"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERDEBATAN PANDU DAN VIONA
"Mas, mobilku!"
"Masih mikir mobil, besok rumah kamu yang ilang!"
ucapku dengan kasar, seraya memasukkan Viona ke dalam mobil secara paksa.
Usai kututup pintu mobil, aku bergegas ke pintu yang lain
"Ayah ...."
Dadaku berdebar ketika aku hendak membuka pintu sebelah kemudi dan suara Zahra tiba-tiba terdengar olehku, sontak aku menoleh ke suara tersebut. Di depan sana, terlihat Zahra tengah berdiri menatapku kemudian detik selanjutnya ia berlari ke arahku.
"Ayah."
Ia langsung menghambur ke dalam pelukanku, aku meraihnya, lalu mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongan. Dengan erat aku memeluknya. Tak bisa kupungkiri, perasaanku masih sama terhadap gadis ini, hanya egoku pun tak mau kalah. Egoku yang hanya selalu ingin Namira lah yang ada diantara aku dan Maira. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Zahra. Bodoh.
"Ayah. Zahra kangen," ujarnya terisak di pundakku.
Rasanya sudah sangat lama aku tak berjumpa dengannya dan kebencianku pun seketika meredup saat ia memelukku dengan begitu erat. Ya Allah, bagaimana bisa aku berkata buruk tentangnya, sedangkan dia begitu mencintaiku?
Seketika mata ini memanas lalu mengembun.
"Zahra, Ayah juga kangen banget sama Zahra." Dengan suara bergetar aku berucap.
"Ayah, Ayah pulang, kan? Nggak pergi-pergi lagi, kan?
Zahra takut, Ayah." Sembari melepaskan pelukannya, ia berujar dengan raut sendu dan wajah tertunduk lesu.
"Takut? Takut kenapa, Nak?!" tanyaku mengangkat wajah Zahra ke arahku.
"Takut api." Dengan mata berkaca ia kembali berujar.
"Api? Nggak ada api, Nak," kataku sembari melihat ke kanan dan kiri yang memang sama sekali tidak terlihat ada api.
"Zahra, sini, Sayang. Ayah mau kerja. Sudah ditunggu sama temennya. Tuh, di dalam."
Tanpa aba-aba, Maira langsung mengambil Zahra dari tanganku. Aku hanya bisa diam tanpa bisa melawan.
Kini tak ada lagi suara caci maki yang terdengar dari ibu-ibu yang saat ini ada di belakang Maira. Mereka tampak tertunduk lesu.
"Mai, jangan bawa-bawa Zahra,"
kataku pada Maira. Aku memang salah, emosiku telah menyakiti perasaan Maira sebagai pengganti ibu bagi Zahra. Tapi aku juga
tahu bahwa ribuan kali aku meminta atau mengiba, Maira tak mungkin bisa lupa pada perkataanku tentang Zahra.
"Mas, jangan memperkeruh suasana."
Aku menghela napas. Tak mungkin berdebat di hadapan Zahra. Dia akan terguncang dan ketakutan.
"Ayah mau pergi lagi, Bunda?"
"Zah ...."
"Iya, Sayang, Ayah harus pergi, untuk sementara ayah harus tinggal di lain rumah karena pekerjaannya sangat banyak. Mengurus a, b, dan c. Kita akan mengganggu kalau ayah sama kita." Ia memotong ucapanku dengan nada sindiran seraya menatapku.
"Tapi Zahra janji nggak nakal, nggak akan ganggu Ayah. Biar Ayah tinggal sama kita aja, Bunda. Biar kita ada temennya. Biar Zahra nggak takut lagi."
Ucapan Zahra terdengar memilukan, hatiku tersayat mendengar nada bicara Zahra yang terlihat begitu penuh harap dan permohonan. Ya Tuhan, drama macam apa yang telah kubuat. Hingga menghancurkan segala impian. Aku bahkan telah mengorbankan Zahra yang selama ini kuanggap anak sendiri. Apakah benar apa kata Maira, bahwa cintaku pada Namira sudah membuatku buta?
"Nggak bisa Zahra, Ayah akan dimarahi sama bosnya kalau nggak nurut. Nggak dapat uang banyak untuk beli rumah dan mobil mewah," sindirnya lagi.
"Maira!" desisku.
"Bunda janji Zahra, setelah ini Zahra akan banyak temen kok. Percaya, deh. Sekarang salim sama Ayah dulu."
