Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Suami
Hari itu, matahari terasa terlalu terang bagi Yuna. Padahal tubuhnya dingin oleh kegelisahan. Di layar ponsel, jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan izin kepada tim HRD. Alasan, urusan keluarga mendesak.
Padahal, kenyataannya, hari ini adalah hari penentu.
Hari di mana ia, tanpa keinginan sedikit pun, akan bertemu dengan pria yang dipilih Papinya untuk dijodohkan dengannya.
Sambil berdiri di depan cermin, Yuna menatap wajahnya yang pucat. Gaun sederhana warna biru pastel membalut tubuhnya, riasan tipis menutupi bekas merah di pipi kanan.
Hari sudah siang, meja kerja Yuna kosong. Komputer tak menyala, kursi tertarik rapi, tak ada secangkir kopi atau dokumen berserakan seperti biasanya. Ruang divisi keuangan terasa lebih sepi dari biasanya. Putri, rekan kerja yang biasanya duduk di sebelah Yuna, melirik jam tangannya dan mengerutkan kening.
“Yuna nggak masuk ya?” Bisiknya pada karyawan lain.
Seorang staf hanya mengangkat bahu.
“Katanya izin.”
Dua suku kata yang meluncur ringan dari mulut staf kantor, tapi terasa berat di hati seseorang di lantai atas.
Syamsul Rizal Danantara melempar pulpen ke atas mejanya. Kaca jendela sudah berkali-kali menjadi tempat pelarian tatapan matanya pagi ini. Tapi bayangan yang ia tunggu tak kunjung lewat.
Biasanya, sekitar jam sembilan lewat sedikit, Rizal akan berpura-pura berdiri di balik jendela atau keluar ruangan hanya untuk melihat Yuna melintas sambil membawa map, rambut dikuncir seadanya dan ekspresi ceroboh tapi manis.
Hari ini… tidak ada Yuna.
Dan ia kesal karena ia merindukannya.
“Pak Rizal?” Suara asisten pribadinya, memecah lamunan.
“Apa?” Rizal menoleh tajam.
Laki-laki itu sedikit terlonjak.
“Ada laporan keuangan mingguan. Tanda tangan Bapak dibutuhkan untuk...”
“Taruh saja di meja. Dan tolong… jangan ganggu saya kalau tidak penting.”
“Tapi Pak...”
Rizal semakin tajam menatap asisten kepercayaannya.
Laki-laki itu terdiam. Ia menunduk cepat, meletakkan map dengan hati-hati dan buru-buru keluar. Tangannya gemetar. Belum pernah ia melihat bosnya sekesal itu karena alasan yang tak jelas.
Tapi ia tahu. Semua orang tahu. Sejak acara kantor kemarin malam, bos besar mereka, yang biasanya dingin dan nyaris tak terjamah, tiba-tiba seperti manusia biasa, mudah marah, mudah kecewa… dan diam-diam memperhatikan satu staf keuangan yang selalu menyeduh kopi sendiri.
*****
Di tempat lain, Yuna duduk di sebuah restoran mewah di kawasan elite Jakarta Selatan. Kursi empuk, pencahayaan lembut dan hidangan mahal tak bisa menutupi rasa tidak nyaman yang menggeliat di dadanya.
Di depannya duduk seorang wanita paruh baya rapi dan sopan, mengenakan gaun putih tulang dan jam tangan mahal.
“Jadi, kamu kerja di Danantara Corp.?” Tanya wanita paruh baya itu, sambil menyeruput tehnya.
“Iya, divisi keuangan.” Jawab Yuna sopan.
“Wah, berarti kamu kerja sama bos besar tuh. Siapa namanya… Rizal Danantara, ya?” Perempuan itu pura-pura tidak mengenal Rizal.
Yuna hanya tersenyum tipis.
“Tante dengar. Dia orangnya kelihatannya dingin banget. Nggak bisa diajak ketawa.”
Yuna menahan diri. Tidak nyaman dengan cara perempuan paruh baya menyebut nama Rizal sembarangan.
“Maaf, tante. Apakah anak tante nggak dateng?” Yuna berusaha mengalihkan.
“Yuna...!” Tegur Indra.
Lalu Sania dengan aktingnya berpura-pura menenangkan suaminya.
“Pi, tenanglah. Mungkin Yuna nggak sabar buat ketemu calon suaminya.”
Yuna meneguk air putihnya pelan.
Calon suami?
Bahkan baru bertemu dengan ibunya satu jam. Dan laki-laki yang di gadang-gadang jadi suaminya pun tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali.
“Perjodohan ini, apa kamu sama sekali nggak keberatan?”
