Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Obrolan Malam
Dokter Sabil memeriksa buku catatanku. Tidak banyak yang aku tulis, hanya gejala ruam di punggung setelah obat berwarna merah yang diberikan hari itu. Aku tahu ia tidak percaya dengan buku catatan kejujuranku. Ia menutup buku itu dengan ragu, mengelus permukaannya perlahan seperti sedang menyentuh perasaanku yang tertutup kabut tebal.
Saat akan ia simpan kembali, ia melihat handphoneku ada di sana. Ia tersenyum tipis. Lalu mengambil handphone itu sambil melirik ke arahku.
"Bosan main medsos?" tanyanya sekaligus menuduh. Entah keceplosan atau kenapa. Pertanyaan kali ini tidak mencerminkan dia seorang psikiater.
"Aku nggak punya aplikasi medsos, dok."
"Oiya? Gen Z nggak punya medsos mustahil sekali."
Aku diam. Tersinggung dengan ucapannya. "Buka aja dok nggak pernah aku kunci."
Dokter Sabil beneran menggulir layar handphoneku, membuka satu persatu aplikasi yang hanya berjumlah lima belas aplikasi. Enam aplikasi novel online, dimana aku mengirimkan semua karyaku. Tidak ada fa*ebook, tidak ada igeh, tidak ada aplikasi hijau yang dipakai chat sejuta umat. Ia menghela napas, menyodorkan handphoneku padaku.
Aku menggeleng mantab. "Bawa saja dok, aku tidak ingin dokter berantem dengan dokter Wina hanya karena aku masih memegang handphone."
"Wina ngadu sama kamu?" tanyanya
"Saya dengar sendiri dokter menelponnya di lorong sana." aku menunjuk ke arah lorong yang mendekati pintu utama bangsal.
"Sejauh itu kamu bisa dengar percakapan kami?" tanyanya memastikan.
Sebenarnya Wina sudah memberitahukan 'keistimewaan' saudara sepupunya itu, kalau Hania bisa mendengar suara-suara yang tersembunyi dan jauh. Telinga dan mata batinnya sangat peka akan hal itu. Sabil mengangguk pelan.
"Nggak mau bikin novel lagi?" tanyanya.
"Pengen rehat, dok. Lelah juga."
"Apa nama pena kamu?"
"Dokter bisa buka melalui handphoneku, aku sendiri lupa apa aja nama penaku,"
"Itu melanggar privasi, aku tidak boleh melakukannya."
"Dokter ngga pulang? Ini sudah malam," usirku dengan halus. Tidak ingin berdebat panjang lebar tentang privasi.
Aku mulai mendengar jendela bergetar halus, aroma Prabu yang kurindukan sudah tercium mendekati kamarku, suara geraman dari harimau putih terdengar gelisah. Aku terus menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
Prabu Kamandaka sudah datang. Ia menatapku dengan tatapan teduh dan penuh cinta.
"Kamu risih ya ada aku di sini, malam-malam?" tanyanya, tatapannya penuh selidik.
"Iya dok, aku mulai ngantuk. Efek obatnya sudah mulai bekerja," dustaku
"Hania, apa alasanmu ingin menjadi novelis?" dia menarik napasnya. "Kamu seorang akuntan, pernah menjadi asisten CEO perusahaan, pebisnis kuliner lalu berakhir menjadi novelis. Aku ingin tahu alasanmu," ucapnya
'Gawat! ternyata ia sudah menggali informasi tentangku.'
"Pertanyaan ini seperti, kenapa dokter mengambil profesi psikiatri. Padahal dokter sudah mengambil spesialis bedah syaraf otak. Keduanya membutuhkan waktu yang lama untuk residensi. Dokter nggak lelah belajar terus?
"Pintar membalik pertanyaan, sepertinya kamu tertarik padaku dan ingin mengenal aku lebih jauh, Hania," ucapnya dengan nada menggoda.
Aku panik dengan serangannya, tatapan dokter Sabil begitu aneh dan dalam saat menatapku.
