NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MALAM PERTAMA

Beberapa jam sebelumnya.

Jam menunjukkan pukul 01.30 malam saat Tama terbangun dari tidurnya dan mendengar suara isakan pelan. Pria itu membuka matanya, ia terkejut saat melihat Kemala yang sedang duduk bersandar pada head board ranjang sambil memeluk lututnya. Ia menangis terisak, begitu pilu dan menyayat hati.

"Ya Tuhan, ada apa, Mala? Kamu sakit?" tanya Tama, suaranya penuh kekhawatiran.

Kemala menggelengkan kepalanya. Sejak tadi, ia menangis. Bukan karena bersedih apalagi menyesal dengan pernikahan ini. Ia menangis karena kembali teringat dengan kedua orang tuanya dan juga kejahatan seseorang yang belum terungkap.

Ia merasa lemah, sampai detik ini belum bisa menemukan bukti apapun. Jika memang kecelakaan itu murni sebuah musibah, maka ia akan mencoba mengiklaskannya. Namun entah mengapa, Kemala sangat yakin jika kecelakaan itu adalah sabotase dari seseorang yang ingin menghancurkan keluarganya.

Tama menyentuh pipi istrinya, menghapus jejak air mata itu. Pria itu meraih dagu Kemala, meminta wanita itu untuk menatapnya.

"Apa yang membuatmu sedih, Sayang? Sebegitu besarkah keraguanmu padaku sehingga kamu tidak mau berbagi kesedihanmu?"

Kemala terdiam. Ia menatap dalam mata pria yang telah menjadi suaminya itu. Teduh dan penuh ketulusan. Inikah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya? Apakah pada Tama ia memberikan kepercayaan itu?

Tama meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya dengan erat. Pria itu kembali mengatakan sesuatu yang membuat Kemala semakin percaya untuk menjadikan pria itu sebagai sandaran dikala sedih maupun senang.

"Aku gak akan pernah meminta apapun dan tidak akan pernah memaksa apapun padamu, Mala. Aku juga tidak menjadikanmu sebagai pelarian karena perselingkuhan Erina. Aku tulus, aku jatuh cinta sejak kamu datang ke rumah ini. Dan aku ingin melindungimu. Izinkan aku untuk lebih mengenalmu, istriku."

Matanya kembali berkaca, dengan suara bergetar, akhirnya Kemala menceritakan semuanya. Ia jujur pada Tama tentang niatan awalnya datang ke rumah ini. Ia menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi lagi.

"Aku... aku datang ke sini bukan semata-mata setuju untuk menjadikan tante Erina sebagai wali, namun ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa aku pastikan kebenarannya. Aku ingin menyelidiki tentang kematian kedua orang tuaku," ucapnya yang membuat Tama terkejut. Namun pria itu tetap mendengarkan tanpa menyela, membiarkan istrinya mencurahkan lebih banyak supaya tidak ada lagi beban di hati wanita itu.

"Aku sangat bersedih karena sampai saat ini belum punya bukti yang kuat. Tapi aku sangat mencurigai tante

Erina sebagai dalang dibalik kematian bapak dan ibu. Mang Asep pernah memergoki tante Erina berbicara dengan seseorang ditelepon yang mengatakan bahwa rencananya berhasil. Meskipun hal itu tidak bisa menjadi bukti kuat, apakah pembicaraan itu menjurus pada kriminal, namun aku sangat yakin jika kematian kedua orang tuaku bukan semata karena kecelakaan."

"Dan yang membuatku sangat bersedih adalah kamu, Om. Aku takut kamu terlibat dan bersekongkol. Aku ingin kejujuranmu malam ini, katakan sejujur-jujurnya, jika memang kamu dan Tante Erina bekerja sama untuk menyingkirkan orang tuaku, aku akan terima kenyataan itu meskipun akan membuatku terluka seumur hidup," ucap Kemala dengan air mata yang kembali berderai.

Tama menghela nafasnya. Wajahnya dipenuhi keterkejutan. Ia bahkan baru tahu hal ini. Dan ia memaklumi mengapa sejak kemarin Kemala terlihat meragukannya.

Tama membingkai wajah Kemala, dengan suara lembut dan tenang, ia mengatakan bahwa dirinya tidak terlibat apalagi mengetahui hal ini.

