubuhnya seperti dipantulkan, melesat ke arah berlawanan dengan kecepatan yang justru bertambah. Gerakannya benar-benar seperti puyuh angin, tak terduga dan memusingkan.
"Teknik ini mengandalkan harmonisasi dengan 'angin' di sekitarnya, baik angin fisik, aliran Qi, bahkan momentum gerakanmu sendiri," jelas Lanxi setelah berhenti, napasnya sedikit lebih cepat. "Prinsipnya adalah, jadikan setiap langkah sebagai awal dan akhir, putar momentummu, dan gunakan kekuatan dari luar untuk memperkuat kecepatanmu, bukan melawannya."
Shanmu memperhatikan dengan seksama, wajahnya berkerut dalam konsentrasi mendalam. Namun masalah segera muncul. Penjelasan Lanxi sarat dengan konsep kultivasi, harmonisasi dengan Qi sekitar, menyalurkan energi melalui meridian kaki. Hal-hal yang tidak dimiliki Shanmu.
Tapi Shanmu tidak menyerah. Otaknya yang polos, terbiasa memecahkan masalah kelangsungan hidup dengan logika sederhana, mulai bekerja. Ia tidak memikirkan Qi atau meridian. Ia memikirkan gerakan itu sendiri.
"Jadi," ucap Shanmu perlahan, matanya menyipit. "Ini seperti saat aku berburu kelinci di hutan. Jika aku mengejarnya lurus, ia akan berbelok tajam dan aku kehilangan dia. Tapi jika aku memperkirakan arah belokannya, dan mendorong kakiku ke pohon atau batu di samping, aku bisa berbelok lebih cepat bahkan memotong jalurnya."
Ia menatap Lanxi. "Atau seperti air di sungai deras. Jika ada batu besar, air tidak berhenti. Ia berputar mengelilinginya, dan justru jadi lebih deras di sisinya. 'Angin' yang Lanxi maksud, apakah seperti arus sungai itu? Aku tidak bisa merasakan Qi, tapi aku bisa merasakan angin di kulitku, tahu di mana tanah keras atau lunak, dan memperkirakan bagaimana tubuhku akan meluncur jika aku menendang sesuatu dengan cara tertentu."
Lanxi terdiam, lalu senyum kagum dan takjub kembali merekah di wajahnya. Adaptasi. Logika murni. Shanmu sedang menerjemahkan konsep kultivasi tingkat tinggi ke dalam bahasa tubuh dan pengalaman hidupnya sendiri. Itu brilian.
"Ya! Persis seperti itu, Shanmu!" sahut Lanxi, antusias. "Lupakan Qi. Rasakan anginnya. Kenali medannya. Dan gunakan setiap kontak dengan tanah, pohon, atau apapun, bukan untuk berhenti, tapi untuk memantul, berputar, dan melesat lagi dengan arah baru. Cobalah. Mulai dengan lari biasa, lalu coba belok tajam dengan menendang pohon di sampingmu."
Shanmu mengangguk, wajahnya serius. Ia memilih dua pohon berjarak sekitar dua puluh meter. Ia berlari. Kecepatannya luar biasa, menghembuskan angin yang menerpa wajah Lanxi. Saat mendekati pohon pertama, alih-alih memperlambat, ia justru meningkatkan kecepatan, lalu pada detik terakhir, kakinya yang kuat menendang batang pohon itu dengan sudut tertentu.
Brak!
Suara keras terdengar. Kulit pohon itu pecah, meninggalkan jejak telapak kaki. Dan Shanmu, bukannya berbelok kikuk, tubuhnya berputar di udara seperti gasing raksasa, memanfaatkan gaya tolak dari tendangan itu, dan melesat menyamping dengan kecepatan hampir sama dengan lari awalnya, menuju pohon kedua. Ekspresinya terkejut, lalu senang. Ia mencoba lagi, dan lagi. Setiap kali, gerakannya menjadi sedikit lebih halus, sedikit lebih efisien. Ia tidak menciptakan bayangan atau aura biru. Tetapi prinsip dasar Langkah Angin Puyuh, yaitu penggunaan momentum dan gaya tolak untuk manuver tak terduga, mulai meresap ke dalam gerakannya yang bertenaga murni.
