"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Kecupan yang Sesungguhnya
Di tengah padang rumput itu, Mila berdiri di atas batu kecil dengan tangan bersilang di dada mungilnya, mata membulat penuh tekad.
“Aku mau naik, Kaka Rafa! Aku tidak takut domba!”
Rafael hanya bisa menghela napas sambil tersenyum. Wajahnya setengah khawatir, setengah menyerah pada keras kepala kecil yang mewarisi sisi keras Mamma.
“Domba bukan kuda, Piccolina. Dia jalan pelan dan suka berhenti tiba-tiba,” ujarnya lembut.
*Si kecil
Tapi Mila sudah lebih dulu mendekat ke salah satu domba putih yang sedang mengunyah rumput. Dengan pipi merah karena semangat, gadis kecil itu menepuk-nepuk punggung domba itu.
“Namanya Bianca! Aku mau naik Bianca!”
Dari gazebo di pinggir padang, Serafina tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Gaun putihnya melambai tertiup angin. “Mila memang keras kepala,” ujarnya geli.
Rafael menggeleng pelan, tapi langkah kakinya mendekat. Ia menunduk, menatap adiknya dengan senyum yang sulit disembunyikan.
“Baiklah, kalau Bianca setuju.”
Dengan hati-hati, ia mengangkat Mila dan mendudukkannya di atas punggung domba. Tangannya tetap menahan tubuh kecil itu agar tak tergelincir. Domba itu hanya menoleh sekilas lalu terus mengunyah, seolah tak peduli ada penumpang di atasnya.
Mila terkikik riang. “Kaka, aku melaut di darat!”
Rafael tertawa, lalu mengikuti langkah domba yang mulai berjalan pelan di antara rerumputan. Tangannya tak pernah lepas dari pinggang Mila. Sesekali Mila menoleh ke Serafina yang kini merekam dengan pandangan gemas.
“Lihat, Kak Sera! Bianca sangat baik!”
Serafina menjawab sambil tertawa. “Jangan sampai Bianca kabur ke kandang, nanti kamu ikut tersangkut!”
Tawa mereka menggema ringan di padang rumput.
Rafael menunduk, berbisik lembut, “cukup dulu ya, Piccolina. Bianca juga butuh istirahat.”
Dengan gerakan hati-hati, ia mengangkat Mila dari punggung domba dan membopongnya di pelukannya. Gadis kecil itu langsung menempel manja di bahu Rafael, masih tersenyum setengah mengantuk.
Rafael melangkah menuju gazebo kecil di bawah pohon rindang, tempat Serafina sudah menunggu. Ia duduk, meletakkan Mila di pangkuannya, dan membiarkan adiknya itu tertidur sambil menggenggam ujung kemeja Rafael.
Serafina menatap mereka berdua lama, sebelum berbisik, “lihat dia, Rafa. Dunia bisa jatuh berkeping, tapi dua makhluk kecil ini tetap bisa membuat segalanya terasa indah lagi.”
Rafael tak menjawab. Ia hanya tersenyum, pandangannya menatap jauh ke kandang domba di sisi barat padang.
Di sana, Matteo—ayahnya—duduk di bangku kayu bersama Carlo, sahabat lamanya. Mereka berbagi piring berisi roti, keju, dan ikan asin, sambil sesekali melirik ke arah gazebo dengan senyum bangga.
“Bungsu yang keras kepala, seperti istriku,” ujar Matteo sambil menggigit roti.
“Atau seperti dirimu,” sahut Carlo, tertawa pelan.
“Ya, mungkin itu yang membuat hidup Rafael tidak pernah sepi,” balas Matteo, matanya hangat memandangi pemandangan kecil penuh cinta itu.
“Desa ini selalu seindah ini?” tanya Serafina pelan.
“Tidak selalu,” jawab Rafael, pandangannya tak lepas dari laut. “Tapi hari ini ... iya.”
Serafina menoleh padanya, mata mereka bertemu lagi—kali ini lebih lama. Suara domba dari kejauhan jadi latar damai untuk sesuatu yang mungkin baru saja mulai tumbuh di hati mereka.