"Demi Allah, Aku tidak tahu, Kemala. Jujur aku sangat syok mendengar ini. Tapi jika memang benar, Erina pelakunya, maka aku sendiri yang akan menghukumnya dengan tanganku. Dia sudah keterlaluan, wanita itu tidak hanya culas, tetapi sangat jahat." Tangannya mengepal, Tama terlihat sangat marah pada kelakuan Erina, tak menyangka wanita yang ia nikahi 5 tahun yang lalu itu begitu jahat.

Kemala masih diam, bingung dengan perasaannya

Sendiri. Tama kembali meyakinkannya.

"Jika aku terbukti terlibat, kamu boleh membunuhku dengan tanganmu, Mala. Aku memang pernah sangat mencintai Erina, Tapi aku tidak pernah tahu kecurangannya selama ini. Yang aku tahu, Erina bersikeras ingin menjadi orang tua asuh karena ingin bisa menikmati hartamu. Dan itulah penyesalan terbesarku. Aku laki-laki pecundang yang tak bisa berbuat apa-apa saat Erina memiliki rencana licik itu. Aku hanya bisa melindungimu dengan caraku," ucap Tama penuh kesungguhan.

Kemala mengangguk. Mendengarnya langsung dari Tama, membuat hatinya terasa lega. Kini, ia semakin yakin jika pria yang telah sah menjadi suaminya itu tidak terlibat apapun.

Kemala langsung memeluknya erat. "Maafkan aku yang sempat mencurigaimu, Om. Aku hanya takut kamu bersekongkol dengannya. Aku takut karena aku juga mencintaimu."

Tama tersenyum, ia mengelus lembut punggung Kemala. Memberikan ketenangan yang nyata.

"Wajar kamu ragu, aku adalah suami Erina tapi aku tidak memperhatikan kesehariannya. Terima kasih sudah mau menceritakan semua ini. Kita akan cari buktinya sama-sama."

Kemala mengurai pelukannya. "Om mau bantu aku?"

"Tentu. Apapun itu. Aku akan membantu istri kecilku ini," ucap Tama sambil mencubit hidung Kemala dengan gemas. Kemala tersenyum meski masih ada jejak air mata

Di pipinya.

"Ish, sakit tahu, Om. Tapi, serius Om nggak tahu sama sekali atau melihat gelagat aneh dari Tante Erina 4 bulan yang lalu sebelum kecelakaan itu terjadi?"

Tama terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya ia mengingat jika empat bulan yang lalu, tepatnya 2 malam sebelum kecelakaan itu terjadi, Erina tidak pulang ke rumah dengan alasan akan menginap di salah satu villa di puncak.

"Waktu itu, 2 hari sebelum Om mendengar kabar kecelakaan orang tuamu, Erina izin untuk nginap di villa puncak bersama teman-temannya. Om sempat bertanya mengapa tidak menginap di rumah Kang Subagja saja? Dia jawabnya gak enak dan sungkan. Dan seminggu sebelumnya, Erina juga menjual tanah pemberian dari ibumu. Alasannya sih mau dipake buat bisnis sama teman-temannya itu. Om tidak terlalu ikut campur apalagi menyangkut uang pribadinya. Om juga tidak mempermasalahkan itu, kalau dipake buat bisnis malah lebih bagus biar dia ada kerjaan dan enggak foya-foya terus."

Kemala terdiam. Mendengarkan dengan seksama lalu menghubungkan benang-benang yang saling berkaitan. Jadi 2 hari sebelum kecelakaan itu Erina berada di villa daerah puncak, tidak jauh dari rumah kedua orang tua Kemala. Dan sehari kecelakaan itu, tante Erina memang datang membawa bingkisan. Tapi dia datang sendiri waktu itu. Tante Erina juga terlibat percakapan serius dengan Indira-kakak kandungnya.

"Astaga..." Kemala tiba-tiba ingat sesuatu.

"Ada apa, Mala?"

"Aku ingat, Om. Sehari sebelum kecelakaan itu, ibu mengajak tante Erina ke peternakan. Waktu itu aku juga diajak, tapi aku menolak karena sedang banyak tugas kuliah. Entah mereka mau membicarakan apa, tapi yang aku ingat, Tante Erina dan ibu pergi ke peternakan dengan menggunakan mobil yang juga dipake ibu dan bapak keesokan harinya. Mobil yang rem nya blong dan akhirnya masuk jurang," ucap Kemala.

"Aku ingat betul, Tante Erina yang mengendarai mobil itu saat kembali ke rumah. Mobil itu tidak dipakai siapa-siapa lagi, sebelum akhirnya dipakai oleh Pak Jaka-supir pribadi bapak dan ibu yang selamat pada kecelakaan itu."