Pemaksaan yang dibalut dengan kata-kata lembut terus ia lontarkan pada Zahra. Sedangkan aku hanya bisa diam, mendengarkan Maira yang terus menyudutkanku.
Bahkan, ia sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara.
Zahra lalu meraih tanganku dan mengecupnya. "Hati-hati, ya, Ayah."
Degh!
Ada yang sakit di dalam sini. Mendengar dan melihat kepolosan Zahra.
"Mas, buruan!" sentak Viona dari dalam mobil setelah kaca dibuka setengah olehnya.
Aku menghela napas. Ulah Viona membuatku harus menelan amarah secara paksa untuk ke sekian kali karena tak mungkin meluapkannya di hadapan Zahra.
"Tante temennya ayah, titip ayah Zahra, ya," pinta Zahra pada Viona. Hatiku pun terenyuh seketika.
Penyesalan selalu datang di akhir cerita. Nyatanya, aku telah mengkhianati dua orang yang paling aku sayangi selama ini.
"Hem," jawab Viona tanpa menatap Zahra.
"Yasudah, Ayah pergi dulu, ya, telepon ayah kalau Zahra kangen."
Meskipun aku tahu nomor telah diblokir oleh Maira namun tak menutup kemungkin akan ia buka kembali jika Zahra yang meminta.
Ia mengangguk.
"Da, Zahra."
"Bunda, kok, nggak salim ayah. Biasanya salim sama cium,"
celetuk Zahra membuatku dan Maira saling pandang.
"Zahra...."
Belum kuselesaikan penjelasan yang hendak kuberikan. Maira justru tanpa banyak bicara meraih tanganku lalu mengecupnya. Tampaknya ia tak mau banyak berdebat dan tak ingin aku berlama-lama ada bersama Zahra.
Detik berselang aku pun merengkuh mereka. Air mataku luruh seketika namun, dengan segera aku mengusapnya. Kukecup pucuk kepala Maira cukup lama. Ia tak melawan atau menolaknya. Ini adalah satu-satunya drama yang tak ingin kuakhiri.
"Kasih kiss sama Ayah."
Kata-kata Maira yang kutahu sejatinya adalah penolakan akhirnya keluar dan membuatku harus mundur satu langkah dan beralih pada Zahra. Kukecup pipi dan keningnya.
"Ayah kerja dulu, ya. Assalamu'alaikum, Zahra."
"Waalaikumsalam."
Hawa panas terus mendera, merasuk hingga ke
seluruh tubuh. Secepatnya aku membalikkan badan masuk ke dalam mobil, tak ingin air mata perpisahan terlihat oleh mereka.
Kunyalakan mesin dengan segera. Lalu melajukan
mobil tanpa menoleh kembali.
"Da, ayah ...!" Suara Zahra masih terdengar, aku hanya menyalakan kalkson sebagai jawaban.
"Maaf, Nak," gumamku dalam hati. Bahkan, hatiku menangis deras saat ini.
"Kamu nangis, Mas? Ngapain kamu nangisin anak yang bukan anak kamu. Mending kamu mikir Namira aja yang jelas-jelas darah daging kamu."
"Tutup mulutmu, Viona! Seandainya kamu jauh sebelum ada Namira aku menganggap Zahra sebagai anakku. Kamu nggak pantas ngomong seperti itu!"
"Kan, itu dulu, buktinya kemarin kamu cerai sama Maira karena dia juga, kan."
"Karena kamu! Karena kamu Viona. Kamu kan yang dibelakangku menghubungi Maira? Sok sok an bilang aku cairin tabungan ayahnya lagi? Kamu sengaja, kan, mancing Maira?"
Ia tampak tersentak. Mungkin tak percaya bahwa aku sudah tahu akal bulusnya.
"K-kamu ...."
"Tau dari mana? Kamu lupa kalau ponsel Maira ada di
tanganku berbulan-bulan? Aku diam bukan berarti nggak tau." Aku memotong ucapan yang terlihat gelagapan itu.
Aku sempat memeriksa ponsel Maira saat ponsel kupegang dana aku menemukan pesan dari Viona yang menjadi awal mula masalah terbongkar. Padahal aku meminjam uang tersebut juga untuknya, tak menyangka dia justru menusukku dari belakang. Kalau saja bukan karena Namira, mungkin aku sudah sejak dulu menceraikannya.
"Kalau kamu nggak ngeyel, Maira nggak akan curiga, nggak akan cari bukti sampai ke bank segala. Kamu udah aku kasih semua masih aja kurang. Tamak kamu, tu!"