Angin laut berhembus lembut, menggoyangkan ujung rambut dan gaun Serafina yang duduk bersila di lantai kayu gazebo. Cahaya matahari menyusup di sela dedaunan, menciptakan pantulan keemasan di kulit mereka.
Rafael bersila di seberang, tubuhnya sedikit condong ke belakang dengan kedua tangan menjadi tumpuan. Di pangkuannya, Mila tertidur nyenyak, pipinya menempel di dada sang kakak. Napas kecil gadis itu naik-turun perlahan, sementara jari-jari Rafael bergerak lembut membelai rambutnya.
Serafina memperhatikan diam-diam. Ada sesuatu di cara Rafael menyentuh rambut adiknya—tenang, penuh kasih, tapi menyimpan kerinduan yang dalam.
Seketika hatinya terhimpit rasa asing. Ia teringat pada Papà, yang dulu sering mengusap rambutnya setiap kali ia menangis kecil. Tapi kini bayangan itu hanya tinggal serpihan memori yang terasa jauh dan dingin.
Rafael sadar akan tatapan itu. Ia menoleh, alisnya terangkat samar. “Kalau kau terus menatap begitu, nanti aku kira rambutku penuh rahasia,” ujarnya dengan nada rendah tapi berisi godaan tipis.
Serafina tersentak kecil, lalu menunduk, menahan senyum yang ingin muncul. “Aku hanya teringat sesuatu,” bisiknya.
Rafael mengamati wajahnya sejenak sebelum bergumam, “kalau aku usap rambutmu nanti … amis.”
Serafina mengerling ke arahnya, kali ini berani. “Coba saja.”
Hening sejenak. Lalu Rafael perlahan menegakkan tubuhnya, melepaskan satu tangan dari tumpuan, dan membiarkan jari-jarinya menyusuri ujung rambut Serafina. Gerakannya hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh.
Serafina menahan napas, jantungnya berdegup lebih cepat dari hembusan angin yang menyentuh wajah mereka.
Mata Rafael, hijau keabuan seperti laut yang memantulkan langit, menatap langsung ke mata Serafina yang hazel, hangat namun menyimpan luka. Bibir mereka sama-sama berwarna merah alami.
Ada sebuah tarikan magnetis yang tak terbantahkan, sebuah pengakuan diam-diam yang telah bertunas selama berminggu-minggu, disiram oleh rasa penasaran, ketidaksengajaan yang manis, dan kedekatan yang tak terhindarkan.
Serafina tidak lagi gugup. Sebuah ketenangan aneh menyelimutinya. Dia melihat caranya Rafael memperlakukan Mila, mendengar ketulusan dalam suaranya, dan merasakan sebuah keamanan yang belum pernah dia rasakan sejak diusir dari Roma. Di matanya, dia melihat pantulan perasaannya sendiri—sebuah kerinduan dan penerimaan.
Rafael, di sisi lain, melihat bukan lagi seorang putri kota yang rapuh, tetapi seorang pejuang yang berusaha bertahan, seorang wanita yang matanya memancarkan kekuatan di balik lukanya. Dia melihat keinginan yang sama yang membara di dadanya sendiri.
Mereka tidak tahu siapa yang bergerak pertama. Mungkin itu adalah langkah kecil Serafina ke depan, atau mungkin itu adalah kepala Rafael yang sedikit menunduk. Itu bukan sebuah serangan, bukan sebuah penaklukan. Itu adalah sebuah pertemuan.
Napas mereka bercampur, hangat dan berirama. Mata Serafina perlahan terpejam, bulu matanya yang lentik bergetar sesaat. Rafael mengikutinya, menyerahkan dirinya pada momen ini.
Dunia di sekeliling mereka memudar—suara domba, teriakan anak-anak di kejauhan, desir ombak—semuanya lenyap, digantikan oleh suara detak jantung mereka sendiri yang berdebar kencang dalam sebuah simfoni yang kacau namun indah.
