Aisyah yang mendampingi Ammar dari nol dan membantu ekonominya, malah wanita lain yang dia nikahi.
Aisyah yang enam tahun membantu Ammar sampai berpangkat dicampakkan saat calon mertuanya menginginkan menantu yang bergelar. Kecewa, karena Ammar tak membelanya justru menerima perjodohan itu, Aisyah memutuskan pergi ke kota lain.
Aisyah akhirnya diterima bekerja pada suatu perusahaan. Sebulan bekerja, dia baru tahu ternyata hamil anaknya Ammar.
CEO tempatnya bekerja menjadi simpatik dan penuh perhatian karena kasihan melihat dia hamil tanpa ada keluarga. Mereka menjadi dekat.
Saat usia sang anak berusia dua tahun, tanpa sengaja Aisyah kembali bertemu dengan Ammar. Pria itu terkejut melihat wajah anaknya Aisyah yang begitu mirip dengannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Ammar akan mencari tahu siapa ayah dari anak Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Ada apa denganku?
Aisyah terus berpikir, kenapa akhir-akhir ini dia sering merasa pusing, mual dan bahkan muntah. Dia telah minum obat asam lambung, berpikir jika semua karena penyakitnya yang sedang kambuh.
"Ya, Tuhan. Semoga bukan penyakit yang berbahaya," doa Aisyah dalam hatinya.
Aisyah membasuh wajahnya. Dia tak mau ada orang yang tahu, apa lagi Alby, jika dia baru saja muntah.
Setelah merasa agak baikan, Aisyah langsung keluar. Tak mau Alby menunggu lama. Dia membuka pintu kamar mandi. Saat terbuka, gadis itu terkejut melihat atasannya telah berdiri dihadapannya saat ini.
"Kamu tak apa-apa?" tanya Alby.
Dengan dahi berkerut Aisyah balik bertanya, "Memangnya aku kenapa, Pak?"
"Aisyah, maaf. Tadi aku melihat wajahmu yang memerah, seperti menahan sesuatu. Aku jadi takut terjadi sesuatu. Aku lalu mengekor. Aku dengar sendiri kamu muntah-muntah."
Aisyah terkejut mendengar penuturan atasannya itu. Ternyata dia mengetahui semuanya. Bagaimana mungkin dia berbohong lagi, dengan mengatakan tak terjadi apa-apa.
"Aku hanya merasa mual, dan akhirnya muntah," jawab Aisyah akhirnya.
"Apa mungkin ikan itu mengandung racun? Aku akan tuntut restoran ini," geram Alby.
Aisyah yang merasa kalau itu bukan karena makanan, langsung menahan tangan pria itu saat dia hendak berjalan. Dia tak mau terjadi kesalahpahaman.
"Jangan, Pak. Aku rasa bukan karena makanannya. Sudah tiga hari ini aku memang merasa mual dan muntah. Jadi aku rasa bukan salah restoran ataupun salah lauknya. Tubuhku aja yang kurang sehat," jawab Aisyah.
Aisyah tak mau nanti Alby salah menuntut. Apa lagi nanti dia bisa saja di tuntut balik karena pencemaran nama baik.
"Apa ...? Sudah tiga hari kamu merasakan ini, tapi tak berobat?"
"Tak apa, Pak. Nanti juga sembuh," jawab Aisyah.
Alby menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan ucapan gadis itu. Dia lalu menarik tangan Aisyah.
"Jangan pernah meremehkan suatu penyakit. Sekarang juga kita ke rumah sakit!" perintah Alby.
Aisyah terkejut dan berusaha menarik tangannya kembali, tapi Alby memegangnya dengan kuat. "Tapi, Pak ... aku tidak ingin merepotkan. Nanti di rumah saja aku minum obatnya," tolak Aisyah dengan suara yang lembut.
Alby tidak peduli dengan keberatan Aisyah dan terus menariknya menuju mobil. "Aku tidak ingin kamu semakin parah. Kita harus segera ke rumah sakit. Kamu itu karyawanku, apa nanti yang orang katakan jika tau aku membiarkan karyawan yang sakit untuk tetap bekerja," balas Alby dengan suara yang tegas.
Aisyah tidak bisa menolak lagi dan akhirnya mengikuti Alby ke rumah sakit. Dia merasa sedikit khawatir tentang apa yang akan terjadi, tapi juga merasa lega karena Alby peduli dengan kesehatannya.
Dalam perjalanan keduanya saling diam. Tak ada yang bersuara. Aisyah takut jika memang ada penyakit yang berbahaya sedang diidapnya.
