NovelToon NovelToon
Black Rose

Black Rose

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Hamil di luar nikah / Dark Romance / Cintapertama / Konflik etika
Popularitas:589
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.

Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.

Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.

Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Setelah kepergian Christopher dan pertemuan yang menekan di Sokcho, kehidupan Lee Yujin kembali ke rutinitas yang sunyi. Rumah mungilnya di distrik Seodaemun kini hanya dipenuhi suara jam dinding dan desau angin yang menelusup lewat celah jendela. Ia bekerja, makan, dan tidur dalam diam, tetapi diam itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.

Ketika malam turun, bayangan-bayangan di dinding terasa lebih panjang dari biasanya. Dan di sela kesunyian itu, Yujin mulai merasakan sesuatu, seperti ada yang mengawasinya.

Christopher biasanya menjadi benteng ketenangannya. Namun kini, tanpa pria itu, Yujin harus menghadapi sunyi yang terlalu pekat, dan seseorang yang diam-diam menembusnya, siapa lagi kalau bukan Lino Lee.

Malam itu, Yujin baru saja menyelesaikan revisi desain untuk klien baru Butik Vanté. Ia mematikan laptop, menumpuk lembar sketsa di meja, lalu menatap jam dinding, dan ternyata sudah pukul sebelas lewat lima.

Ia berdiri, menggeliat, lalu berjalan menuju kamar sambil menyalakan lampu tidur. Udara dingin merayap dari celah jendela, membuatnya menarik selimut tipis ke bahu. Baru saja ia hendak memejamkan mata, tiba-tiba suara bel pintu memecah kesunyian.

𝘋𝘪𝘯𝘨… 𝘥𝘰𝘯𝘨.

Suara itu terdengar jelas, diikuti dengan ketukan tergesa di pintu utama.

𝘛𝘰𝘬. 𝘛𝘰𝘬. 𝘛𝘰𝘬.

Yujin menahan napas. Siapa yang datang selarut ini? Hanya Christopher yang kadang mampir larut malam, membawa makanan atau pesan singkat untuk memastikan ia baik-baik saja. Tapi Christopher kini tidak berada disini.

Dengan hati-hati, Yujin turun dari tempat tidur lalu melangkah pelan ke arah pintu. Ia menempelkan mata ke lubang intip.

Dan tubuhnya langsung menegang.

Lino Lee.

Siluet tinggi itu berdiri di depan pintu, dengan bahu tegap dan tatapan yang tak sabar. Ia mengenakan jaket hitam, dan tangan kirinya menggenggam sesuatu—sebuah tas kertas.

“Yujin?” Suaranya berat, sedikit mendesak. “Aku tahu kau ada di dalam. Aku melihat lampu ruang tamu masih menyala.”

Yujin menelan ludahnya. Ia tak membuka pintu, tapi mendekatkan mulut ke arah kayu dingin di depannya. “Maaf, Oppa. Aku sudah mau tidur. Ada apa kau ke sini?”

“Aku hanya ingin bicara sebentar,” suara Lino terdengar lebih lembut, tapi ada nada aneh di baliknya. “Ini tentang Ayahku. Aku baru menemukan beberapa file lama. Aku pikir isinya bisa membantumu untuk proyek Butik Vanté.”

Yujin menatap gagang pintu yang dingin. “Oppa, ini sudah larut. Aku harus tidur. Mungkin kita bisa bahas besok di kafe, ya?”

Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya ada suara jam di ruang tamu dan napas Yujin yang mulai memburu.

Beberapa detik kemudian, nada suara Lino berubah lebih keras dan penuh tekanan.

“Yujin, jangan mempersulitku. Aku datang jauh-jauh ke sini karena khawatir padamu. Aku tahu kau sedang stres sejak di Sokcho.”

Yujin menggigit bibirnya. Ia tahu Lino sengaja menggunakan simpati sebagai senjata.

𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘊𝘩𝘳𝘪𝘴𝘵𝘰𝘱𝘩𝘦𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘪.

Dengan suara setenang mungkin, ia berkata, “Aku baik-baik saja, Oppa. Terima kasih sudah khawatir. Tapi aku sungguh ingin istirahat sekarang. Selamat malam.”

