Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Rencana ibu mertua
Suasana rumah besar keluarga Malik terasa berbeda setelah kepergian Laudya. Rumah itu memang masih megah, penuh hiasan mahal dan aroma parfum bunga yang samar menempel di dinding, tapi hawa keangkuhan yang selalu dibawa Laudya perlahan menghilang.
Bagi Hana, keheningan ini justru membuatnya semakin resah. Setiap langkah kakinya menggema, seolah menegaskan bahwa ia hanyalah tamu asing di dalam rumah suaminya sendiri.
Sejak pagi, Hansel hampir tidak berbicara. Ia tenggelam dalam pekerjaan, duduk berjam-jam di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan wajah dingin. Hana hanya bisa menyiapkan teh atau kopi di meja, lalu mundur pelan tanpa berani membuka percakapan.
Di ruang belakang, Jamilah mencoba menenangkan hati putrinya.
“Sabar ya, Nak,” ucapnya sambil melipat kain. “Ini semua demi masa depanmu. Ingat, hanya setahun. Setelah itu, kamu bisa kembali ke pesantren, ke hidupmu yang tenang.”
Hana mengangguk, tapi dalam hati ia merasa kalimat itu terlalu mudah diucapkan. Ia yang harus menanggung malu, menanggung luka. Ia yang harus hidup dalam rumah tangga yang bahkan tidak benar-benar mengakui keberadaannya.
Menjelang sore, telepon rumah berdering. Seorang pelayan memanggil Hana, mengatakan kalau Nyonya Rohana ingin bicara dengannya. Jantung Hana berdegup lebih cepat. Dengan langkah pelan, ia mendekati telepon yang berada di ruang tamu.
[Halo, Hana?] suara Rohana terdengar dari seberang, lembut namun tegas.
“Iya, Nyonya…” jawab Hana hati-hati.
[Besok malam, keluargaku akan mengadakan acara kecil di rumah. Hanya kumpul keluarga inti, tapi aku ingin Hansel datang. Dan kau juga, Hana. Kau harus ikut bersamanya.]
Hana tercekat. Ia menoleh ke arah ibunya yang berdiri tak jauh, menunggu penjelasan. “T-tapi, nya … apakah itu … tepat?”
Rohana menghela napas. [Dengar, Nak. Pernikahan kalian harus tetap menjadi rahasia. Tidak boleh ada satu pun yang tahu, apalagi publik. Tapi untuk keluargaku sendiri, aku butuh alasan kenapa Hansel membawa seorang gadis muda. Jadi, aku ingin kau ikut seolah kau hanya menemani ibumu, Jamilah. Biarlah orang mengira kau sekadar putri pembantu yang dekat dengan rumah kami. Itu lebih masuk akal.]
Hana menggigit bibirnya. Hatinya semakin terjepit. “Kalau Hansel tidak setuju, Nyonya?”
[Dia anakku. Dia akan menurut. Aku yang meminta.] Nada Rohana terdengar mantap, tak bisa dibantah. [Lagipula, ini demi menjaga citra Laudya di mata keluarga besar. Tidak ada seorang pun yang boleh mencurigai apapun. Kau paham, kan? Satu lagi panggil aku ibu saja,] pintanya di ujung kalimat dengan senyum yang terukir tulus.
Hana hanya bisa menjawab lirih, “Baik, Bu.”
Setelah menutup telepon, Jamilah mendekat dan menggenggam tangan putrinya. “Lihat, betapa besar kepercayaan Nyonya Rohana padamu. Kamu harus kuat, Nak. Ini memang tidak mudah, tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Keesokan malam, mobil hitam keluarga Malik berhenti di halaman rumah besar milik Rohana. Lampu-lampu kristal berkilau dari dalam, menandakan adanya jamuan. Hana duduk di kursi belakang, di samping Jamilah. Sementara Hansel mengemudi di depan, wajahnya tetap dingin, tak banyak bicara.
Sepanjang perjalanan, suasana hening. Sesekali Hana mencuri pandang, memperhatikan profil wajah Hansel yang diterangi cahaya lampu jalan. Tampan, tenang, tapi penuh jarak. Bukan suami yang bisa ia harapkan melindunginya.
Sesampainya di rumah Rohana, beberapa pelayan menyambut. Senyum mereka ramah, tapi tatapan mereka penuh rasa ingin tahu. Hana merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh sorot mata menelanjangi identitas rahasianya.
Rohana menyambut di pintu, tampil anggun dengan kebaya hijau tua dan perhiasan berkilau di lehernya. Ia langsung menggenggam tangan Hana, seolah menyambut seorang anak sendiri.
“Akhirnya kalian datang,” katanya dengan nada puas. Lalu, sambil melirik Jamilah, ia menambahkan, “Aku senang kau ikut juga, Jamilah. Dengan begini, orang-orang akan mengira Hana hanya menemanimu. Tidak akan ada yang curiga.”