Aisyah terdiam dalam mobil, jantungnya berdebar. Dia tidak tahu apakah yang dia rasakan saat ini lebih dikarenakan rasa khawatir tentang kesehatan ataukah tentang kemungkinan yang lain. Tatapan Alby di sampingnya tampak serius. Dia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari rasa mual yang masih menyelimuti perutnya.
Sesampainya di rumah sakit, Alby tidak membiarkan Aisyah menunggu lama. Dia langsung melangkah menuju bagian pendaftaran dan memastikan Aisyah segera diperiksa. Setelah beberapa saat menunggu, panggilan untuk Aisyah pun tiba. Alby mengantarnya hingga ke ruang periksa.
Dokter yang memeriksa merupakan seorang perempuan yang terlihat berpengalaman. "Selamat Siang. Silakan duduk, Aisyah. Apa yang membuatmu datang ke sini? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Dokter itu dengan lembut.
Aisyah yang merasa agak canggung menjelaskan keluhannya. "Dokter, saya sudah tiga hari merasa mual, muntah, dan kadang merasa pusing."
Dokter mendengarkan dengan seksama lalu meminta Aisyah untuk berbaring di meja pemeriksaan. Selama pemeriksaan fisik, Aisyah merasa seperti ada yang salah jika dia tidak jujur. Dia melihat Alby duduk dengan tenang di ruangan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Setelah beberapa menit, dokter selesai memeriksa dan kembali ke meja kerjanya. "Baik, Aisyah. Saya melihat ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan gejala yang kamu alami. Namun, saya rasa kita perlu melakukan pemeriksaan tambahan. Tapi sebelum itu, saya ingin bertanya, apakah kamu sudah mentruasi bulan ini?" tanya Dokter. Alby yang duduk di sebelah Aisyah hanya diam mendengar.
Aisyah coba berpikir. Setelah beberapa saat, akhirnya dia sadar jika memang bulan ini dia belum kedatangan tamu bulanan. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban. "Aku rasa belum, Dok. Ada apa ya, Dok?"
"Menurut pemeriksaan awal, ada kemungkinan kamu hamil," ucap dokter sambil tersenyum.
Suasana di ruangan seketika menjadi canggung. Aisyah merasa seperti ada batu besar yang menghempas dadanya. "Hamil? Saya ... saya hamil. Itu tak mungkin, Dok!"
Tangan Aisyah tampak gemetar. Tubuhnya terasa lemah. Dia tak pernah membayangkan jika ini akan dia alami. Dia belum siap untuk hal tersebut.
Alby yang melihat perubahan wajah Aisyah menjadi iba. Entah dari mana datang keberanian itu, dia menggenggam tangan gadis itu sebagai penguat.
"Apakah ini sudah pasti, Dok?" tanya Alby. Melihat Aisyah hanya diam, pria itu berinisiatif bertanya.
"Menurut pemeriksaan awal, kemungkinan itulah yang dialami istri Bapak. Tapi, untuk memastikan, Bapak bisa periksa ke dokter kandungan," saran dokter itu.
Alby mengangguk tanda setuju. Aisyah tak bisa lagi menahan air matanya. Dokter yang melihat itu jadi bingung. Apakah dia bahagia atau sedih.
"Baiklah, Dok. Kalau begitu kami pamit," ujar Alby selanjutnya.
Alby masih menggenggam tangan Aisyah. Dia menyalami dokter sebelum akhirnya pamit. Sedangkan gadis itu masih terdiam tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Aisyah masih terisak-isak, air matanya terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Alby memeluknya dengan hangat, berusaha menenangkannya. "Tidak apa-apa, Aisyah. Kita akan tahu pasti nanti," kata Alby dengan suara yang lembut.
Saat keluar dari ruang dokter, Aisyah masih dalam keadaan terkejut dan syok. Dia tidak bisa memproses informasi yang baru saja dia dengar. Alby terus memegang tangannya, memberikan dukungan dan kenyamanan.
Saat mereka berjalan menuju lorong yang akan membawa ke ruangan dokter kandungan, Aisyah akhirnya berbicara dengan suara yang terisak-isak. "Pak ... apa benar ...?" Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, tapi Alby sudah mengerti apa yang dia maksud.
Alby memandang Aisyah dengan mata yang penuh kasih sayang. "Kita akan tahu pasti nanti, Aisyah. Jangan khawatir," kata Alby dengan suara yang menenangkan. Dia membawa gadis itu mendaftar di dokter kandungan.
Udah aisyah'kalau alby tulus ingin menikahimu jalani aja'meskipun blm ada cinta'setidaknya ada yg menjagamu dan bertanggung jawab.
ayok lanjut mama author....