Amarahku tak bisa lagi aku bendung, kuluapkan segala emosiku. Sungguh, semua yang ia lakukan membuatku jijik. Meski hanya menyentuhnya. Sebetulnya aku hanya menyentuhnya sekali, melampiaskan amarahku pada Maira, tapi karena nasibku sedang sial-sialnya waktu itu, malah jadi Namira.
Namun, bukan berarti aku menganggap Namira sebuah lambang kesialan. Aku mensyukuri kehadirannya yang sempat membuat hidupku terasa lengkap, meski akhirnya harus kembali kurang dengan kepergian Maira. Semua usahaku seolah sia-sia.
"Sekarang setelah kamu menghancurkan hubunganku dengan Maira, kamu juga ingin menghancurkan karierku dan perusahaan yang kupegang. Berapa kali aku katakan, jangan terpancing, diam!"
"Apa maksudmu?!"
"Kamu tau nggak Viona. Bu Hartawan mengancamku, dia bisa menurunkan jabatanku hanya karena ulahmu yang kampungan itu!"
Suaraku semakin meninggi, mobil pun kupinggirkan lalu kuhentikan mendadak. Meskipun tak bisa mengontrol emosi, aku masih sadar dan waras.
Tak mau menghilangkan nyawa sendiri.
"Mas, kepala cabang nggak akan terlalu pengaruh kok sama perusahaan, lagian itu kan masalah pribadi. Mereka juga nggak akan mau kehilangan kamu kalau kerja kamu bagus."
"Ha ha ha, kepala cabang?! Kamu sekolah tinggi tapi blo'on. Harusnya kamu sadar kalau suamimu ini cuma kepala cabang, mintanya juga harusnya yang wajar! Ini kamu malah minta rumah mewah, mobil mewah, ini itu. Kamu pikir sekelas kepala cabang mampu menuruti permintaanmu? Penjaga sebanyak itu dan fasilitas seperti itu bisa aku kasih kalau aku cuma kepala cabang? Arina, anak mantan bos kamu itu sampai takut padaku, emang bisa kalau cuma kepala cabang membuat dia tak berkutik?! Mikir!"
jelasku panjang lebar. Aku sudah tak bisa lagi berpikir jernih, pikiranku sudah kusut.
"Maksud kamu? Kamu ...."
"Bu Hartawan memberiku jabatan direktur utama! Puas! Dan kamu membuat posisiku terancam."
Mulutnya membulat, tapi matanya berbinar. Katanya saja orang kaya, tapi masih saja kurang. Matre. Inilah kenapa aku merahasiakan semua, dia bisa semakin
bertingkah kalau tahu aku direktur utama.
"Jadi kamu direktur, Mas? Kamu bohong selama ini?"
"Jangan seneng dulu kamu, rumah, mobil, semua milikku setelah ini akan aku bagi dengan Maira. Kita mulai dari nol."
"Apa? Kok bisa?!"
"Bisalah, dia istri sahku, dia mau hartaku ya aku beri."
"Brengsek kamu, Mas," ujarnya terlihat kesal.
"Terserah."
"Dia udah kamu kasih rumah, harusnya rumah baru itu jatahku. Tapi kamu malah mengatasnamakannya atas namamu!"
"Goblok kamu. Rumah itu berdiri di atas tanah milik Maira, harta warisan. Jelas itu buka harta bersama."
"Tapi kamu yang membangunnya."
"Itu hadiahku untuk Maira. Puas?!"
"Kurang ajar kamu, Mas!"
umpatnya lalu mengangkat tangan ingin menamparku namun dengan sigap aku menghalau dengan tanganku.
"Diam! Jangan pernah berani menyentuhku, Viona!" ucapku dengan nada penuh penekanan seraya menatapnya tajam.
"Tugasmu sekarang, diam saat aku memperbaiki reputasiku!"
lanjutku.
Meski dalam hati saling bertentangan, tapi aku harus melakukannya. Maira, aku akan memberikan apa yang menjadi haknya. Tapi, tidak dengan harga diri, karier, dan reputasiku. Aku pasti akan mengembalikan reputasi dan nama baikku bagaimanapun caranya karena hanya dengan kekuasaan lah aku akan membawa kembali Maira dalam rengkuhanku.
"Apa kau akan mengurungku seperti Maira?"
"Ya, idemu bagus. Supaya kamu nggak bertindak seenak jidatmu!"