Perempuan itu datang kesini karena suaminya, meski beberapa kandidat dari biro jodoh juga dijadwalkan hari ini.
Yuna ingin tertawa. Tapi yang keluar hanya helaan napas dalam hati.
Keberatan? Ya aku keberatan, tapi aku bisa apa?
“Nggak tante.”
Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan, dipaksa bertemu pria ini atau… membayangkan bahwa dia akan hidup bersama dengan laki-laki yang sama sekali tidak dia cintai? Terlebih laki-laki itu penuh dengan misteri, wajahnya Yuna sama sekalai tidak tahu.
Bahkan Nadine dan Sania sampai tertawa puas, saat tahu gosip bahwa orang laki-laki yang di jodohkan dengannya adalah bujang lapuk. Impo*ten. Ga*y. Dan masih banyak lagi citra buruk yang ada padanya.
Flashback on
Yuna tengah berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum ketika langkahnya terhenti di depan ruang keluarga. Lampu ruangan itu redup, tapi suara dua perempuan yang sangat ia kenal terdengar jelas.
Sania, ibu tirinya, sedang duduk santai di sofa sambil menyeruput teh. Di sebelahnya, Nadine menyilangkan kaki dengan anggun.
"Yakin mau dijodohkan dengan dia, Ma?" Tanya Nadine dengan nada menyindir.
"Yakin lah.” Sahut Sania.
“Buat anak sepertinya, cukup cocok.”
"Yang bener aja. Si bujang lapuk itu? Usianya udah tiga puluh lima. Kalo masih jomblo, pasti ada yang salah.”
“Memang ada yang salah.” Sania terkekeh.
“Kabarnya sih, imp*oten. Bisa jadi ga*y juga. Mana ada laki-laki normal seusia itu belum pernah pacaran?”
Yuna menahan napas di balik dinding. Tangannya menggenggam gelas kosong erat-erat.
“Yuna nggak tahu apa-apa?” Bisik Nadine, suaranya geli.
“Anak itu lugu. Polos. Lihat aja nanti, tinggal disetting sedikit, pasti nurut. Lagipula, Papi-nya udah percaya semua omongan Mama.”
“Kasihan banget. Dari dulu dia udah mama tekan habis-habisan. Sekarang di jeblosin ke pernikahan yang... ya ampun... tragis.”
“Mama bukan orang jahat, Nadine. Mama cuma memastikan dia nggak pernah lebih dari kamu.”
Yuna melangkah mundur perlahan. Gelas di tangannya hampir jatuh karena gemetar. Dunia serasa berguncang. Ia tak bisa bernapas. Tak percaya... bahwa perjodohan ini hanyalah bagian dari skenario kotor keluarga tirinya.
Flashback off
*****
Sebelum menemui gadis kedua yang akan di jodohkan dengan Rizal, Wika duduk gelisah. Di hadapannya duduk seorang gadis muda, cantik, penuh prestasi, lulusan luar negeri dan tentu saja… salah satu kandidat jodoh Rizal dari agen biro jodoh.
Hanya saja… kursi di sebelah gadis itu kosong.
Rizal tak kunjung datang.
Wika menatap jam tangannya. Ini sudah lewat 40 menit. Ponsel di tangannya hanya menampilkan pesan pendek dari Rizal pagi tadi:
Ma, maaf. Aku nggak bisa datang hari ini.
Tak ada penjelasan lebih lanjut.
Tak ada permintaan maaf yang panjang.
Hanya satu kalimat dingin, tapi cukup untuk membuat Wika tahu bahwa anaknya sedang tidak ingin dijodohkan. Lagi.
Ia menarik napas panjang, mengusap wajah. Pertemuan pertama gagal karena Rizal beralasan ada meeting mendadak. Ia sempat berharap, setelah melihat Rizal berbincang hangat dengan Yuna malam itu, ia akan lebih terbuka terhadap hubungan.
Tapi hari ini… entah kenapa Rizal malah menjauh.
*****
Kembali ke kantor, Rizal berdiri memandangi meja kosong Yuna dari balkon lantai atas yang menghadap langsung ke ruang kerja divisi keuangan. Biasanya tak seorang pun diperbolehkan ke sana selain dirinya. Balkon pribadi itu menjadi tempat ia merokok diam-diam… atau sekadar menyendiri.
“Kamu ke mana, Yuna?” gumamnya.
Ia sudah mencoba menahan diri untuk tidak mencarinya. Tapi tangannya tetap meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan.
Kamu nggak masuk? Ada yang bisa saya bantu?
Pesan itu diketik… tapi tak pernah dikirim.
Ia menghapusnya. Menyimpan ponsel kembali ke saku.
Karena ia tahu… ia bukan siapa-siapa.
Ia hanya atasan.