"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk Merasa Hidup
"Apa kau akan lembur lagi malam ini?"
"Iya"
"Kau tidak kasihan pada Nina?"
Jefan memutar kursinya. Memandang tajam kearah wanita yang berpakaian kemeja rapih didepannya.
"Untuk apa? Dia sudah hidup dengan nyaman sekarang, itu kan point penting nya"
"Tau dari mana kalau sekarang hidupnya nyaman? Bagaimana jika hidupnya sama hancurnya seperti sebelumnya?"
"Apa maksudmu, Hera?"
Hera memutar bola matanya jengah, Atasan sekaligus temannya yang satu ini memang terkenal dingin, tegas dan kejam, tapi apa perlu ia tetap bersikap seperti itu pada wanita yang menjadi istrinya?
"Ya bayangkan saja, pernikahan yang harusnya dilakukan dengan orang yang ia cintai, justru malah dilakukan dengan orang yang sangat ia benci. Setelah itu, kau bukannya meredakan kebencian itu, malah membuatnya semakin menjadi. Pernikahan baginya pasti sudah seperti neraka"
"Jika benci ya benci saja, aku tidak masalah dibenci olehnya"
"Kau...apa kau masih merasa bersalah padanya? apa ini semacam tebusan dosa?"
Jefan mendesah berat, ia bangkit dari kursi dan mengambil jas yang menggantung di punggung kursi.
"Bisa dibilang seperti itu" ujarnya datar dan mengenakan jas nya
Hera memandang bingung pada laki-laki batu itu, tidak mengerti apa yang dipikirkan nya sampai memilih cara seperti ini. Bukannya menyelesaikan luka, ia malah menambah luka untuk Nina dan mungkin untuk dirinya sendiri.
"Kalau begitu, harusnya kau memohon dan meminta maaf dengan cara apapun, bukannya malah seperti ini, yang ada kau membuat kesalahan baru tau"
"Meminta maaf ya? Aku tidak yakin, dia pantas menerima itu"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nina mengelap meja yang baru saja ditinggal oleh pelanggan. Dengan cekatan tangannya membersihkan meja itu dan membawa piring serta gelas ke dapur Kafe.
Nina baru beberapa hari bekerja di Kafe cepat saji ini, ia memutuskan untuk tetap berusaha tanpa mengandalkan siapapun lagi. Setidaknya, hal ini dilakukan untuk tetap hidup, bagaimanapun hidup butuh uang.
Sebenarnya, Nina tidak memberitahu pada Jefan soal ia yang mulai bekerja kembali sebagai pelayan setelah menikah dengannya. Nina sendiri tidak yakin jika mengatakan nya akan mendapat izin dari lelaki itu.
Mungkin dia akan menentangnya, karena bagaimanapun dia seorang pewaris perusahaan besar. Mana mungkin, ia membuat nama nya tercoreng dengan membiarkan perempuan yang menjadi istrinya ini bekerja paruh waktu seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi, Nina butuh uang karena ia masih mau hidup. Terlalu memalukan jika, harus menggantungkan hidupnya pada Jefan meski dia adalah suaminya sendiri.
Untuk itu ia akan melakukan apa yang Nina bisa. Demi hidupnya sendiri.
"Nina Arunika?"
Nina yang sedang membawa nampan berisi pesanan menoleh. Gadis cantik, tinggi, berambut panjang ikal, memakai kemaja biru polos serta rok span selutut itu menyapanya dengan wajah bingung.
Hera Taleetha Rumi.
Nina tidak begitu mengenalnya ia hanya tau gadis cantik ini sekertaris sekaligus teman dari suaminya saat datang di pernikahannya waktu itu. Tentu saja, Hera sendiri yang memperkenalkan diri, Jefan suaminya itu, tidak mungkin mau membuang tenaga untuk melakukan itu.
"Oh selamat malam" ujar Nina sembari sedikit membungkukkan badannya.
"Kau bekerja disini?"
"Ya, baru beberapa hari"
"Kenapa? apa Jefan tau ini?"
Nina terdiam, dia sedikit menunduk "Tidak, kumohon jangan beritahu dia ya"
Hera mendesah berat "Kurasa kita harus berbicara dulu lebih banyak"
"Baiklah, tunggu sebentar aku akan mengantarkan pesanan ini dulu"
Hera mengangguk, kemudian berjalan menuju meja kosong yang ada dikafe, ia mengamati gerak-gerik Nina yang cekatan rapi, senyumnya terus terpasang diwajahnya saat melayani pelanggan, seperti melakukan pekerjaan yang sudah sangat ia kuasai.
Nina terlihat bicara dengan temannya setelah mengantarkan pesanan, dan menunjuk ke meja Hera. Tak lama dia terlihat sedikit membungkukkan badan pasa rekannya itu dan menghampiri Hera yang sudah menunggu nya.
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa bicara lama" ucap Nina begitu mendudukan dirinya didepan Hera.
"Apa alasanmu bekerja Nina? Tidak mungkin Jefan tidak memberimu nafkah kan?"
"Kau pasti sudah tau alasan kami menikah kan Hera? Kami menikah bukan karena cinta, meski secara resmi Jefan suamiku, aku tidak bisa menganggap hubungan kami seperti pasutri sungguhan"
Nina menghela napas pelan sebelum kembali berbicara "Jadi, aku melakukan nya untuk diriku sendiri, aku tidak mau bergantung padanya, terlebih melihat hubungan kami, bisa saja dia meninggalkan ku tiba-tiba kan"
"Tidak mungkin dia meninggalkan mu"
Nina tertawa sinis "Kenapa tidak? dia juga tidak mencintaiku, sebenarnya aku tidak memberikan manfaat apapun untuknya, aku hal yang paling mudah di buang didalam hidupnya"
"Tidak Nina, kau hanya tidak mengerti. Percayalah, apapun kondisinya dia tidak mungkin meninggalkan mu"
"Apa yang tidak aku mengerti Hera?"
Hera memegang kepalanya berat, kepalanya ikut pusing menghadapi situasi ini. Andai saja dia bisa mengatakan semuanya pada Nina. Tapi tidak mungkin, Jefan pasti bisa langsung memaki dan membencinya.
"Begini Nina, tinggalkan pekerjaan ini. Hiduplah dengan nyaman dan tenang, nikmati hidup mu ini tanpa perlu memikirkan masa depan lagi"
"Hera, apa kau tau? Berada dirumah itu, tidak lebih baik dari rumahku dulu, sama-sama penuh penyiksaan batin dan beban"
"Nina, tapi.. "
"Kumohon, hanya dengan bekerja seperti ini aku merasa hidup"
Hera menatap Nina yang memandangnya dalam, dapat terlihat jelas dimatanya itu menyimpan luka, dendam, dan juga trauma yang belum hilang.
Jefan laki-laki itu benar-benar mengambil jalan yang salah untuk menyelesaikan masalahnya.
"Baiklah, aku akan merahasiakan nya dari Jefan"
Mata Nina berbinar, ia tersenyum bahagia mendengar persetujuan Hera. Padahal semudah ini membahagiakan wanita ini, tapi kenapa sulit sekali buatnya mendapat hal-hal mudah.
"Tapi, ada syaratnya"
Nina menaikan alisnya "Apa itu?"
"Bertemanlah denganku"