Setelah mati tertembak, Ratu Mafia yang terkenal kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Tamara sang Ratu Mafia, mendapati dirinya bertransmigrasi ke dalam tubuh seorang antagonis novel roman picisan bernama sama.
Harus menjalani pernikahan paksa dengan Reifan Adhitama, CEO berhati dingin dan ketua mafia yang tampan, dan juga terkenal kejam dan dingin. Duda Anak dua, yang ditakdirkan untuk jatuh ke pelukan wanita licik berkedok polos, Santi.
Dengan kecerdasan dan kemampuan tempur luar biasa yang masih melekat, Tamara yang baru ini punya satu misi. Hancurkan alur novel!
Tamara harus mengubah nasib tragis si antagonis, membuktikan dirinya bukan wanita lemah, dan membongkar kepalsuan Santi sebelum Reifan Adhitama terlena.
Mampukah sang Ratu Mafia menaklukkan pernikahan yang rumit, mertua yang membenci, serta dua anak tiri yang skeptis, sambil merancang strategi untuk mempertahankan singgasananya di hati sang Don?
Siapa bilang antagonis tak bisa jadi pemeran utama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hofi03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAHABAT ANTAGONIS
"Tamara kenapa kamu dari tadi hanya diam, apa dokter memotong pita suara kamu?" tanya Cindy berdecak kesal.
Cindy itu cerewet, galak, tapi baik, dia satu-satunya sahabat Tamara asli, mereka berdua sudah bersahabat dari mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
Tamara menatap Cindy dengan pandangan yang tenang namun intens. Tatapan itu tidak mengandung kepolosan atau drama berlebihan yang biasa Cindy lihat di mata sahabatnya, melainkan ketenangan yang dalam, hampir mengancam.
"Pita suaraku baik-baik saja, Cindy," jawab Tamara dengan suara rendah dan serak, sedikit lebih dalam dari suara Tamara yang lama, namun penuh kontrol.
"Hanya terlalu malas melayani orang-orang yang tidak penting," lanjut Tamara, acuh.
Cindy mengernyitkan dahi nya dalam, dia menjatuhkan paperbag yang berisi makanan dan beberapa pakaian di sofa terdekat, lalu berjalan mendekat, menyentuh dahi Tamara.
"Kamu demam? Atau apa percobaan bunuh dirimu membuatmu menjadi orang lain?" tanya Cindy, nada suaranya berubah khawatir.
"Tidak," jawab Tamara, tenang.
"Kamu aneh. Kamu tidak histeris, tidak menangis, dan amu mengusir Ibu tiri mu?" tanya Cindy, semakin bingung dengan perubahan sahabat nya.
Cindy menghela napas panjang, saat tidak mendapatkan respon apa-apa dari Tamara. Cindy menatap sekeliling.
"Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada tikus tua itu? Aku melihatnya berlari keluar seperti dikejar hantu. Jarang-jarang dia tidak menemanimu untuk menunjukkan kepedulian palsunya," ucap Cindy, mengingat tadi di depan pintu ruang rawat Tamara, Cindy bertemu dengan Nyonya Ratna.
Tamara menarik kepalanya dari sentuhan Cindy, matanya masih menatap lurus.
"Aku menyuruhnya pergi. Dia sudah mengurus administrasi dan tidak akan kembali ke sini, atau kehidupanku," jawab Tamara datar.
Cindy terperangah, mulutnya sedikit terbuka, tidak percaya dengan apa yang baru saja dirinya dengar dari mulut sahabat nya.
"Ka-kau... menyuruhnya pergi? Dan dia menurut? Sejak kapan kau bisa mengancam orang sampai dia ketakutan?" tanya Cindy, menggeleng kan kepala.
Tamara menyeringai tipis, sebuah senyuman yang terlalu licik dan tajam untuk Tamara yang Cindy kenal.
"Semua orang punya kelemahan, Cindy. Aku hanya mengungkit beberapa 'rahasia kecil' suaminya," jawab Tamara santai, lalu mengalihkan tatapan ke paperbag di sofa.
"Ambilkan pakaian yang paling mahal dan paling... mencolok. Kita akan keluar sekarang," ucap Tamara melirik paperbag yang tadi di bawa oleh Cindy.
"Keluar? Kamu belum sembuh total!" protes Cindy keras, kembali ke mode cerewetnya.
"Kamu baru sadar, Tam! Dan ingat, Tiga hari lagi kau akan menikah dengan Reifan Adhitama! Pria yang kau cintai setengah mati-"
"Aku tidak mencintai pria itu. Aku juga tidak sakit," potong Tamara tegas, membuat Cindy bungkam.
"Dan aku tidak punya waktu untuk berbaring di rumah sakit yang bau karbol ini," lanjut Tamara, dingin.
Tamara berjalan ke arah sofa, mengambil salah satu paperbag, dan melihat isinya. Sebuah dress merah menyala dengan potongan berani.
"Bagus," gumam Tamara, mengangguk kan kepala nya puas.