Tama mangut-mangut. Ia dan Kemala terdiam, sama-sama memikirkan kejadian yang ternyata saling berhubungan itu. Seolah puzzle rumit itu mulai tersusun satu persatu.

"Mang Jaka, dia kuncinya, Mala!" ucap Tama.

Mala mengangguk, namun tetap ragu. "Mang Asep sudah menyelidikinya. Mang Jaka yang kakinya diamputasi karena kecelakaan itu masih terlihat syok hingga saat ini. Dia tidak bisa dimintai keterangan. Dan keluarganya juga meminta agar mang Asep tidak terus membahas hal ini mengingat trauma yang dialami Mang Jaka."

Tama kembali mengangguk. Hening sejenak sebelum akhirnya Ia kembali meraih tangan Kemala, lalu menggenggamnya dengan erat. Meyakinkan istrinya bahwa semua ini akan segera terpecahkan.

"Aku akan selidiki diam-diam. Aku minta ijin padamu untuk bisa menyelidiki Erina dan mendekatinya untuk mencari bukti yang lebih kuat. Aku juga akan mendatangi rumah Mang Jaka dan akan memastikan dia mau berbicara!"

Kemala mengangguk setuju. "Tentu saja. Aku ijinkan Om untuk mendekatinya dan cari bukti, tapi jangan sampai kalian tidur bareng. Aku gak suka," ucap Kemala yang kini malah menunjukkan wajah cemburu.

Tama mengulum senyumnya. "Hahhaa... Ya enggak lah. Aku tidak sudi lagi menyentuh wanita yang sudah disentuh pria lain. Aku belum menjatuhkan talak karena menunggu instruksi darimu. Kamu melarangku untuk menceraikannya. Kalau pun sekarang harus jatuhkan talak, aku tentu siap, Sayang."

"Ya, Om. Jangan dulu karena tujuanku belum tercapai. Dia harus menderita dulu sebelum kita dapat buktinya dan memenjarakannya. Tante Erina harus menerima hukuman yang berat!" tegas Kemala.

Tama tersenyum lebar, tangannya menyentuh bibir Kemala dengan lembut. Sentuhan itu membuat desiran halus yang menggetarkan.

Tiba-tiba, suasana yang sempat mencekam dengan obrolan serius dan rencana mereka, tiba-tiba berubah menjadi lebih hangat dan intim. Tama mengatakan sesuatu yang membuat Kemala berdebar-debar.

"Aku tidak akan menyentuhnya lagi. Tapi aku butuh seseorang yang bisa menuntaskan has-rat ini. Aku pria normal, Kemala," ucap Tama dengan tatapan penuh arti. Ia tidak bisa lagi menahan has-ratnya.

Kemala mengerti. Ia tahu apa kewajibannya.

"Maka akulah yang akan menjadi penuntas has ratmu, Om," ucapnya singkat namun berhasil membuat Tama semakin menggilainya.

Angin malam bertiup pelan lewat jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari lembut, dan di kamar beraroma lavender itu, dua insan yang telah sah dalam ikatan halal sedang menatap satu sama lain dalam diam yang menegangkan sekaligus mengga i rahkan.

Keduanya tidak bisa tidur lagi setelah obrolan yang cukup panjang. Hati Kemala pun kini terasa lega dan tenang. Ia sekarang tidak sendiri lagi. Dan ia sangat bahagia Karena Tama tidak sama seperti Erina yang jahat dan culas itu.

Air matanya pun telah surut. Meskipun tanpa make-up, namun wajahnya cantik berseri. Tama tak bosan menatap wajah istrinya yang umurnya terpaut 12 tahun dengannya itu.

Kemala duduk di pinggir ranjang, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut yang jatuh pas di tubuhnya. Bahunya terbuka, kulitnya tampak hangat dalam temaram cahaya lampu tidur. Ia menarik napas panjang saat mendengar langkah Tama mendekat.

Pria itu membukanya perlahan, dengan senyum kecil di bibirnya, dan tatapan teduh yang membuat jantung Kemala berdetak tak menentu. Ia duduk di sampingnya, menyentuh jemari sang istri, menggenggamnya hangat.

"Kamu gugup?" bisik Tama, suaranya berat dan dalam, menyentuh hingga ke dada.

Kemala hanya menjawab dengan anggukan kecil. Matanya tak sanggup menatap langsung, tapi tubuhnya tak bergerak menjauh. Justru sebaliknya, perlahan ia menyandarkan kepala di bahu Tama.