Tangan Rafael yang kasar karena garam laut bergerak dengan sangat hati-hati. Dia tidak menyambar, tetapi mengecup—menyentuh pipi Serafina dengan ujung jarinya terlebih dahulu, sebuah pertanyaan yang bisu. Serafina menjawabnya dengan mendekatkan wajahnya sedikit lagi ke sentuhannya, sebuah jawaban yang jelas.
Ketika akhirnya jarak itu habis, waktu berhenti sesaat.
Bibir Rafael menyentuh bibir Sera.
Itu bukan ciuman yang berapi-api atau penuh nafsu. Itu adalah sebuah pertanyaan dan sebuah jawaban. Sebuah pengakuan dan sebuah penerimaan, semua terbungkus dalam satu sentuhan yang lembut dan hangat. Bibir Rafael, yang tegas, ternyata lunak. Bibir Sera, yang selalu terlihat rapuh, merespons dengan keyakinan yang membuat kaki Rafael terasa lemas.
Dia tidak memaksakan. Dia hanya ada di sana, menikmati kelembutan dan kehangatannya. Serafina membalasnya dengan cara yang sama, tangannya naik secara naluriah dan beristirahat di dada Rafael yang kuat, merasakan detak jantungnya yang kencang di bawah telapak tangannya—sebuah ritme yang sama dengan miliknya.
Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tetapi rasanya seperti keabadian. Saat mereka perlahan berpisah, napas mereka masih tersengal-sengal. Mata mereka terbuka perlahan, saling memandang dengan sebuah keheranan yang tenang, seolah bertanya, “apakah itu benar-benar terjadi?”
Dunia perlahan kembali—suara ombak, desir angin, dan dingin mulai merayap. Tapi sesuatu telah berubah selamanya. Sebuah penghalang telah runtuh. Sebuah benih telah tumbuh.
Rafael tidak menjauh. Dahinya masih menempel pada dahi Sera, napas mereka masih bercampur.
“Serafina,” bisiknya, suaranya serak.
Serafina tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk pelan, sebuah senyum kecil dan rentan muncul di bibirnya yang masih terasa hangat oleh kehadirannya. Di matanya, Rafael tidak melihat penyesalan atau ketakutan. Dia melihat sebuah kedamaian, sebuah jawaban yang dia sendiri tidak berani harapkan.
Laut mungkin menyimpan rahasia, dan darah mungkin adalah kutukan. Tapi pada sore itu, di atas tebing Mareluna, hanya ada dua jiwa yang menemukan pelabuhan sementara satu sama lain dalam sebuah ciuman yang lembut.
Sampai suara kecil memecah semuanya. “Kaka Rafa …,” gumam Mila dalam tidurnya, menggeliat kecil.
Rafael tersadar, cepat menegakkan tubuhnya. Mila menggeliat, wajahnya berkerut ketakutan. “Aku mimpi buruk …,” isaknya lirih.
Rafael langsung menenangkan, mengusap punggung adiknya lembut. “Sstt, tidak apa-apa, Piccola. Kakak di sini. Ayo kita pulang.”
Ia berdiri, membopong Mila di pelukannya. Pandangannya sempat bertaut dengan Serafina.
Serafina juga bangkit, menepuk gaunnya panjangnya. “Aku juga pulang dulu … terima kasih untuk hari ini,” ucapnya pelan.
Namun ketika ia berbalik, matanya bertemu Elio—pengawalnya—yang berdiri di ujung jalan berbatu, menatapnya dengan sorot dingin. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuh, rahangnya mengeras.
Tatapan itu bukan sekadar marah … tapi kecewa.
Sebelum sempat berkata apa pun, Elio berbalik dan pergi menuruni jalan setapak. Serafina terpaku, hatinya berdesir tak nyaman. Lalu ia berlari kecil mengejarnya, suaranya terdengar di antara desir angin sore Mareluna.
“Elio! Tunggu! Aku bisa jelaskan!”
...🌊🌊🌊...
Rafael terkejut. “Ada apa?”
“Kenapa bisa sekkeras dan seberotot ini?” tanya Serafina penasaran.
“Karena ikan-ikan itu berat-berat,” jawabnya sambil tertawa.
“Lebih berat dari aku?” goda Serafina.