Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ego,kekerasan dan ketakutan Gita.
Amarah yang Membakar dan Tamparan Keras
Pagi itu, di rumah itu, ketegangan terasa begitu pekat hingga udara seolah ikut menahan napas. Darren, setelah bermalam dalam kemarahan yang membakar, tidak bisa menerima penolakan dan perubahan sikap Gita.
Ego dan harga dirinya hancur karena Gita berani menentukan kehidupannya sendiri.
Saat fajar menyingsing, ia menggedor pintu kamar tamu dengan brutal.
"Gita! Keluar! kita harus bicara sekarang!" Suara Darren penuh amarah dan tuntutan, menggema di lorong yang sunyi.
Gita membuka pintu. Ia masih mengenakan piyama, wajahnya pucat.
Ketegasan yang ia tunjukkan semalam perlahan luntur, digantikan oleh bayangan ketakutan yang mendalam di matanya. Ia tahu betapa berbahayanya Darren saat egonya terluka.
"Ada apa, Ren? Aku sedang beristirahat," bisik Gita, suaranya gemetar. Ia mencoba untuk bersikap tenang, tetapi tubuhnya otomatis mundur selangkah.
"Apa maksudmu dengan 'aku capek'? Apa maksudmu dengan tidak menyiapkan sarapan selama dua hari ini, dan pulang larut? Kamu menemui siapa di luar sana? Kamu bermain-main di belakangku, Gita?" Tuduhan itu dilontarkan dengan nada menusuk dan merendahkan.
"Aku—aku tidak bertemu siapa siapa,hanya bertemu Maya. Aku perlu waktu sendiri, Ren." kata Gita, buru-buru meminta maaf, nalurinya kembali pada mode bertahan hidup yang biasa ia lakukan di hadapan amarah Darren.
"Minta maaf? Itu tidak cukup!" Darren melangkah masuk, menjebak Gita di antara pintu dan dirinya. "Setelah semua yang kuberikan padamu—rumah ini, kenyamanan ini—kamu berani bertingkah seolah kamu yang teraniaya? Kamu sudah pulang larut dua malam berturut-turut! Kamu harusnya ijin padaku, Gita!"
Gita tidak menjawab, menundukkan kepalanya kebawah menghindari tatapan mata Darren yang penuh api. Setiap serat tubuhnya berteriak untuk lari, tetapi ia tahu ia tidak bisa.
"kamu tidak menjawab? kamu pikir aku siapa yang tengah berbicara ini hah?" Darren emosi lalu mengayunkan tangannya ke wajah istrinya,
PLAK!
Tamparan itu mendarat di pipi kiri Gita. Keras, mengejutkan, dan menyakitkan.
Gita terhuyung, tangannya refleks memegang pipi yang kini terasa panas dan berdenyut-denyut.
Air mata langsung membanjiri matanya. Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan kengerian yang ia rasakan. Ini adalah pertama kalinya Darren melakukan kekerasan fisik padanya, dan hal itu mengkonfirmasi semua ketakutan terbesarnya.
Darren terengah-engah, sedikit terkejut dengan tindakannya sendiri, tetapi amarahnya lebih besar dari penyesalan. Ia mencengkeram lengan Gita yang lain, menariknya agar menatapnya.
"Itu untuk mengingatkanmu di mana tempatmu, Gita," desis Darren, nadanya mengancam. "Aku bos di rumah ini. Kamu istriku, dan kamu akan tunduk padaku. Apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini? Uang? Kamu akan mendapatkannya! Tapi kamu tidak akan pernah meninggalkanku, dan kamu tidak akan pernah melangkahi aturanku."
Air mata Gita mengalir deras, tetapi ia tidak berteriak. Ia terlalu takut. Wajahnya yang bengkak dan merah karena bekas tamparan dipenuhi oleh ekspresi teror yang memilukan. Ia menatap Darren, dan untuk pertama kalinya, ia melihat pria itu bukan sebagai suami, melainkan sebagai bahaya nyata.
"Ren... jangan..." bisik Gita, suaranya tercekat.
"Jangan apa, Gita? Jangan begini lagi? Aku tidak akan begini kalau kamu tidak memancingku!" balas Darren, melepaskan cengkeramannya dengan kasar.
Gita terdiam, terisak pelan sambil memegangi pipinya. Ia mundur ke dalam kamar tamu, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak mencoba membela diri. Yang ia lakukan hanya menutup pintu itu dengan cepat, menguncinya, dan bersandar di sana, terengah-engah.
Ia terperosok ke lantai, lututnya ditekuk ke dada. Ia menyentuh pipinya, rasa perih itu nyata. Ia tidak berani bersuara keras, takut memancing Darren datang lagi. Ia menangis tanpa suara, mencengkeram piyamanya erat-erat.
Ketegasan yang ia bangun semalam hancur lebur oleh satu tamparan. Ia menyadari, Darren tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah. Usahanya untuk mandiri telah memicu reaksi yang paling menakutkan.
Di luar pintu, Darren membersihkan tenggorokannya. Ia merasa lega. Kekuasaannya sudah ditegakkan kembali. Ia tahu, setelah ini, Gita akan kembali ke tempatnya—penurut, selalu menunggu, dan takut untuk melawan.
Ia berbalik, mengambil kunci mobilnya, dan pergi bekerja.
Tetapi di kamar tamu yang gelap, Gita tahu bahwa situasinya telah berubah total. Bukan hanya ia harus pergi, tetapi ia harus pergi dengan diam-diam, merencanakan pelarian. Ketakutan itu menjadi bahan bakar baru—bahan bakar untuk menyelamatkan dirinya.
Aku harus pergi. Sebelum dia melakukan hal yang lebih buruk lagi, pikir Gita, tangisnya mereda. Ia mulai berpikir jernih di tengah rasa sakitnya.
Ia mengambil ponselnya, gemetar. Ia harus menghubungi Maya. Bukan untuk sekadar bertemu, tetapi untuk meminta bantuan.
Tangannya terhenti saat akan memencet tombol panggil di layar ponsel nya.
Dia tidak bisa meningggalkan suaminya begitu saja.
Akan sangat besar resikonya kalau dia nekad melakukan itu.
dia sangat tahu sifat suaminya,kalau sudah marah akan sulit menenangkan nya.
bersambung...