Yujin melangkah mundur, berharap ia akan pergi.

Beberapa detik sunyi berlalu. Lalu, terdengar helaan napas berat dari balik pintu.

“Baiklah, aku mengerti. Aku akan letakkan kopi ini di teras. Jangan lupa diminum, Yujin.”

Langkah kaki perlahan menjauh.

Yujin menunggu. Satu menit. Lima. Sepuluh. Baru setelah itu ia berani mendekat ke jendela dan mengintip ke luar. Lino sudah tidak terlihat.

Ia membuka pintu sedikit, udara malam menampar wajahnya. Di teras, ada tas kertas cokelat dengan aroma kopi segar. Yujin meraihnya—dan menemukan selembar catatan kecil di dalamnya.

«Kau akan merindukan kehadiranku, Yujin. Aku pastikan itu.»

Tulisan tangan Lino halus dan rapi. Tapi maknanya membuat darah Yujin seolah berhenti mengalir. Ia buru-buru membuang tas itu ke tong sampah, menutup pintu rapat-rapat, lalu menguncinya dua kali.

Malam itu, ia tidak tidur sama sekali.

-🐥-

Dua Hari Kemudian

Fajar belum sepenuhnya terbit. Udara pagi Busan masih menusuk kulit. Yujin bangun lebih awal dengan niat berlari kecil untuk menenangkan pikirannya. Ia mengenakan jaket olahraga dan memasang sepatu, mencoba mengatur napas sebelum keluar rumah.

Tapi begitu ia membuka pintu utama—langkahnya berhenti mendadak.

Di depan gerbang, berdirilah seorang Lino.

Ia mengenakan kemeja abu-abu, dasi longgar di leher, dan senyum cerah seolah tak ada yang aneh. Wajahnya tampak segar, seolah ia memang menunggu di sana sejak lama.

“Pagi, Yujin!” sapanya riang.

Jantung Yujin seketika berdebar kencang. “Pagi, Oppa. Ada apa? Kau sudah menunggu lama?”

“Tidak,” jawab Lino cepat. “Aku hanya kebetulan lewat. Aku harus ke kantor Ayahku, jadi sekalian mampir untuk memastikan kau siap untuk workshop Profesor Kim hari ini.”

Yujin tertegun. Ia tidak ingat pernah memberi tahu Lino tentang jadwalnya. “Kau tidak perlu repot-repot. Aku sudah siap, kok. Aku akan berangkat sebentar lagi.”

Ia mencoba menutup pintu, tapi tangan kiri Lino menahan daun pintu sebelum tertutup.

“Tunggu sebentar, Yujin,” katanya pelan. “Aku punya catatan penting untukmu, tentang workshop ini. Hanya butuh lima menit saja.”

“Oppa…” suara Yujin melemah.

“Please,” potong Lino, nadanya lembut tapi tegas, mengancam tanpa kata. “Ayah menyita ponselku, aku tak bisa mengirimkannya lewat pesan.”

Yujin tahu, jika ia terus menolak, Lino mungkin akan berbuat sesuatu yang menarik perhatian tetangga. Dan yang paling ia takutkan, jika Jiya—kekasih Lino—melihat pria itu berada di rumahnya pagi-pagi begini, gosip akan menghancurkan reputasinya.

Ia menelan ludah. “Baiklah, Oppa. Tapi hanya lima menit.”

Ia melangkah mundur, membuka jalan. Lino masuk perlahan, menatap sekeliling ruang tamu dengan mata yang memeriksa setiap detail—dari pot bunga di pojok ruangan hingga lukisan kecil di dinding. Tatapannya membuat Yujin merasa telanjang.

“Aku suka rumahmu,” ujarnya ringan, meletakkan tas di meja. “Sangat tenang…”

Yujin diam. Ia menunggu Lino mengeluarkan apa pun yang disebut “catatan penting” itu.

Lino mengeluarkan ponselnya, itu ponsel cadangannya, ia membuka beberapa catatan umum tentang desain mode, lalu mengulurkannya. “Ini. Cepat, foto saja sebelum aku terlambat.”

