Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Bima Atmaja, sebagai Direktur Operasional PT Bumi Atmaja Nickel, memimpin tim bersama Karmel. Sebagai adik Tomi, Bima bertanggung jawab atas operasional tambang dan penerapan teknologi terbaru. Meski lebih muda, latar belakang teknik metalurginya membuatnya memahami aspek teknis produksi nikel secara mendalam.
Ballroom Grand Hyatt Jakarta dipenuhi para eksekutif tambang terkemuka. Renzi dari JMG Group sudah duduk di baris depan dengan postur percaya diri, matanya yang tajam mengamati setiap pergerakan.
Karmel, dalam gaun bisnis navy blue yang elegan, memilih presentasi terakhir setelah mempelajari jadwal. "Ini strategi terbaik," bisiknya pada Bima. "Biarkan JMG presentasi dulu, kita bisa antisipasi."
Saat giliran JMG Group, Renzi maju dengan langkah mantap. Presentasinya tentang inovasi teknologi tambang ramah lingkungan memukau audiens. Data yang disajikan detail, didukung grafik interaktif dan analisis pasar yang tajam.
"Kami tidak hanya mengekspor nikel mentah," ujar Renzi dengan suara berwibawa, "tapi mengembangkan industri baterai lithium dengan efisiensi energi 40% lebih tinggi dari standar industri."
Saat giliran Karmel, dia menyajikan data dengan percaya diri. "Kami fokus pada pengolahan nikel laterit berkadar rendah yang selama ini diabaikan," paparnya, menunjukkan grafik produksi yang terus meningkat. "Dengan teknologi hidrometalurgi kami, bisa mencapai recovery rate 95%."
Tiba-tiba Renzi berdiri dari tempat duduknya. "Mohon maaf, saya ingin bertanya." Suaranya tenang tapi mematikan. "Data recovery rate 95% itu berdasarkan apa? Seperti kita tahu, nikel laterit berkadar rendah punya impurities tinggi yang mustahil bisa diraih angka segitu."
Karmel tak goyah. "Kami menggunakan teknologi High Pressure Acid Leach yang dimodifikasi. Semua data sudah diverifikasi independen."
Renzi tersenyum tipis. "Tapi dalam laporan lingkungan triwulan lalu, perusahaan Anda tercatat masih membuang tailing dengan kadar asam di atas ambang batas. Bagaimana menjelaskan ini?"
Ruangan mendadak hening. Karmel menatap Renzi dengan mata berapi-api. "Data itu sudah tidak relevan. Kami sudah memperbarui sistem pengolahan limbah sejak bulan lalu."
"Ah, jadi perusahaan Anda mengakui pernah melanggar standar lingkungan?" Renzi memutar kata-katanya dengan licik.
"Ini bukan pengakuan, tapi transparansi!" balas Karmel tegas. "Justru JMG yang harus bertanggung jawab atas kebocoran limbah di perairan Maluku bulan lalu!"
Pertukaran argumen mereka berlanjut seperti permainan catur tingkat tinggi. Setiap data yang dilontarkan Karmel langsung dibalas Renzi dengan analisis lebih mendalam. Setiap klaim Renzi langsung dikonter Karmel dengan fakta terbaru.
Meski Karmel menunjukkan kecerdasan luar biasa, Renzi terbukti lebih unggul dalam hal strategi dan kedalaman analisis. Di akhir debat, meski tidak ada yang benar-benar kalah, semua yang hadir bisa melihat dengan jelas - Karmel memang cerdas, tapi Renzi adalah jenius sejati.
Saat acara usai, Renzi mendekati Karmel dan berbisik, "Kamu memang luar biasa, tapi ingat, aku selalu lebih dulu tahu kelemahan kamu sebelum kamu sendiri sadar."
***
Karmel menutup pintu ruang kerjanya dengan agak keras, lalu bersandar di balik pintu sambil menutup mata. Napasnya masih tersengal-sengal, campuran antara amarah dan frustrasi. Dia berjalan pelan menuju kursi kerjanya yang menghadap jendela besar, dari sana Jakarta tampak begitu megah, tapi hari ini pemandangan itu tak mampu menenangkannya.
Lagi-lagi... selalu begitu, batinnya kesal. Tangannya mengepal di atas meja kayu mahoni yang berkilau. Ingatannya melayang pada masa lalu, saat dia masih bekerja untuk Renzi. Dulu, setiap kata yang keluar dari mulut Renzi, setiap analisis bisnis yang tajam, setiap strategi jeniusnya, membuat Karmel memandangnya dengan kekaguman yang mendalam. Kecerdasan Renzi adalah magnet terkuat yang membuatnya jatuh cinta.
Tapi sekarang, kecerdasan yang sama itu berbalik menghancurkannya. Dalam setiap pertemuan, setiap debat, Renzi selalu selangkah lebih depan. Seolah-olah dia bisa membaca setiap pikirannya, mengantisipasi setiap argumennya. Karmel merasa seperti bidak catur yang terus-terusan dikepung, tak bisa bergerak, tak bisa bernapas.