"B-bukan begitu dok... Aku heran aja ada orang yang menghabiskan waktunya untuk belajar," jawabku sedikit kesal dan tidak nyaman dengan sikapnya yang seperti 'main-main'.
Aku melupakan kehadiran Prabu Kamandaka.
"Kesepian. Aku kesepian, Hania. Kamu tahu ada rumah yang tidak bisa kita jadikan tempat untuk pulang?"
"Aku tahu dok, aku tahu seperti apa rasanya,"
"Kamu tahu?" tanyanya sambil memegang dagunya dan memicingkan matanya.
"Aku tahu yang dokter maksud bukan sebuah bangunan, tapi seseorang."
"Ya, rumah bukan sekadar bangunan yang terdiri dari dinding dan dinaungi atap. Tanpa kehangatan orang yang ada di dalamnya, rumah hanya bangunan kosong yang dingin. Aku seringkali tersesat. Kupikir dia rumah, tapi dia hutan belantara yang menyimpan semua bahaya."
"Bukankah takdir sebuah rahasia, dok?"
"Takdir? Bagaimana jika pernikahan itu sebuah tuntutan dan pemaksaan? Apa bisa disebut takdir?"
Aku menengok ke arah jendela, wajah Prabu Kamandaka dan dua pengawalnya yang berkaki empat, kian samar terlihat. Ia menjauh dan pergi tanpa pamit dengan cara berjalan mundur seperti terhisap oleh lorong waktu yang begitu besar. Hatiku berteriak memintanya jangan pergi, tunggu sebentar lagi.
Tapi lidahku kelu, tubuhku kaku dengan tatapan kosong menatap kepergiannya.
Dokter Sabil melambaikan tangannya di depan wajahku. Senyumannya menarik perhatianku, sesaat. Mataku berkedip, melihat Prabu sekali lagi. Yang kutemui hanya kegelapan malam yang menghiasi jendela kamarku.
Aku menunduk, meremas jemari tangan di atas pangkuanku. "Jika pernikahan bisa dipaksakan, aku tidak mungkin ada di sini, dok."
"Seharusnya kamu bersyukur Hania, pernikahan itu ibadah panjang dan lama, kamu akan menyesal mendapatkan orang yang salah seumur hidupmu. Kegagalan pernikahan adalah cara Tuhan melindungi kamu dari penyesalan panjang."
"Seperti yang dokter alami?" tanyaku, dia mengangguk lemah dan wajahnya berubah sendu. Pandangannya menurun menatap ponselku.
"Apa novel yang bisa kamu rekomendasikan padaku, aku butuh bacaan yang santai dan ringan." Sabil menyodorkan ponselku.
"Dokter nggak berminat download aplikasi novel online? Aku bisa merekomendasikan karya bagus di sana."
"Oke akan aku download aplikasi dimana karyamu berada," ucapnya lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya.
Ia terlalu pintar, tanpa kuberi tahu nama penaku di semua aplikasi, dia sudah mendapatkannya. Dia membuka poto profilku di platform berwarna orange dengan nama pena 'Permen Chacha'. Bibirnya tersenyum tipis.
"Ini poto kamu kapan? Lucu sekali," tanyanya.
"Itu akun lama dok, aku hanya posting dua judul novel anak-anak di sana." Wajahku memerah menahan malu, itu adalah novel pertamaku yang dibaca banyak orang.
Dia melihat jam di pergelangan tangannya. Lalu diam menunggu lama untuk berbicara lagi. "Sedikit lagi jam sembilan. Wina bilang, setiap jam sembilan malam kamu harus melihat CCTV rumah dan toko mu," ucapnya, ia menatapku datar sambil menimbang handphoneku di tangannya.
"Tidak perlu dok, rumah kosong kok. Aku hanya terbiasa memastikan burung-burungku masih berkicau setiap jam segitu atau tidak. Seringkali suara mereka lebih menenangkan daripada obat-obatan."
"Kamu pelihara burung?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, mulai malas menjawab keingintahuannya.