Waktu terus bergulir. Matahari hampir sepenuhnya bersembunyi di balik puncak gunung, menyisakan cahaya senja keunguan.
Sebelum mereka benar-benar harus kembali, Lanxi beralih ke pelajaran berikutnya. "Sekarang, bertarung. Kekuatan besar tidak ada artinya jika tidak bisa diarahkan tepat ke lawan." Ia mengambil posisi dasar seni bela diri sektenya, tangan terbuka namun berisi tenaga. "Aku akan mengajarkanmu beberapa jurus tangan kosong dasar. Perhatikan alur gerakannya, titik tumpunya, dan bagaimana mengalirkan tenaga dari tanah, melalui kaki, pinggang, hingga ke kepalan atau telapak tangan."
Proses ini pun sangat detail. Lanxi memecah setiap jurus menjadi komponen terkecil, bagaimana menempatkan kaki, memutar pinggang, mengatur napas, meski bagi Shanmu, napas hanya soal mengatur stamina, dan titik kontak ideal. Ia mengajarkan bukan hanya menyerang, tetapi juga menangkis, mengalihkan, dan menggunakan tenaga lawan.
Shanmu, dengan pakaian hijaunya yang kini sedikit basah oleh keringat sejati dari konsentrasi dan upaya memahami, menirukan setiap gerakan dengan tekun. Tubuhnya yang perkasa awalnya kaku, seperti patung batu yang mencoba menari. Tapi perlahan, seiring penjelasan Lanxi dan latihan berulang, gerakannya mulai memiliki aliran. Saat ia memukul, bukan hanya otot lengan yang bekerja, tapi seluruh tubuhnya, dari telapak kaki yang mencengkeram tanah hingga dorongan dari pinggang, bergerak harmonis, mengonsentrasikan semua kekuatan monster itu ke satu titik.
Thump!
Sebuah pukulan percobaannya ke batang pohon yang sudah mati tidak hanya membuat pohon itu bergetar. Getarannya merambat ke akar, membuat tanah di sekitarnya berdebar. Dan di titik tumbukan, kulit dan kayu pohon itu hancur menjadi serpihan, meninggalkan cekungan sedalam beberapa inci.
Lanxi mengamati, memperbaiki, dan memujinya. Dalam senja yang semakin pekat, di tengah hutan yang sepi, seorang kultivator muda berbakat dengan gaun biru sedang melatih seorang pemuda berbaju hijau dengan kekuatan purba yang baru saja terbangun. Sebuah ikatan baru terbentuk, bukan hanya persahabatan, tetapi juga ikatan antara guru dan murid, antara penjaga dan rahasia, antara cahaya bulan dan kekuatan bumi yang diam-diam mengguncang dunia.
Ketika bintang pertama muncul di langit timur, mereka akhirnya berhenti. Shanmu berdiri lebih tegak dari sebelumnya, bukan hanya secara fisik, tetapi secara mental. Ada keyakinan baru di matanya, sebuah pemahaman bahwa jalan di kakinya, meski berbeda, adalah nyata dan bisa ia tapaki.
"Terima kasih, Lanxi," ucap Shanmu, suaranya hangat dan tulus di kegelapan yang mulai menyelimuti hutan. "Hari ini, hari ini adalah hari terbaik sejak aku meninggalkan Dusun Sunyi."
Lanxi tersenyum. Dalam kegelapan, senyumnya masih bisa terasa. "Kita akan berlatih lagi, Shanmu. Tapi ingat, ini rahasia kita. Jangan tunjukkan pada siapa pun, bahkan pada Tuan Gong atau Tuan Yao."
Shanmu mengangguk sungguh-sungguh. "Aku janji."
Mereka berjalan kembali menuju Kota Lama, meninggalkan hutan dan batu-batu raksasa yang menjadi saksi bisu kelahiran sebuah kekuatan baru. Sementara di kejauhan, di gerbang kota, rumor tentang "serangan siluman gunung" dan "batu jatuh dari langit" masih panas diperbincangkan, tanpa pernah tahu bahwa sumber kegemparan itu adalah seorang pemuda berbaju hijau dengan senyum polos dan kekuatan yang mulai belajar menari.