"Aku nggak akan maksa. Nggak malam ini, nggak besok pun kalau kamu belum siap," lanjut Tama seraya mengelus rambut Kemala dengan lembut.

Suasana hening sejenak. Hanya napas mereka yang terdengar saling menyapa, pelan tapi semakin dekat.

"Aku ingin... Tapi tolong perlahan ya, Om..." lirih Kemala, nyaris seperti bisikan yang jatuh di telinga Tama.

Tama menahan napasnya sejenak. Ia mengecup kening Kemala, lalu jemarinya turun menyentuh dagu istrinya, mengangkatnya perlahan untuk melihat wajahnya. Mata mereka bertemu-mata yang penuh rasa percaya dan cinta.

Dan saat bibir mereka saling menyentuh, waktu terasa berhenti.

Ciu-man itu manis dan lembut. Bukan tergesa, bukan penuh ha6srat meledak, melainkan sehalus desir angin yang mencu-mbu dedaunan. Tama menciumi wajah Kemala seperti membaca buku puisi yang ia kagumi-satu huruf demi satu huruf, dengan kesabaran dan kekaguman.

Saat jemarinya mulai menjelajah punggung Kemala, perempuan itu meremas lembut lengan suaminya, tubuhnya gemetar pelan. Bukan karena takut, tapi karena ini adalah yang pertama. Dan Tama tahu itu.

Ia menuntun Kemala perlahan berbaring, membelai pipinya, lalu lehernya, dan menuruni tulang selangka

Nya dengan penuh kelembutan. Malam itu, tubuh mereka saling menjelajahi, saling membuka, dan menyatu dalam kehangatan cinta yang begitu dalam.

Kemala menggigit bibir, matanya basah menahan rasa asing yang mulai menyelinap ke tubuhnya. Ada nyeri, ada perih, tapi juga ada getar yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

"Aaahh, sakit, Om!!"

"Tahan sedikit ya, Sayang. Kamu akan menikmatinya," ucap Tama lembut. "Jangan panggil, Om. Panggil aku Mas atau sayang. Aku milikmu dan kamu milikku, Sayang."

Kemala mengangguk. Tangannya mencengkram sprei yang menjadi saksi bahwa malam ini ia menyerahkan mahkota yang selama ini dia jaga sepenuhnya pada suami halalnya.

"Mas..." des a hnya.

Tama menghentikan gerakannya, menatap mata istrinya dengan raut cemas.

"Kita cukupkan di sini, ya? Kamu kelihatan kesakitan..."

Tapi Kemala menggeleng pelan, menggenggam wajah suaminya. "Aku nggak apa-apa... Aku ingin Mas."

Tama menarik napas berat, menunduk dan mengecup pelipisnya. Ia melanjutkan dengan perlahan, seolah membacakan syair dengan tubuh, bukan kata. Tidak terburu-buru, tak ingin menyakiti.

Dan ketika akhirnya tubuh mereka benar-benar menyatu, Kemala tersenyum. Peluh bercucuran dalam

Has-rat yang tak bisa ditahan. Ia merasa utuh. Diterima. Dicintai. Dan menjadi milik seseorang yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Suara napas mereka memenuhi kamar, diselingi dengan gumaman rindu dan panggilan-panggilan lirih yang hanya dimengerti oleh dua jiwa yang sedang bertaut.

Menjelang Subuh, mereka masih terbaring dalam pelukan, kulit bertemu kulit, jiwa terhubung dalam sunyi yang hangat.

Kemala mengusap dada Tama yang masih tel*njang, lalu mencium bahunya.

"Terima kasih, Sayang," bisik Tama dengan lembut dan penuh cinta.

Tama menarik selimut, membungkus tubuh mereka berdua. Ia mengecup dahi Kemala sekali lagi. "Di hatiku saat ini hanya kamu. Meskipun aku masih suami Erina, tapi hanya kamu yang aku cintai saat ini. Kamu telah menyembuhkan luka akibat pengkhianatannya, dan aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu, Sayang."

Kemala mengangguk. Ia memejamkan mata, merasakan harum maskulin yang kini menempel begitu dekat. Malam ini, dirinya telah menjadi milik Tama seutuhnya. Dan ia tidak pernah menyesal merebut pria itu dari tentenya sendiri.

"Aku percaya, Mas. Aku percaya padamu," gumamnya.

Dan malam itu pun menutup tirainya dalam de-sah penuh cinta, dalam pelukan yang halal.

