"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Kecelakaan di Dapur
Festa del Mare, atau Festival Laut, adalah tradisi suci bagi warga Mareluna. Setiap bulan purnama, para nelayan berkumpul untuk berterima kasih pada laut yang telah memberikan kehidupan, sekaligus memohon perlindungan untuk pelayaran yang akan datang.
Kapal putih besar milik Adrian Rinaldi, sang patriarki nelayan, menjadi pusat upacara. Lilin-lilin dinyalakan di tepian kapal, lalu armada kecil kapal-kapal lain mengikutinya, membentuk rangkaian cahaya yang menari di atas gelombang laut yang hitam dan sunyi.
Malam itu, Elio dan Serafina turut serta di kapal utama, undangan kehormatan atas nama Nonna Livia. Meski dihormati karena status Livia sebagai mantan cameriera keluarga terpandang, bisik-bisik tajam tetap berdesir di antara para nelayan dan istri mereka.
“Lihatlah gadis itu, cucu saudara Nonna Livia ... cantik, tapi ada aura kesedihan di matanya.”
“Sudah dengar, belum? Katanya, cameriera keluarga besar Romano itu tidak boleh menikah.”
“Iya, aku juga dengar. Nonna Livia kasihan sekali … dia sudah mengabdi di rumah itu sejak berusia delapan belas tahun. Sekarang usianya hampir tujuh puluh.”
“Dan tetap hidup sendirian. Para cameriera harus bersumpah setia sampai akhir. Tidak boleh menikah, tidak boleh punya anak. Hanya boleh mengabdi pada keluarga Romano.”
“Sedih sekali. Kemarin aku melihatnya sedang menata bunga di depan rumah. Sendirian. Tak ada seorang pun di sisinya.”
“Tapi tatapan Nonna Livia … entah mengapa tidak tampak putus asa. Mungkin memang rumah itu sudah menjadi seluruh hidupnya.”
“Iya … tapi hidup tanpa cinta? Bahkan laut pun tak bisa mengembalikan itu untuknya.”
“Nonna Livia, dia diasingkan dengan pesangon dan uang bulanan.”
Bisikan-bisikan itu membuat telinga Serafina memanas. Elio, yang selalu waspada, membungkuk dan berbisik, “Signorina baik-baik saja?”
Sebelum Serafina menjawab, suara sepatu mendekat di lantai kayu kapal. Rafael berdiri di sampingnya, menatap ke kejauhan dimana bulan purnama menggantung.
“Tidak mabuk?” tanyanya, tanpa menoleh.
Serafina menggeleng. Elio yang berdiri di sisi lainnya memasang wajah masam. Mereka berdiri berjejer dalam diam. Si Pirang Rafael dengan jaket pelaut sederhananya, si Cokelat Serafina yang masih terlihat seperti putri yang tersesat, dan si Hitam Elio dengan pakaian gelap dan sikapnya yang selalu siaga.
“Cuaca mulai dingin, Sera. Ayo ke dalam,” ucap Elio akhirnya, membetulkan jaket tebal Serafina dan menuntunnya pergi.
Serafina hanya bisa mengangguk.
Rafael menyaksikan mereka pergi. Dia mengambil sebatang rokok dari Marco dan mendekatkan wajahnya ke sebatang lilin di tepi kapal untuk menyalakannya. Asap rokoknya mengepul, menyatu dengan kabut laut malam.
Serafina, yang sempat menoleh, terpana sesaat oleh pesona Rafael di tengah cahaya lilin yang berkedip—garis rahangnya yang tegas, cara dia menghirup rokok dengan tenang—sebelum Elio menarik lengannya.
“Fokus jalannya, Sera. Jangan melamun.”
Namun peringatan itu terlambat. Serafina nyaris menabrak sebuah lilin besar. Dengan refleks cepat, Elio menangkap lilin itu, tetapi tetesan lilin panas membakar jarinya. Dia sama sekali tidak berubah ekspresi.
“Sudah kubilang. Ayo masuk,” desisnya, dingin.
Serafina menurut, mencibir dalam hati, “Elio benar-benar seperti kakak laki-laki yang posesif.”
“Tanganmu baik-baik saja?” tanya Serafina lihat lilin itu memadat di tangan Elio.
“Aku baik-baik saja.” Hati Elio berbunga akan kepedulian nona mudanya.
Di dalam kabin, suasana ramai oleh warga yang bercengkerama, bermain kartu, dan tertawa. Serafina yang lelah dan sedikit mual mencoba tidur di sofa, tetapi keriuhan membuatnya gelisah.
Elio duduk di sampingnya, bahunya menjadi sandaran yang kokoh. Perlahan, Serafina bersandar padanya. Merasa Serafina akan malu, Elio dengan cepat menyelimuti tubuh dan wajahnya dengan selimut tipis, menyembunyikannya dari pandangan orang lain. Akhirnya, Serafina tertidur.
Tak lama kemudian, Rafael masuk membawa sepiring nasi dan lauk untuk Elio. “Pesta makan sudah mulai. Kalian tidak keluar, jadi kubawakan,” ucapnya.
Elio menerimanya dengan anggukan singkat. Di dalam hatinya, dia membatin, “piring plastik? Nona Serafina tidak pantas makan dari sini.”