"Dengarkan aku baik-baik, Cindy. Aku akan memberimu dua pilihan. Pertama, kau membantuku dan tutup mulut tentang apa pun yang akan kau lihat dan dengar. Kedua, kau pergi dari sini sekarang dan lupakan aku," ucap Tamara menatap Cindy datar, sebuah tatapan yang tidak pernah Cindy lihat dari sahabat nya.
Mata Cindy membulat, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang besar dan berbahaya, dari sahabatnya ini.
"A-apa yang terjadi padamu, Tamara?" tanya Cindy, suaranya pelan.
"Kenapa kau seperti orang lain? Kau tidak pernah berbicara sekejam ini," lanjut Cindy, sungguh bingung dengan perubahan drastis sahabat cengeng nya.
"Aku hanya sadar. Sadar bahwa hidupku tidak akan dikendalikan oleh drama murahan dan pria tak peduli," jawab Tamara. Matanya berkilat dingin.
"Aku tidak ingin menjadi wanita yang menyedihkan yang bunuh diri karena cinta. Itu menjijikkan," lanjut Tamara.
"Jadi, apa pilihanmu? Membantu atau pergi?" tanya Tamara, menatap Cindy lurus.
Cindy terdiam sejenak, dan menghela nafas nya panjang, meskipun bingung, ada percikan kegembiraan di matanya. Sisi dark yang tidak pernah ia lihat dari Tamara ini terasa menarik.
"Astaga, baiklah! Aku akan membantumu!" seru Cindy akhirnya, dengan ekspresi campur aduk antara panik dan antusias.
"Tapi kau janji akan menjelaskan semua ini setelah kau sehat sepenuhnya!" lanjut Cindy, melotot kan matanya.
"Bagus," Tamara tersenyum lagi, senyum yang kali ini lebih tenang, namun tetap memancarkan dominasi.
"Sekarang, berikan kunci mobilmu. Aku akan bertemu calon suamiku lebih awal. Siapkan dirimu, Cindy. Pertunjukannya akan dimulai hari ini," ucap Tamara tersenyum miring.
Tamara melirik ke perawat yang masih berbisik di sudut, raungan.
"Sistem, kirim pesan ke Nyonya Ratna. Katakan padanya aku akan berada di kantor suaminya. Jika dia berani menghubungi Reifan, aku akan menelepon polisi tentang penggelapan pajak dalam waktu lima menit," batin Tamara, memberikan perintah pada Sistem nya.
"Siap, Tuan Rumah! Pesan terkirim."
Cindy menelan ludah kasar melihat perubahan sangat besar pada sahabat piyik nya, Cindy hanya bisa mengangguk pasrah, lalu menyerahkan kunci mobilnya, dan membantu Tamara memilih sepatu.
Pertunjukan. Ya, sepertinya hidup sahabatnya dan hidupnya sendiri, baru saja menjadi jauh lebih menarik, dan berbahaya, pikir Cindy antara takut dan juga antusias.
"Ayo"
Mereka berdua keluar dari ruang itu, mengabaikan tatapan beberapa perawatan yang sedari tadi berbisik-bisik di sudut ruangan.
"Tam, apa kamu yakin akan datang ke kantor calon suami mu?" tanya Cindy, sambil berjalan di koridor rumah sakit.
"Maksud ku, jangan sekarang, kamu baru sembuh, aku hanya khawatir dengan keadaan kamu," lanjut Cindy tulus.
Tamara mengehentikan langkahnya, dan menatap Cindy dengan pandangan yang sulit di artikan, jujur di kehidupan pertama nya Tamara tidak memiliki satu pun orang yang benar-benar perduli ke padanya, orang-orang hanya takut karena dirinya memiliki kekuasaan. Tapi Cindy? Sahabat baru nya ini, gadis cerewet itu mengkhawatirkan dirinya.
"Baik lah, aku tidak akan menemui Reifan sekarang," jawab Tamara, akhir nya setuju.
Mendengar jawaban sahabat nya, Cindy tersenyum lebar.
"Bagus, ayo kita pulang, les go!!" seru Cindy mengandeng tangan Tamara.
Tamara hanya membiarkan, sudut bibir nya sedikit terangkat.
"Ternyata seperti ini memiliki seorang sahabat yang benar-benar perduli dengan kita, tanpa melihat kita siapa," batin Tamara, merasa hangat di dada nya.
Mereka berdua sampai di parkiran rumah sakit, dan langsung menuju mobil Cindy yang terparkir.
Mobil Ferrari warna putih.
"Kamu yakin mau menyetir?" tanya Cindy melihat Tamara.
"Hem, ayo," jawab Tamara masuk ke dalam mobil Cindy dan duduk di kursi kemudi.
Cindy yang melihat Tamara sudah duduk di kursi kemudi, akhir nya ikut masuk ke dalam mobil nya dan duduk di kursi penumpang di samping Tamara.
"Let's start this game "batin Tamara tersenyum miring.
Mobil Ferrari putih itu meleset pergi dari parkiran rumah sakit dengan kecepatan cukup tinggi.