Yujin mengambil ponsel itu lalu memotretnya secepat mungkin. Namun ketika ia menunduk, Lino mendekat sedikit ke arahnya. Aroma parfum maskulin yang pekat menguar di antara mereka.

“Sudah, Oppa,” kata Yujin cepat, mundur beberapa langkah. “Terima kasih banyak.”

Lino menatapnya lama, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Kau terlihat lelah. Kau tidak tidur semalam, ya?”

Pertanyaan itu terdengar seperti pernyataan. Seolah ia tahu sesuatu. Yujin hanya menunduk, berusaha tidak menatap balik.

Lino menoleh pada foto yang tergantung di dinding—potret Yujin dan ayahnya. “Ayahmu pasti bangga padamu. Kau begitu kuat, Yujin.”

Suara itu lembut, tapi Yujin tahu di baliknya ada obsesi yang mengendap.

“Terima kasih,” jawab Yujin kaku. “Tapi Oppa, aku harus bersiap sekarang. Workshop-nya pagi ini, dan aku tidak boleh terlambat.”

Lino berbalik, mendekatinya perlahan. “Kau tidak perlu sendirian, Yujin. Aku ada di sini. Kau bisa mengandalkanku.”

Yujin mengangkat dagunya, menatapnya penuh peringatan. “Aku tahu. Tapi sebaiknya Oppa pulang ke Jiya. Dia pasti menunggumu.”

Kata-kata itu menghantam seperti pisau dingin. Wajah Lino berubah sesaat—ada kilatan amarah yang cepat disembunyikan.

“Ya, tentu saja,” katanya akhirnya, dengan senyum palsu. “Aku akan kembali pada Jiya.”

Ia berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh dan menatap Yujin sekali lagi. “Tapi aku akan datang lagi, Yujin. Aku harus memastikan kau tidak melewatkan sarapan, dan kau tidur cukup.”

Ia menutup pintu perlahan, meninggalkan udara yang terasa berat dan tercekik.

Begitu langkahnya menghilang, Yujin mengunci pintu rapat-rapat, lalu bersandar pada dinding. Napasnya terengah, jantungnya berdebar seperti hendak pecah.

Ia tahu, Lino tidak akan berhenti di sini. Setiap kunjungan—malam atau pagi—bukan tentang perhatian, tapi penguasaan. Ia sedang mencoba menaklukkan ketakutannya, mematahkan rasa aman Yujin sedikit demi sedikit.

Yujin berjalan ke dapur, mengambil ponsel dengan tangan gemetar. Ia tidak menelepon Christopher. Ia tahu pria itu sedang sibuk, dan ia tak ingin terdengar lemah.

Ia menekan nomor lain.

“Hallo, Butik Vanté?”

“Ya, ini Taehyung,” suara di seberang terdengar hangat. “Yujin?”

“Ya, Taehyung Ssaem…” suara Yujin bergetar halus. “Bolehkah aku menginap di studio beberapa malam ke depan? Aku sedang banyak tugas dan… sulit fokus di rumah.”

Hening sejenak. Lalu Taehyung menjawab lembut, “Tentu saja boleh. Kau bisa gunakan ruang belakang. Aku akan kirim kunci duplikat ke meja resepsionis.”

“Terima kasih, Ssaem.”

Telepon berakhir. Yujin menatap ponselnya lama, lalu menghembuskan napas pelan. Untuk pertama kalinya dalam dua hari terakhir, ia merasa sedikit lega.

Ia akan meninggalkan rumah malam ini.

Ia tahu, jika ia tinggal lebih lama, Lino akan datang lagi.

Dan kali ini, mungkin tidak hanya untuk berbicara.

Yujin menatap pintu depan yang tertutup rapat, lalu memalingkan wajahnya. Di luar, matahari pagi akhirnya muncul, menembus tirai tipis ruang tamu. Tapi baginya, cahaya itu tidak membawa hangat—hanya pertanda bahwa kegelapan akan kembali malam nanti.

Dan di dalam kegelapan itu, ia tahu seseorang akan mengetuk pintunya lagi.

.

.

.

.

.

.

.

ㅡ Bersambung ㅡ

1
Dian Fitriana
up
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!