“Kau tidak mual?” tanya Rafael, mencoba bersikap ramah.
“Tidak,” jawab Elio dingin.
Rafael mengerti, lalu pergi. Dia kembali ke geladak, bergabung dengan Marco dan kawan-kawannya.
*Geladak : lantai atau permukaan bagian atas kapal tempat orang bisa berjalan
“Gadis Roma itu sangat cantik, ya?" celetuk salah seorang teman. “Raf, kau yang biasanya cepat tanggap, kok diam saja? Jangan sia-siakan kesempatan.”
Rafael hanya tersenyum tipis, meneguk wine-nya. “Aku sedang fokus berdoa agar kakakku segera dinikahi Marco. Aku tidak boleh menikah duluan, bukan?”
Sorak dan tawa teman-temannya meledak, membuat Marco tersipu malu. Mereka kemudian menikmati makan malam di tengah damainya laut yang diterangi bulan dan bintang.
...🌊🌊🌊...
Kapal akhirnya merapat. Semua orang turun dengan riang, kecuali Serafina yang muntah-muntah di tepi dermaga. Elio dengan sabar memijit tengkuknya.
“Aduh, aku malu sekali muntah di depan umum,” keluh Serafina lemah.
“Bukan itu yang perlu kau khawatirkan sekarang,” jawab Elio, lebih memikirkan kondisi kesehatannya.
Rafael mendekat dan menyampirkan selimut tambahan di bahu Sera. “Rumahku dekat. Mari bermalam di sana. Dia terlalu lemas untuk berjalan kaki.”
Elio ingin menolak, tapi Rafael bersikeras. “Sebagai kakaknya, kau harus mengizinkannya beristirahat di tempat terdekat.”
Akhirnya Elio setuju, mengirim pesan kepada Livia bahwa mereka akan menginap di rumah Keluarga De Luca.
Di rumah dua lantai keluarga De Luca, Rafael dengan murah hati menawarkan kamarnya untuk Elio. Mila tidur dengan Giada, sementara Serafina menggunakan kamar Mila. Rafael sendiri bersikeras tidur di sofa lantai satu, meski sempat berdebat singkat dengan Elio yang ingin menggantikannya.
“Tamu adalah raja,” kata Rafael dengan final, mengakhiri debat.
Kedamaian malam itu tiba-tiba pecah oleh suara tangis Mila yang tertahan dari lantai dua. Rafael bergegas naik dan menemukan adiknya itu menangis sambil memegangi lututnya.
“Ada apa, Mi?” Rafael berlutut di hadapannya.
“Kaka Giada ... menindih tanganku waktu tidur,” isak Mila, lalu memeluk leher Rafael erat-erat.
Rafael menghela napas. “Kaka Giada tidur memang seperti kerbau,” gumamnya, membuat Mila terkikik melalui ingusnya.
Mila lalu melirik kamarnya yang sekarang dipakai Serafina.
Rafael menenangkannya. “Besok kamar itu kembali jadi milikmu. Malam ini kau bisa tidur denganku di sofa.”
Baru saja Rafael menggendong Mila untuk turun, Serafina keluar dari kamar, wajahnya pucat.
“Aku ... lapar,” ucapnya lemah.
Rafael mengajaknya ke dapur. Dia membaringkan Mila di sofa dengan nyaman, menggeser meja, dan menyelimutinya hingga rapat.
“Kaka Rafa lembut sekali menyelimuti Mila,” gumam Mila mengantuk.
Rafael mencium keningnya. “Tidurlah.”
Di dapur, Rafael menghangatkan sisa pizza dan menyajikannya untuk Sera. Dia menuangkan air, lalu duduk di kursi seberangnya, menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan memejamkan mata, tangan terlipat di dada.
“Maaf merepotkan,” bisik Sera.
“Makan saja. Jangan banyak bicara,” jawab Rafael, mata masih terpejam.
Serafina menuruti. Setelah selesai, dia berdiri untuk mencuci tangan. Namun, kakinya yang masih lemah tersandung pada kaki kursi. Tubuhnya terjungkal ke depan, tepat ke arah Rafael yang sedang memejamkan mata.
BRUGH
Dunia seakan berhenti.
Satu... bibirnya yang lembut menyentuh bibir Rafael yang kenyal dalam kecelakaan yang tak terduga.
Dua… mereka berdua menelan ludah mereka sendiri, kaget.
Tiga… Serafina mendorong dirinya mundur, wajahnya merah padam, dan dia bergegas lari menuju lantai dua, pintu kamar ditutup dengan keras.
Rafael baru membuka matanya perlahan saat suara pintu tertutup terdengar. Dadanya berdebar kencang. Dia berdiri, berusaha membereskan keadaan dengan tenang.
Namun, kebingungannya terlihat jelas—gelas kotor justru dia buang ke tempat sampah, sementara bungkus pizza kosong dia letakkan di wastafel.
Pikirannya masih melayang pada sensasi hangat dan lembut yang baru saja menyentuh bibirnya, sebuah kecelakaan manis yang tak akan pernah bisa dia lupakan karena itu adalah ciuman pertamanya.
...🌊🌊🌊...
“Ini lip tint yang kita beli bersama di pasar malam minggu lalu. Membuatnya terasa lembab.”
Dia berbisik dengan suara deep-nya. “Boleh aku mencicipinya?”