Dingin... licik... dan terlalu pintar untuk ditaklukkan, gumamnya dalam hati, mata yang biasanya penuh keyakinan kini lesu.
Ketukan di pintu menyadarkannya. Bima masuk dengan wajah berseri, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.
"Kamu hebat, Mel. Kamu bisa mendebat Pak Renzi yang terkenal perfectionis itu," puji Bima, tak menyembunyikan kekagumannya. Sebagai adik Tomi, Bima adalah Direktur Operasional yang biasanya sangat kritis, tapi hari ini dia benar-benar terpesona.
Karmel mencoba tersenyum, tapi rasanya pahit. "Aku bukan lawannya, Mas," ujarnya, suaranya lemah dan sedikit getir. Dia menunduk, memperhatikan tangannya sendiri yang masih gemetar.
Bima menggeleng, tak percaya dengan kerendahan hati Karmel. "Nggak. Aku belum pernah liat ada orang lain yang berani mengonter Pak Renzi seperti kamu tadi." Kata-katanya polos, tanpa tahu bahwa Karmel dan Renzi pernah memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dari sekadar rival bisnis.
"Beruntung banget Mas Tomi bisa ajak kamu join ke kantor kita," lanjut Bima mencoba menyemangati. "Kamu benar-benar aset berharga."
"Makasih, Mas," balas Karmel dengan senyum malu yang dipaksakan.
Tapi begitu Bima keluar dari ruangannya, senyum itu segera menghilang. Wajah Karmel kembali keruh, dipenuhi oleh kekesalan yang dalam terhadap Renzi. Di balik semua ketegaran dan kecerdasannya, masih ada luka lama yang belum sembuh, dan hari ini Renzi kembali membuka luka itu dengan kejam.
***
Cahaya pagi menyinari ruangan kerja mewah Renzi melalui dinding kaca setinggi langit-langit. Fano berdiri tegak di depan meja kerja yang luas, memegang setumpuk berkas yang diminta atasannya. Suasana ruangan hening, hanya diselingi suara lembut AC sentral.
"Laporan yang Bapak minta sudah siap," ujar Fano dengan suara hati-hati, meletakkan berkas-berkas itu di atas meja.
Renzi yang sedang memandangi kota dari ketinggian, perlahan memutar kursi kulitnya. Matanya yang tajam langsung tertuju pada berkas-berkas tersebut. Dengan gerakan tenang, ia mulai membuka satu per satu.
"Silakan lanjutkan," ucap Renzi singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen.
Fano mengambil napas dalam. "Alamat rumah Mbak Karmel yang sekarang berada di kawasan Permata Hijau. Rumah tersebut dibeli secara tunai enam bulan lalu." Suaranya berhati-hati, mencoba bersikap profesional meski tahu sensitivitas informasi ini.
Renzi mengangguk pelan, jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni.
"Untuk posisi dan gaji," Fano melanjutkan, "Mbak Karmel sekarang menjabat sebagai Manager Pengembangan Bisnis dengan gaji dua kali lipat dari yang dia terima di sini." Ia berhenti sejenak, melihat reaksi Renzi yang tetap tak berubah.
"Kondisi kesehatan Ibu Nani..." Fano sedikit ragu, "beberapa kali menurun dalam tiga bulan terakhir. Ada catatan kunjungan rutin ke dokter jantung."
Lalu, dengan suara yang semakin rendah, Fano menambahkan, "Oh iya, Pak. Saya juga mendapat info bahwa seluruh barang pemberian Bapak pada Mbak Karmel telah dijualnya untuk membeli rumah yang ditempatinya sekarang bersama Ibu Nani."
Renzi akhirnya mengangkat pandangannya, senyum tipis yang sinis muncul di bibirnya. "Lanjutkan."
Fano menghela napas. "Tentang Bima Atmaja, usia 35 tahun, merupakan adik dari Tomi Atmaja. Dari pengamatan, dalam beberapa bulan ini dia memang sedang dekat dengan Mbak Karmel. Mereka sering terlihat bersama dalam acara-acara bisnis maupun... acara informal."
Renzi berdiri, berjalan pelan menuju jendela. Punggungnya yang tegap menghadap pada Fano. "Jadi, Karmel menjual semua pemberianku... Membeli rumah... Mendapatkan posisi mentereng..." Gumamnya terdengar dingin. "Dan sekarang ada pria baru dalam hidupnya."
Dia berbalik, matanya menyala dengan keyakinan baru. "Semakin banyak informasi, semakin mudah merancang strategi."
Fano hanya bisa diam, menyadari bahwa setiap informasi yang ia kumpulkan akan menjadi senjata bagi Renzi dalam permainan minda yang sedang ia jalani dengan Karmel. Dan dari senyum percaya diri yang kini menghias wajah Renzi, jelas sekali - pertarungan ini belum akan berakhir.