"Kita tunggu sampai jam sembilan ya, aku juga ingin dengar seperti apa suara mereka."
Aku mendengus pelan, tapi sepertinya ia mendengar helaan napas ku yang terasa berat. "Dokter nggak ingin pulang?" tanyaku lagi.
"Aku merasa... sudah pulang ke rumah," jawabnya santai sekali tanpa berpikir efeknya bagi orang yang mendengarnya.
"Jangan bercanda, dok." aku memalingkan wajahku yang salah tingkah.
Dia menyodorkan handphoneku saat tiba waktunya pukul sembilan tepat. Tangan kami bersentuhan, sebentar. Tapi cukup merasakan kehangatan mengalir dari sentuhan singkat tersebut. Aku menarik jariku dengan cepat, kulihat ia juga salah tingkah.
Kubuka aplikasi yang terhubung dengan CCTV rumah dan tokoku. Ku perbesar volume suaranya. Sepasang love birds mulai bersuara disertai ciuman mesra yang tiada hentinya, saling memberi tak ingin dikurangi.
Aku menyodorkan handphone jadul ku, agar dokter Sabil bisa melihat tingkah sepasang Lovebird spesial ku,
"Dokter mau lihat, mereka lucu sekali. Aku beri nama Cutie dan Patootie. Diantara enam burung Lovebird yang aku punya, Cutie dan Patootie tidak pernah berganti pasangan."
Dokter Sabil mencondongkan tubuhnya melihat layar handphone yang aku letakkan di atas pangkuanku.
"Lucu ya... sangat menghibur. Sampai jam berapa mereka seperti ini?" tanyanya antusias.
"Lama dok, dan mereka berkicau hanya setiap jam sembilan malam. Aku tidak tahu apa burung lain juga seperti burung-burung di rumahku," ucapku.
"Aku pernah punya burung Kasturi, dia selalu cerewet tidak ada rahasia yang aman kalau dia sudah mendengarnya." Dokter Sabil terkekeh geli.
"Sekarang masih ada burungnya dok?"
"Aku lepas, setelah dia tahu aku kesepian dia sering mengejekku dengan lagu Lebih baik sakit gigi dari Meggie Z hahaha... "
"Dokter suka lagu dangdut?" tanyaku ikut tertawa.
Ia mengangguk, "semua Genre aku suka, tapi lebih suka lagu dangdut. Kamu?"
"Rock n roll, A7X, Megadeth, Gun N' roses ... "
"Gun N' Roses, beberapa lagunya aku suka. Kapan-kapan kita dengarkan bareng lagu itu ya."
Aku mengangguk antusias. Dia menatapku lama, tatapan yang tidak aku mengerti hingga aku mengalihkan pandanganku pada tingkah Cutie dan Patootie di layar handphone.
"Hania, sudah malam. Kamu butuh istirahat, dan aku harus membuat laporan pasien. Senang bisa mengobrol denganmu, maaf kalau kehadiranku membuatmu risih di awal obrolan kita. Selamat istirahat, selamat malam... "
Dokter Sabil berdiri, namun sebelumnya ia meminta handphone milikku untuk ia sita. Tanpa paksaan aku berikan handphoneku demi kesembuhanku juga.
Mataku mengikuti arahnya berjalan mundur, seakan tidak ingin melepas pandangannya dariku, begitu juga aku. Hingga punggungnya menabrak pintu, dia terkekeh geli lalu melambaikan tangan dan tubuhnya memutar dengan kikuk.
Aku terus menatap kepergiannya hingga tubuhnya menghilang di balik pintu. Aku menghela napas, dadaku terasa ringan. Seakan beban berat yang ada di dada dan pikiranku terangkat begitu saja. Mungkin ini adalah cara terapi yang sedang dokter Sabil terapkan untukku. Aku merebahkan tubuhku dengan perlahan, hingga rasa kantuk perlahan membawaku ke alam lain bersama Prabu.
Prabu Kamandaka menemui ku di alam mimpi.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?