Sementara itu, Erina kini ngamuk di kamarnya. Ia telah mendengar sendiri bagaimana suara de-sahan

Mereka yang seolah disengaja itu. Suara yang membuat Erina murka, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kemala!! Beraninya kamu bersenang-senang di atas penderitaanku! Aku akan membalasmu!!"

Pagi datang dengan sinar matahari yang mengintip malu-malu di balik tirai kamar. Kemala terbangun lebih dulu. Tubuhnya terasa sedikit pegal, namun hatinya begitu tenang. Ia menatap wajah Tama yang masih terlelap di sampingnya, dada pria itu naik-turun dalam irama napas yang dalam. Di pagi itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Kemala merasa tidak sendirian dalam perjuangannya.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Pintu kamar diketuk keras. Tiga kali. Disusul suara tinggi dari luar.

"Tama! Buka pintunya! Aku tahu kamu di dalam!"

"Kemala! Keluar kamu! Dasar perempuan murahan!!"

Tama langsung terbangun. Ia melirik Kemala yang wajahnya menegang. Suara itu-Erina. Nada suaranya penuh kemarahan dan... kepanikan.

"Kita harus buka pintunya," ucap Tama, menatap Kemala serius. "Tenang, aku akan lindungi kamu."

Tama bangkit, mengenakan kaosnya, dan membuka pintu. Erina langsung menerobos masuk tanpa diundang, matanya merah, rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat penuh amarah. Ia menatap tajam ke arah Kemala yang

Hanya duduk di ujung ranjang, berbalut selimut tebal.

"Aku dengar semuanya!" bentaknya. "Dasar penggoda! Kamu pikir kamu bisa menggantikan aku semudah itu, hah?!"

Tama berdiri menghalangi. "Cukup, Erina! Jaga ucapanmu."

"Diam kamu!" Erina menunjuk ke arah suaminya dengan tatapan menusuk. "Kamu tidur sama keponakanku sendiri! Di rumah ini! Di bawah atap yang sama! Dasar pria tak tahu malu!"

Tama mengepalkan tangan. Tapi sebelum ia membalas, Kemala sudah berdiri. Tegak, matanya menatap tajam wanita yang dulu ia panggil tante itu.

"Aku tidur dengan suami halal-ku sendiri. Kamu yang sudah tidak setia lebih dulu, Tante. Kamu yang memilih berselingkuh. Sekarang apa? Cemburu? Atau takut rencanamu terbongkar?" ucap Kemala dingin.

Erina terdiam sejenak. Namun wajahnya berubah-tidak hanya marah, tapi juga... takut.

"Apa maksudmu?" gumam Erina.

"Aku ingat semuanya. Tentang peternakan. Tentang mobil itu. Dan tentang Mang Jaka."

Wajah Erina memucat.

Tama ikut maju, berdiri di sisi Kemala. "Dan aku akan menyelidiki semua itu. Kalau kamu benar pelakunya, kamu akan menerima hukuman yang pantas, Erina."

Erina mundur satu langkah, lalu tertawa keras.

Tawanya nyaring, namun terdengar getir.

"Kalian pikir kalian bisa menjebakku? Kalian pikir bisa memainkan api tanpa terbakar? Baik, kita lihat siapa yang lebih kuat. Aku tidak akan diam saja. Kamu akan menyesal, Kemala!"

Dengan sorot mata tajam, Erina berbalik dan pergi, membanting pintu sekuat tenaga.

Begitu suasana kembali tenang, Kemala menatap Tama. "Dia tahu. Dia merasa terancam."

Tama mengangguk. "Itu artinya kita semakin dekat."

Di tempat lain, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang pria paruh baya duduk di kursi roda. Kakinya tinggal sebelah. Wajahnya datar, tatapannya kosong menatap jendela.

Dialah Mang Jaka.

Di tangannya, ada potongan koran-berita tentang kecelakaan majikannya empat bulan silam. Matanya tampak bergetar saat membaca kembali judul utama yang menuliskan: "Pasangan Dermawan Tewas dalam Kecelakaan Tragis, Supir Selamat Meski Alami Luka Berat."

Istrinya datang membawa teh, tapi Mang Jaka tak bergerak.

"Kang, Mau minum dulu?"

Mang Jaka mendadak berkata pelan, nyaris seperti gumaman.

"Itu bukan kecelakaan..."

Wanita itu tertegun. "Apa, Kang? A-apa maksudnya?"

Mang Jaka tidak menjawab. Ia menggenggam erat koran itu. Air matanya jatuh perlahan. Di kepalanya, kenangan malam itu mulai kembali satu per satu.

Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu... ia

ingin berbicara yang sejujurnya.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!