Jamilah menunduk hormat. “Terima kasih, Nyonya, sudah memberi alasan baik untuk kami.”
Hana hanya bisa terdiam. Rasanya pahit, ketika dirinya harus berpura-pura hanya sebagai bayangan, padahal hatinya sudah terikat dengan ikatan yang sakral.
Acara malam itu berlangsung hangat di mata orang luar. Musik lembut mengalun, hidangan mewah tersaji di meja panjang, dan keluarga besar Malik berkumpul sambil tertawa ringan. Hana duduk di samping Jamilah, mencoba bersikap biasa. Sesekali pandangan mereka bertemu dengan Hansel yang duduk agak jauh di sisi pria-pria keluarga. Wajah Hansel tetap kaku, nyaris tidak menoleh pada Hana.
Namun, di sela obrolan, Rohana mendekat, berbisik halus di telinga Hana. “Ingat, Nak. Kamu harus bisa segera memberiku cucu. Itu satu-satunya alasan kamu berada di sini. Setelah itu, kamu bebas kembali ke hidupmu.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Hana menunduk, jemarinya mengepal di bawah meja. Suasana makan malam semakin ramai ketika seorang wanita anggun dengan gaun sutra biru menghampiri meja Rohana. Ia adalah Alisa, istri dari adik ipar suami Rohana. Senyum manisnya tersungging, tetapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu saat melihat Hana yang duduk tenang di samping Jamilah.
“Kakak ipar…” Alisa mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu melirik ke arah Hana. “Siapa gadis cantik berkerudung ini? Tatapannya sayu, tapi begitu memikat.”
Rohana, dengan tenang dan senyum penuh wibawa, menoleh ke Hana sebelum menjawab, “Oh, ini Hana. Anak Jamilah.”
Alisa sempat terdiam sejenak, sebelum bibirnya menyungging senyum sinis. “Oh … anak pembantu. Tapi cantik sekali, seperti bintang yang belum tersentuh. Hana, sudah menikah?”
Pertanyaan itu membuat Hana tercekat. Ia langsung menunduk, wajahnya panas. Kata-kata itu terasa seperti tamparan, meski diucapkan dengan nada manis. Belum sempat ia menjawab, Rohana dengan cepat menimpali, “Belum.”
Belum, kata sederhana itu menusuk dada Hana. Padahal baru semalam ia mengucap ijab qabul dengan Hansel. Tetapi demi menjaga rahasia, kenyataan itu harus dipendam. Belum sempat Hana menarik napas, suara seorang pria menyela dari meja sebelah.
“Kalau begitu … bisakah dijodohkan denganku?” goda pria itu dengan senyum menggoda.
Hana menoleh sekilas, pria tampan dengan setelan jas hitam, wajahnya segar dan berwibawa. Bisik-bisik langsung terdengar di sekeliling meja, sebab pria itu bukan sembarang tamu. Ia adalah Rayan Malik, sepupu Hansel yang baru kembali dari Turki setelah menyelesaikan studinya.
Ucapan itu membuat Hansel yang sejak tadi hanya sibuk mendengar percakapan para pria di mejanya, langsung menoleh cepat. Tatapan tajamnya menusuk ke arah Hana, lalu dengan suara berat ia berkata, “Hana, ambilkan saya minum.”
Hana tersentak, jantungnya berdegup kencang. Semua orang di meja itu ikut terdiam sesaat, sebelum kembali bercakap-cakap seolah tak ada yang terjadi. Hana pun segera berdiri, berjalan terburu-buru ke meja minuman.
Dia meletakkan segelas air di depan Hansel dengan hati-hati, namun ucapan pria itu membuatnya hampir kehilangan kendali.
“Jangan suka menggoda pria di rumah ini,” ujar Hansel dingin, matanya tak berpaling darinya. “Ini rumah keluarga Malik, bukan bioskop.”
Hana terdiam, hatinya perih. Kata-kata itu menusuk, merobek harga dirinya. Padahal ia sama sekali tidak bermaksud menggoda siapa pun. Ia ingin membela diri, ingin berkata bahwa ia tidak bersalah. Namun lidahnya kelu, hingga akhirnya sebuah kalimat meluncur begitu saja.
“Aku wanita single,” ucap Hana lirih namun jelas. “Tapi tak berniat menggoda siapapun di sini. Jika ada yang tergoda itu bukan salahku."
Hansel mendongak, menatapnya dengan mata terbelalak. Untuk pertama kalinya, ia tidak menduga Hana bisa menjawab seberani itu.
Keheningan singkat tercipta di antara mereka. Hansel terdiam, rahangnya mengeras, sementara Hana menunduk dalam-dalam, menggenggam jemarinya erat.
"Temui saya di taman belakang setelah acara makan malam selesai," bisik Hansel pelan, Hana hanya mengangguk sebagai jawaban dari perintah sang suami.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